|
pegangi aku erat, nona |
Babak I
Bila kamu masih sibuk
dengan gengsi dan egomu, aku akan mulai belajar mencintai yang lain.
Bila kamu masih sibuk
meragu, aku akan merelakan keyakinanku.
Bila kamu masih sibuk
menarik-ulur rasa, aku akan lepas begitu saja.
Jemari lentik Nisa
mengelus dinding gelas berisi kopi yang sudah dingin. Matanya
menjelajah halaman kafe yang basah diguyur hujan sejak sejam lalu.
Hujan deras kini menyisakan gerimis, tetesan air gemulai meluncur di
kaca jendela.
Nisa sedang gelisah
menunggu kekasihnya. Tidak hanya sekali ini Nisa melewati waktu
sendirian hanya untuk mendapati kekasihnya datang mengucap maaf
dengan wajah memelas. Sudah ratusan alasan, yang sebagian sama dari
waktu ke waktu, diucapkan kekasihnya.
Nisa tiba di kafe ini
pukul delapan lebih lima belas menit, sekarang jarum pendek jam
dinding di dekatnya menunjuk angka sepuluh. Kuku jarinya mengetuk
meja berulang kali, memberi irama untuk mempertanyakan kapan
kesabarannya usai.
Tepat ketika kesabarannya
tinggal segaris, sebuah mobil merah memasuki halaman kafe.
Pengemudinya bergegas masuk, sesampainya di dalam matanya menjelajah
untuk mencari seorang wanita. Setelah matanya menemukan yang dicari,
ia kemudian menghampiri wanita yang sedari tadi menunggunya.
“Maaf sayang, aku tadi
harus balik dulu ke rumah ... .” belum selesai lelaki itu bicara,
Nisa berdiri, tangannya sibuk membuka dompet dan mengeluarkan
selembar uang seratus ribuan. Ia letakkan uang itu di atas meja.
“Kali ini aku yang
traktir.” Kata Nisa, kemudian ia berlalu meninggalkan kafe meski
gerimis masih jatuh menyamarkan pipinya yang dialiri tangis.
...
|
aku tahu, aku tak layak menanyakannya |
Babak II
Perasaan yang telah
melangkah jauh dari awal tempat rasa tumbuh, mungkin membutuhkan
sebuah tamparan untuk mengembalikan logika agar tetap berpijak erat
di tanah.
Harapan karena diri
sendiri yang membesarkan rasa tidaklah baik untuk dijadikan pegangan
setiap waktu.
Langkah-langkah menuju
ia harus segera berhenti secepatnya, sebelum kecewa tumbuh membesar
dibalik harapan.
Telah menjadi rahasia
umum bahwa kecewa tumbuh beriringan dengan membesarnya harap.
Tinggal masalah waktu
siapa yang menjadi juara.
Tiga kata yang berdiam di
layar kaca handphone mengurungnya dalam kamar semalaman. Rasa ingin
tahu yang sebagian besar didorong oleh rindu membuatnya gelisah tak
menentu. Tiga kata itu tak kunjung berangkat.
Ia membuka jejak-jejak
percakapannya dengan seorang perempuan yang sudah lebih dari dua
belas minggu ini ia suka. Beberapa pesan membuatnya tersenyum,
pipinya bersemu. Dan pada pesan yang lain membuatnya terpaksa
menggigit bibir bawahnya. Pesan-pesan tersebut membuatnya meragu
untuk menebak perasaan sebenarnya perempuan itu.
Tiga kata itu masih di
sana, menemaninya menimang-nimang rasa. Mereka ulang dalam pikiran
apa yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Di sana ia melihat
perempuan tersebut sedang asyik bercanda dengan seorang lelaki dalam
sebuah toko buku kecil dekat kampus. Ia hanya melihat sebentar, lalu
segera meninggalkan toko tersebut karena tak kuasa menahan cemburu.
Kali ini rasa ingin
tahunya didorong oleh cemburu. Ia memenuhi rasa itu dengan mencari
informasi tentang mereka berdua. Yang ia dapatkan dalam pencariannya
adalah kecewa.
Tepat saat memori
memutarkan hal itu di kepala, ia menekan tombol penghapus, mengusir
setiap huruf dalam rangkaian kata yang tak kunjung berangkat.
