Senin, 09 Desember 2013

Udah Gede




"Wah udah gede ya sekarang...perasaan baru aja kemarin minta dibonceng ke jalan raya buat lihat mobil."

Dulu saya seringkali merasa, apaan sih... setiap kali mendengar kalimat tersebut terucap untuk diri saya.Sekarang, sepertinya saya ingin mengucapkan hal serupa saat melihat anak-anak remaja yang dulunya waktu main bersama pasti jadi pupuk bawang.

Saya menyesal, 4 tahun ini saya membawa hidup saya kepada lorong-lorong berisi rasa pesimis, ketakutan, dan rasa bersalah kepada masa lalu. Saya tidak membawa satu atau dua warna untuk sedikit mencoret dinding lorong-lorong itu. Saya hanya terpaku di kamar, mengenang setiap kesalahan yang saya perbuat, dan menghitung kesempatan yang saya lewatkan, serta tidak berhenti mengkhawatirkan apa yang tidak saya miliki. Saya terjebak di sana, sekian lama. Ini sejujurnya.

Kepergian, tidak hanya datang satu dua kali kepada saya. Kepergian pertama yang membuat saya berkata udah gede ya kepada diri sendiri, adalah saat sepupu berpamitan tanpa meninggalkan kata. Ucapan selamat tinggalnya diwakilkan oleh Pak Polisi yang menangani kecelekaan sepupu saya. Setelah Isya, saya bergegas menemui adiknya yang baru saja pulang dari ibukota. Menenangkannya yang jelas terlihat bergetar kala jiwanya tak siap mendengar kata perpisahan kakaknya. Saya berkata pada diri sendiri bahwa saya udah gede, kemudian menenangkan rasa yang berkecamuk di jiwanya. Adik dari sepupu saya yang berpamitan ini begitu dekat sejak kecil.

Menerabas malam, seluruh keluarga besar datang ke rumah beraroma duka. Menghambur tangis meramaikan malam, bergantian memeluk adik sepupu saya. Wajahnya sedih, lemas masih tak percaya, namun airmata ia jaga agar tak jatuh. Dalam hati saya mengatakan, kamu udah gede, dek. Turut serta adik sepupu, saya menahan diri untuk tidak menjatuhkan airmata. Mengabarkan kepada semua keluarga bahwa semuanya baik-baik saja.

Lewat tengah malam, kotak kayu seukuran manusia masuk ke rumah. Bergegas mengenakan sarung dan mengambil wudhu, saya duduk di depan kotak. Hal yang kontras sekali dengan masa kecil saya, hanya dengan mendengar suara tikus lewat genteng saja saya sudah takut bukan main. Udah gede, cepat atau lambat saya akan berada di depan kotak tak bernyawa keluarga saya, siapapun itu, atau sebaliknya. Kalau bukan saya, siapa lagi, waktu itu tak satupun keluarga yang bisa baca Al-Qur'an sanggup menahan getar sedihnya. Dan saya masih berusaha mengabarkan bahwa semuanya baik-baik saja. Adik sepupu bergegas menyusul duduk di samping saya. Malam itu, kami sekeluarga menemani perjalanan pulang kakaknya, sambil berpesan, kami baik-baik saja.

Air mata keluarga berpulang, membasahi jalanan pulang. Tanah-tanah keras tak lagi mengganas dirasakan kaki. Air mata keluarga berpulang, mendinginkan cuaca perjalanan. Udara panas hanya bersisa angin lepas.
....

Bila ada kesempatan untuk bertemu dengan orang tua saya, cobalah bertanya bagaimana saya bila di rumah. Kamu akan mendapati jawaban yang berkebalikan dengan apa yang kamu tahu selama ini. Orangtua saya pasti akan menjawab, anaknya yang tak bisa diam semasa kecil telah berubah menjadi remaja introvert dan tak mau banyak bercerita. Kamu juga akan mendapati jawaban mengejutkan, bahwa saya bukanlah orang yang hangat, tak berpetualang dan tak suka menyapa. Ini sejujurnya.

