Sabtu, 21 September 2013

Satu Buket Cinta

pegangi aku erat, nona

Babak I

Bila kamu masih sibuk dengan gengsi dan egomu, aku akan mulai belajar mencintai yang lain.
Bila kamu masih sibuk meragu, aku akan merelakan keyakinanku.
Bila kamu masih sibuk menarik-ulur rasa, aku akan lepas begitu saja.


Jemari lentik Nisa mengelus dinding gelas berisi kopi yang sudah dingin. Matanya menjelajah halaman kafe yang basah diguyur hujan sejak sejam lalu. Hujan deras kini menyisakan gerimis, tetesan air gemulai meluncur di kaca jendela.

Nisa sedang gelisah menunggu kekasihnya. Tidak hanya sekali ini Nisa melewati waktu sendirian hanya untuk mendapati kekasihnya datang mengucap maaf dengan wajah memelas. Sudah ratusan alasan, yang sebagian sama dari waktu ke waktu, diucapkan kekasihnya.

Nisa tiba di kafe ini pukul delapan lebih lima belas menit, sekarang jarum pendek jam dinding di dekatnya menunjuk angka sepuluh. Kuku jarinya mengetuk meja berulang kali, memberi irama untuk mempertanyakan kapan kesabarannya usai.

Tepat ketika kesabarannya tinggal segaris, sebuah mobil merah memasuki halaman kafe. Pengemudinya bergegas masuk, sesampainya di dalam matanya menjelajah untuk mencari seorang wanita. Setelah matanya menemukan yang dicari, ia kemudian menghampiri wanita yang sedari tadi menunggunya.

“Maaf sayang, aku tadi harus balik dulu ke rumah ... .” belum selesai lelaki itu bicara, Nisa berdiri, tangannya sibuk membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang seratus ribuan. Ia letakkan uang itu di atas meja.

“Kali ini aku yang traktir.” Kata Nisa, kemudian ia berlalu meninggalkan kafe meski gerimis masih jatuh menyamarkan pipinya yang dialiri tangis.

...

aku tahu, aku tak layak menanyakannya

Babak II

Perasaan yang telah melangkah jauh dari awal tempat rasa tumbuh, mungkin membutuhkan sebuah tamparan untuk mengembalikan logika agar tetap berpijak erat di tanah.
Harapan karena diri sendiri yang membesarkan rasa tidaklah baik untuk dijadikan pegangan setiap waktu.
Langkah-langkah menuju ia harus segera berhenti secepatnya, sebelum kecewa tumbuh membesar dibalik harapan.
Telah menjadi rahasia umum bahwa kecewa tumbuh beriringan dengan membesarnya harap.
Tinggal masalah waktu siapa yang menjadi juara.


Tiga kata yang berdiam di layar kaca handphone mengurungnya dalam kamar semalaman. Rasa ingin tahu yang sebagian besar didorong oleh rindu membuatnya gelisah tak menentu. Tiga kata itu tak kunjung berangkat.

Ia membuka jejak-jejak percakapannya dengan seorang perempuan yang sudah lebih dari dua belas minggu ini ia suka. Beberapa pesan membuatnya tersenyum, pipinya bersemu. Dan pada pesan yang lain membuatnya terpaksa menggigit bibir bawahnya. Pesan-pesan tersebut membuatnya meragu untuk menebak perasaan sebenarnya perempuan itu.


Tiga kata itu masih di sana, menemaninya menimang-nimang rasa. Mereka ulang dalam pikiran apa yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Di sana ia melihat perempuan tersebut sedang asyik bercanda dengan seorang lelaki dalam sebuah toko buku kecil dekat kampus. Ia hanya melihat sebentar, lalu segera meninggalkan toko tersebut karena tak kuasa menahan cemburu.

Kali ini rasa ingin tahunya didorong oleh cemburu. Ia memenuhi rasa itu dengan mencari informasi tentang mereka berdua. Yang ia dapatkan dalam pencariannya adalah kecewa.

Tepat saat memori memutarkan hal itu di kepala, ia menekan tombol penghapus, mengusir setiap huruf dalam rangkaian kata yang tak kunjung berangkat.