Perempuan itu mengajarkan
padanya tidak semua kebaikan pada lawan jenis ada karena cinta. Akan
sangat mengerikan bila di masa ini orang-orang berbuat baik hanya
bila menginginkan cinta.
Perasaannya urung
dilanjutkan, ia tak mau mendapatkan kecewa yang lebih besar, kemudian
menyalahkan sikap perempuan tersebut padanya selama ini. Jatuh cinta
satu sisi pernah membuatnya bahagia, walaupun berbingkai kecewa, tapi
setapak perjalanannya bersama perempuan itu perlu disempurnakan
dengan rasa terimakasih.
Ia melepas kecewa dengan
rebah dan lelap, menuju teduhnya mimpi-mimpi.
...
|
rupa langit |
Babak III
Langit sore terlukis
jingga
Langit pagi menguning
serupa emas
Langit siang biru
semarak awan putih
Mendung membuyarkan
Menukar dengan hitam
Satu warna langit
menuju warna lainnya
Tanpa penjelasan
Bisakah kamu bertingkah
seperti itu?
Berhenti bertanya
mengapa
Nikmati saja
Bagaimana aku
mencintaimu
Apapun warna langit
Aku tetap mencintaimu
Percayalah
Lagi-lagi suaminya
mengatakan kekurangan rasa masakannya, itu berarti ia harus merelakan
suaminya sarapan di luar rumah. Melepaskan kesempatan duduk satu meja
di pagi hari adalah sebuah kebodohan besar. Ia menyesali masa mudanya
yang hanya dihabiskan untuk menikmati berbagai kuliner tanpa pernah
serius mencoba untuk belajar memasak.
Wanita itu adalah anak
terakhir dari empat bersaudara. Persis seperti citra anak terakhir
lainnya, ia begitu dimanja, semua serba ada untuknya, bahkan sampai
ia tumbuh dewasa makan masih saja disuapi. Hal ini seringkali menjadi
olok-olok saudara lainnya, tapi ia tak pernah pedulikan. Ia hanya
membalas dengan mengatakan bahwa saudaranya iri dengan perhatian
orangtuanya.
Keputusannya untuk tidak
mempekerjakan pembantu adalah sebuah keputusan nekat dan paling
berani yang pernah ia lakukan. Alasannya sederhana tapi mempesona, ia
ingin mencintai suaminya dengan sepenuh hati dan raga.
Saat memutuskan hal itu,
ia sadar betul tidak memiliki kemampuan memasak. Mencuci dan
menyetrika adalah hal asing baginya. Dan membersihkan rumah adalah
kegiatan yang paling enggan ia lakukan. Kini, ia harus melakukan
semua itu.
Hanya sekali ia menyesali
keputusannya itu, yaitu ketika selama tujuh hari tak sekalipun ia
berhasil membuat masakan yang enak dimakan. Bahkan mie instan pun ia
masak terlalu matang. Ia menangis, merasa melakukan kesalahan besar
kepada suaminya.
Saat itu suaminya
memberikan pelukan dan berbisik, “Bagaimanapun rasa masakanmu, aku
akan berusaha menghabiskannya.”
Sejak saat itu wanita itu
belajar memasak lebih giat lagi, meski sampai saat ini masih sedikit
masakannya yang mampu membuat lidah suaminya merasakan nikmat.
Terkadang, kala suaminya bersedia menghabiskan masakannya yang kurang
enak, ia tidak tega. Karena cinta saling menjaga, ia melindungi lidah
suaminya untuk merasakan kurang enak masakannya, ia menyarankan untuk
membeli di luar rumah saja. Alasannya karena ia khawatir, setelah
menghabiskan masakannya yang tidak enak, suaminya malas
berterimakasih memiliki istri seperti dirinya.
Kata kerja keras bukanlah
padanan tepat untuk menggambarkan usaha wanita itu menjadi istri yang
baik. Ia telah melakukan banyak hal hanya untuk menemukan resep yang
pas membuat nasi goreng. Ia rela menghabiskan berjam-jam di dapur
untuk membuat masakan yang belum tentu rasanya.
Ia begitu menghargai dan
menyayangi suaminya, begitu juga sebaliknya. Wajar bila lelaki dan
perempuan seperti itu, karena cinta itu saling. Mereka berdua
menyadari dengan baik, bahagia adalah perjalanan hidup, karenanya apa
yang dimiliki kini sudah lebih dari cukup.