Ada pertanyaan kenapa yang saya dengar dari bibirmu. Banyak hal yang dapat merubah anak manusia, dan selayaknya hal seperti itu tak patut untuk diperbincangkan bersama, di sini. Kecuali bila kamu menemuiku dan bercengkerama berdua, sepertinya kamu akan mendengar cerita istimewa. 

Beberapa kali saya menemui penghibur-penghibur yang sedang menyepi dari bagaimana ia dikenal sekitarnya selama ini. Ia menjadi manusia biasa, lemah dan dihinggapi lelah. Sebagaimana sang penghibur, penonton hanya ingin tahu cerita bahagia saja, yang membuat hati mereka berbunga-bunga. Setelah tirai panggung diturunkan, penonton pulang bersenda gurau dengan berbagai cerita tentang apa yang sama-sama ditonton oleh temannya. Sang penghibur duduk, menghela lelah dalam kelemahannya. Saat kembali kepanggung untuk mencari teman bersandar, yang ia dapati hanya bangku-bangku kosong.

Saya tidak suka, lingkungan saya terlalu serius, kaku, seolah masalah hidup hanya dimiliki oleh dia. Saya tidak suka, lingkungan saya terlalu egois, seolah bisa hidup sendiri tanpa uluran tangan lainnya. Jemari kita bersela, pekerjaan kita tak mungkin sempurna. Ada batas yang ditunjukkan setiap ruas jemari, mengingatkan kita untuk tidak menggenggam tangan sendiri. Saya suka menghibur, dengan entah apa caranya, karena ketika saya menoleh kebelakang yang tersisa hanyalah bangku-bangku kosong. Hingga sekarang, saya meluangkan waktu untuk mendengar yang lainnya bercerita, menegakkan bahu untuk tempatnya bersandar, karena ketika saya butuh telinga untuk mendengar saya hanya menemui kesendirian, ketika saya sedang lelah butuh bersandar, di belakang saya hanya ada bangku-bangku kosong tanpa sandaran.

Terkadang saya lelah, dan tentu saja bosan. Tapi ketika rasa itu datang, saya ingat perkataan adik sepupu, because the best way to cheer yourself up, is cheering somebody else up.


....

Semalam, saya memulai melewati salah satu ketakutan besar mahasiswa, menulis proposal penelitian. Awalnya saya kira hanya dibutuhkan waktu sebentar untuk menyelesaikannya karena sudah ada contoh yang bisa diaptasi. Bukan bermaksud plagiat, tapi penelitian kami hanya beda di bahan. Saya menulis dan menulis hingga pagi, tanpa mengeluh. Saya diam sejenak, bertanya pada diri sendiri, saya kenapa? Bukan ada yang salah dengan diri saya, tapi ada saya melakukan hal benar dan anehnya untuk kali ini tidak bosan. Saya hanya tidur dua jam kurang kemudian, dan kembali menyelesaikan tugas lainnya. Saya heran kepada diri sendiri, tubuh saya bergerak tidak seperti semestinya yang bermalas-malasan. Tubuh saya bergerak, melaju menyelesaikan proposal yang belum penuh. Untuk ketiga kalinya saya terkejut dengan apa yang dilakukan oleh diri saya sendiri, setiap centi tubuh saya tidak berhenti sampai akhirnya saya merasa cukup. Dan proposal saya pun selesai dengan segala ketidaksempurnaannya.

Hiperbolis? Mungkin bila kamu sering bekerjasama dengan diri saya, kamu akan segera mengasingkan jauh-jauh kata tersebut. Dan kembali kamu harus percaya bahwa saya benar-benar tidak percaya bahwa saya mampu melakukan apa yang selama ini saya hindari : melaksanakan tugas dengan kesungguhan.