Perempuan itu mengajarkan padanya tidak semua kebaikan pada lawan jenis ada karena cinta. Akan sangat mengerikan bila di masa ini orang-orang berbuat baik hanya bila menginginkan cinta.

Perasaannya urung dilanjutkan, ia tak mau mendapatkan kecewa yang lebih besar, kemudian menyalahkan sikap perempuan tersebut padanya selama ini. Jatuh cinta satu sisi pernah membuatnya bahagia, walaupun berbingkai kecewa, tapi setapak perjalanannya bersama perempuan itu perlu disempurnakan dengan rasa terimakasih.

Ia melepas kecewa dengan rebah dan lelap, menuju teduhnya mimpi-mimpi.
...

rupa langit

Babak III

Langit sore terlukis jingga
Langit pagi menguning serupa emas
Langit siang biru semarak awan putih
Mendung membuyarkan
Menukar dengan hitam
Satu warna langit menuju warna lainnya
Tanpa penjelasan


Bisakah kamu bertingkah seperti itu?
Berhenti bertanya mengapa
Nikmati saja
Bagaimana aku mencintaimu


Apapun warna langit
Aku tetap mencintaimu
Percayalah




Lagi-lagi suaminya mengatakan kekurangan rasa masakannya, itu berarti ia harus merelakan suaminya sarapan di luar rumah. Melepaskan kesempatan duduk satu meja di pagi hari adalah sebuah kebodohan besar. Ia menyesali masa mudanya yang hanya dihabiskan untuk menikmati berbagai kuliner tanpa pernah serius mencoba untuk belajar memasak.

Wanita itu adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Persis seperti citra anak terakhir lainnya, ia begitu dimanja, semua serba ada untuknya, bahkan sampai ia tumbuh dewasa makan masih saja disuapi. Hal ini seringkali menjadi olok-olok saudara lainnya, tapi ia tak pernah pedulikan. Ia hanya membalas dengan mengatakan bahwa saudaranya iri dengan perhatian orangtuanya.

Keputusannya untuk tidak mempekerjakan pembantu adalah sebuah keputusan nekat dan paling berani yang pernah ia lakukan. Alasannya sederhana tapi mempesona, ia ingin mencintai suaminya dengan sepenuh hati dan raga.

Saat memutuskan hal itu, ia sadar betul tidak memiliki kemampuan memasak. Mencuci dan menyetrika adalah hal asing baginya. Dan membersihkan rumah adalah kegiatan yang paling enggan ia lakukan. Kini, ia harus melakukan semua itu.

Hanya sekali ia menyesali keputusannya itu, yaitu ketika selama tujuh hari tak sekalipun ia berhasil membuat masakan yang enak dimakan. Bahkan mie instan pun ia masak terlalu matang. Ia menangis, merasa melakukan kesalahan besar kepada suaminya.

Saat itu suaminya memberikan pelukan dan berbisik, “Bagaimanapun rasa masakanmu, aku akan berusaha menghabiskannya.”

Sejak saat itu wanita itu belajar memasak lebih giat lagi, meski sampai saat ini masih sedikit masakannya yang mampu membuat lidah suaminya merasakan nikmat. Terkadang, kala suaminya bersedia menghabiskan masakannya yang kurang enak, ia tidak tega. Karena cinta saling menjaga, ia melindungi lidah suaminya untuk merasakan kurang enak masakannya, ia menyarankan untuk membeli di luar rumah saja. Alasannya karena ia khawatir, setelah menghabiskan masakannya yang tidak enak, suaminya malas berterimakasih memiliki istri seperti dirinya.

Kata kerja keras bukanlah padanan tepat untuk menggambarkan usaha wanita itu menjadi istri yang baik. Ia telah melakukan banyak hal hanya untuk menemukan resep yang pas membuat nasi goreng. Ia rela menghabiskan berjam-jam di dapur untuk membuat masakan yang belum tentu rasanya.

Ia begitu menghargai dan menyayangi suaminya, begitu juga sebaliknya. Wajar bila lelaki dan perempuan seperti itu, karena cinta itu saling. Mereka berdua menyadari dengan baik, bahagia adalah perjalanan hidup, karenanya apa yang dimiliki kini sudah lebih dari cukup.




0 komentar:

Posting Komentar