Udah gede, waktu sebentar lagi habis bagi jatah saya. Memenuhi hari dengan rasa bersalah lagi? Untuk apa? Mereka mungkin sudah lupa dan bahagia dengan caran hidupnya sekarang. Dan saya juga telah melunasi kesalahan dengan permintaan maaf serta pengasingan diri. Membayur dengan pesimis? Ada harapan tumbuh di setiap langkah penapak jalanan. Untuk apa lagi saya tak percaya kepada hal-hal luar biasa. Yang awalnya saya rasa tak mungkin dapat saya selesaikan, malah bisa saya selesaikan kurang dari 24 jam. Udah gede, dan saya harus mulai menapak dengan dada membusung, siap diterjang apapun warna nasib yang datang, hitam, putih, abu-abu, jingga atau biru langit. 

Saya tak perlu lagi mengis dengan lara dan keluh kesah, bahkan itu bila berarti diacuhkan olehmu setiap hari. Tak apa. Saya masih bisa bersyukur, setidaknya masih ada yang bisa membuat saya perhatian, saya masih bisa bersyukur, setidaknya masih ada yang menghibur meski hanya dapat mengagumi dari jauh.

Udah gede, tidak ada pencapaian yang menghadirkan gemerlap cerita dalam empat tahun ini. Saya tidak merasa ini waktunya, saya hanya merasa saya yang membutuhkannya. Hal-hal baru yang akanmenghadirkan gemerlap cerita.

Saya telah memutuskan untuk membuat catatan perjalan dalam jangka waktu tertentu. Jiwa saya butuh pindah. Menginginkan rasa-rasa yang belum pernah dijumpai, berbicara dengan orang-orang baru, mengunjungi sudut-sudut asing. Lalu merangkum dalam dokumen perjalanan yang akan menuturkan cerita. Kamu hanya perlu menunggunya, atau bila tertarik kamu bisa menjumpai saya dan bersama-sama mengumpulkan cerita menarik.

Catatan perjalanan ini sungguh. Akan segera tertulis di blog ini sebagai penutur yang menghibur, atau setidaknya penutur yang berbicara tentang kita.

Udah gede, saya hanya perlu mengumpulkan niat dan keberanian untuk memulai, selanjutnya perjalanan yang membawa. Seperti kata orang bijak nun jauh di negeri seberang, yang tersulit adalah langkah pertama.




Kamis, 14 November 2013

Baca Puisi



Sabtu, 19 Oktober 2013

Aku Anak Desa




Ketika aku tertawa
Kepada segala hal yang katamu
Aku tak 'kan bahagia
Kamu bilang aku berubah

Lalu aku harus bagaimana?
Tetap sinis dengan hidup?

Ketika aku mulai berjalan
Tanpa risau orang lain berkata apa
Kamu bilang aku rendah

Lalu aku harus bagaimana?
Menyiram hidup dengan keluh?

Ketika aku mulai menjadi diri sendiri
Persis seperti yang kamu tuturkan
Kamu bilang aku tak punya prinsip

Lalu aku harus bagaimana?
Menggadaikan jati diri?

Aku ini apa
Hanya anak desa
Yang tinggal di kota
Untuk sementara

Aku ini anak desa
Bila saatnya tiba
Aku akan pulang
Dengan sendirinya
Kepada sawah,
Sungai,
Langit biru,
Dan segala hal
Yang tak kamu punya,

Aku hanya anak desa
Sebanyak apapun kamu ajarkan
Selama apapun kamu pedulikan
Percuma
Aku hanya anak desa
Yang sok tahu tentang dunia

Minggu, 29 September 2013

Sebuah Kesalahan




Ini hati yang kamu bilang melukaimu,
Iya, ini hati itu
Ini hati yang kamu bilang melupakanmu,
Iya, ini hati itu
Ini hati yang kamu bilang menerbangkan harapanmu,
Iya, ini hati itu
Hanya, ada rahasia di balik hati ini


Rosa menuliskan catatan untuk dirinya sendiri yang akhirnya rebah, menyerah pada lelah.

Mudah bosan atau cepat bosan, begitulah aku menjalani sebuah kedekatan. Tak mudah bagiku merasa nyaman dalam sebuah kedekatan. tak susah bagiku memuaskan keinginan perasaan.

Ketertarikan adalah awal kedekatan yang ternyata hanya ingin yang dibesar-besarkan. Aku mudah sekali menemukan rasa tak nyaman, pada hal-hal kecil di dirimu yang kurasa ganjil. Mudah sekali aku mendapati rasa tak nyaman, pada kisah hidupmu yang tak sedikitpun menyulut kehidupanku.

Ini bukan pembelaan apalagi pembenaran. Kuakui sebuah kesalahan. Diriku tak bisa kendalikan keinginan. Memenuhinya dengan dalih inilah yang diinginkan perasaan. Nyatanya setelah berjalan, satu-satunya adalah meninggalkan.

Ini bukan pembelaan apalagi pembenaran. Kuakui sebuah kesalaha. kan kujalani penebusan. Karena sejujurnya pada hatiku juga tercipta sayatan, buah dari kelakuan.

Kepada hidupmu, aku tak lagi perlu berperan. Karena dengan lainnya kuyakini kamu akan lebih mudah menemukan kebahagiaan. Bawa pulang harapan yang kamu bawa gantungkan, karea yang kamu letakkan padaku, hanya akan berbalas kesia-siaan.

Maafkan. Ini sebuah kesalahan.

Tapi, padamu yang tawanya membuat hariku ringan. Sekalipun aku tak bosan. Bahkan pada acuhmu, aku masih bertahan.

Selasa, 24 September 2013

Menjauh Beberapa Hasta















Apakah telah ada kepastian,
bahwa hatimu memilihku?
Ataukah telah ada kepastian,
bahwa aku sungguh menyayangimu?

Kita saling menjauh,
mengambil jarak beberapa hasta
Hanya karena rasa
yang belum kita pastikan

Sungguh,
semestinya lebih baik hati didera luka
Mendengar kata tidak terucap
atau kenyataan menjawab
kita tak bisa lebih dekat dari ini

Sungguh,
berdiam diri menyimpan rasa adalah derita
Karena rasa penasaran setelahnya
menyuburkan tanya

Tanpa kepastian,
usaha terjauh yang kita lakukan
hanya menerka-menerka isi hati
memutuskan tuk simpulkan sendiri
apa yang kita yakini benar adanya

Seharusnya sederhana,
kita hanya perlu meluangkan waktu berdua
Mempertemukan dua mata dengan dua mata lainnya
agar saling bicara
Aku bertanya, dan kamu menjawabnya
Lalu kita menjalani hidup
berdua atau sendiri-sendiri
Tanpa perlu saling memunggungi
seperti waktu tadi




Sabtu, 21 September 2013

Berlayar Lebih Jauh



Ada kemudian yang sering kamu lupakan
Ada lusa yang kamu biarkan tanpa asa
Ada kemarin yang tak membiarkanmu yakin
Ada masa lalu yang membuatmu kehilangan banyak waktu

Kamu hanya perlu memilih
Terjebak seorang diri,
Atau berlari bersama

Kamu hanya perlu memutuskan,
Berhenti tanpa pernah pergi,
Atau merentangkan layar,
Tuk berlayar lebih jauh

Satu Buket Cinta

pegangi aku erat, nona

Babak I

Bila kamu masih sibuk dengan gengsi dan egomu, aku akan mulai belajar mencintai yang lain.
Bila kamu masih sibuk meragu, aku akan merelakan keyakinanku.
Bila kamu masih sibuk menarik-ulur rasa, aku akan lepas begitu saja.


Jemari lentik Nisa mengelus dinding gelas berisi kopi yang sudah dingin. Matanya menjelajah halaman kafe yang basah diguyur hujan sejak sejam lalu. Hujan deras kini menyisakan gerimis, tetesan air gemulai meluncur di kaca jendela.

Nisa sedang gelisah menunggu kekasihnya. Tidak hanya sekali ini Nisa melewati waktu sendirian hanya untuk mendapati kekasihnya datang mengucap maaf dengan wajah memelas. Sudah ratusan alasan, yang sebagian sama dari waktu ke waktu, diucapkan kekasihnya.

Nisa tiba di kafe ini pukul delapan lebih lima belas menit, sekarang jarum pendek jam dinding di dekatnya menunjuk angka sepuluh. Kuku jarinya mengetuk meja berulang kali, memberi irama untuk mempertanyakan kapan kesabarannya usai.

Tepat ketika kesabarannya tinggal segaris, sebuah mobil merah memasuki halaman kafe. Pengemudinya bergegas masuk, sesampainya di dalam matanya menjelajah untuk mencari seorang wanita. Setelah matanya menemukan yang dicari, ia kemudian menghampiri wanita yang sedari tadi menunggunya.

“Maaf sayang, aku tadi harus balik dulu ke rumah ... .” belum selesai lelaki itu bicara, Nisa berdiri, tangannya sibuk membuka dompet dan mengeluarkan selembar uang seratus ribuan. Ia letakkan uang itu di atas meja.

“Kali ini aku yang traktir.” Kata Nisa, kemudian ia berlalu meninggalkan kafe meski gerimis masih jatuh menyamarkan pipinya yang dialiri tangis.

...

aku tahu, aku tak layak menanyakannya

Babak II

Perasaan yang telah melangkah jauh dari awal tempat rasa tumbuh, mungkin membutuhkan sebuah tamparan untuk mengembalikan logika agar tetap berpijak erat di tanah.
Harapan karena diri sendiri yang membesarkan rasa tidaklah baik untuk dijadikan pegangan setiap waktu.
Langkah-langkah menuju ia harus segera berhenti secepatnya, sebelum kecewa tumbuh membesar dibalik harapan.
Telah menjadi rahasia umum bahwa kecewa tumbuh beriringan dengan membesarnya harap.
Tinggal masalah waktu siapa yang menjadi juara.


Tiga kata yang berdiam di layar kaca handphone mengurungnya dalam kamar semalaman. Rasa ingin tahu yang sebagian besar didorong oleh rindu membuatnya gelisah tak menentu. Tiga kata itu tak kunjung berangkat.

Ia membuka jejak-jejak percakapannya dengan seorang perempuan yang sudah lebih dari dua belas minggu ini ia suka. Beberapa pesan membuatnya tersenyum, pipinya bersemu. Dan pada pesan yang lain membuatnya terpaksa menggigit bibir bawahnya. Pesan-pesan tersebut membuatnya meragu untuk menebak perasaan sebenarnya perempuan itu.


Tiga kata itu masih di sana, menemaninya menimang-nimang rasa. Mereka ulang dalam pikiran apa yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Di sana ia melihat perempuan tersebut sedang asyik bercanda dengan seorang lelaki dalam sebuah toko buku kecil dekat kampus. Ia hanya melihat sebentar, lalu segera meninggalkan toko tersebut karena tak kuasa menahan cemburu.

Kali ini rasa ingin tahunya didorong oleh cemburu. Ia memenuhi rasa itu dengan mencari informasi tentang mereka berdua. Yang ia dapatkan dalam pencariannya adalah kecewa.

Tepat saat memori memutarkan hal itu di kepala, ia menekan tombol penghapus, mengusir setiap huruf dalam rangkaian kata yang tak kunjung berangkat.

Perempuan itu mengajarkan padanya tidak semua kebaikan pada lawan jenis ada karena cinta. Akan sangat mengerikan bila di masa ini orang-orang berbuat baik hanya bila menginginkan cinta.

Perasaannya urung dilanjutkan, ia tak mau mendapatkan kecewa yang lebih besar, kemudian menyalahkan sikap perempuan tersebut padanya selama ini. Jatuh cinta satu sisi pernah membuatnya bahagia, walaupun berbingkai kecewa, tapi setapak perjalanannya bersama perempuan itu perlu disempurnakan dengan rasa terimakasih.

Ia melepas kecewa dengan rebah dan lelap, menuju teduhnya mimpi-mimpi.
...

rupa langit

Babak III

Langit sore terlukis jingga
Langit pagi menguning serupa emas
Langit siang biru semarak awan putih
Mendung membuyarkan
Menukar dengan hitam
Satu warna langit menuju warna lainnya
Tanpa penjelasan


Bisakah kamu bertingkah seperti itu?
Berhenti bertanya mengapa
Nikmati saja
Bagaimana aku mencintaimu


Apapun warna langit
Aku tetap mencintaimu
Percayalah




Lagi-lagi suaminya mengatakan kekurangan rasa masakannya, itu berarti ia harus merelakan suaminya sarapan di luar rumah. Melepaskan kesempatan duduk satu meja di pagi hari adalah sebuah kebodohan besar. Ia menyesali masa mudanya yang hanya dihabiskan untuk menikmati berbagai kuliner tanpa pernah serius mencoba untuk belajar memasak.

Wanita itu adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Persis seperti citra anak terakhir lainnya, ia begitu dimanja, semua serba ada untuknya, bahkan sampai ia tumbuh dewasa makan masih saja disuapi. Hal ini seringkali menjadi olok-olok saudara lainnya, tapi ia tak pernah pedulikan. Ia hanya membalas dengan mengatakan bahwa saudaranya iri dengan perhatian orangtuanya.

Keputusannya untuk tidak mempekerjakan pembantu adalah sebuah keputusan nekat dan paling berani yang pernah ia lakukan. Alasannya sederhana tapi mempesona, ia ingin mencintai suaminya dengan sepenuh hati dan raga.

Saat memutuskan hal itu, ia sadar betul tidak memiliki kemampuan memasak. Mencuci dan menyetrika adalah hal asing baginya. Dan membersihkan rumah adalah kegiatan yang paling enggan ia lakukan. Kini, ia harus melakukan semua itu.

Hanya sekali ia menyesali keputusannya itu, yaitu ketika selama tujuh hari tak sekalipun ia berhasil membuat masakan yang enak dimakan. Bahkan mie instan pun ia masak terlalu matang. Ia menangis, merasa melakukan kesalahan besar kepada suaminya.

Saat itu suaminya memberikan pelukan dan berbisik, “Bagaimanapun rasa masakanmu, aku akan berusaha menghabiskannya.”

Sejak saat itu wanita itu belajar memasak lebih giat lagi, meski sampai saat ini masih sedikit masakannya yang mampu membuat lidah suaminya merasakan nikmat. Terkadang, kala suaminya bersedia menghabiskan masakannya yang kurang enak, ia tidak tega. Karena cinta saling menjaga, ia melindungi lidah suaminya untuk merasakan kurang enak masakannya, ia menyarankan untuk membeli di luar rumah saja. Alasannya karena ia khawatir, setelah menghabiskan masakannya yang tidak enak, suaminya malas berterimakasih memiliki istri seperti dirinya.

Kata kerja keras bukanlah padanan tepat untuk menggambarkan usaha wanita itu menjadi istri yang baik. Ia telah melakukan banyak hal hanya untuk menemukan resep yang pas membuat nasi goreng. Ia rela menghabiskan berjam-jam di dapur untuk membuat masakan yang belum tentu rasanya.

Ia begitu menghargai dan menyayangi suaminya, begitu juga sebaliknya. Wajar bila lelaki dan perempuan seperti itu, karena cinta itu saling. Mereka berdua menyadari dengan baik, bahagia adalah perjalanan hidup, karenanya apa yang dimiliki kini sudah lebih dari cukup.




Remah Remah Roti


Mungkin, saya memang telah menjadi bagian dari generasi social media. Saya sudah terpengaruh trend “bahagia itu sederhana”.

Saya mengartikan kalimat tersebut adalah sebuah pelajaran agar kita mensyukuri hal-hal kecil.

Dan sungguh bersyukurlah kamu, bila memang kamu mudah sekali bahagia, bukan menjadi bagian orang-orang yang kebahagiaannya mahal serta syarat dengan ego.

Seperti halnya saya sangat bersyukur dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang saya temukan pada hal-hal yang seringkali dianggao remeh temeh. Seperti bahagia hanya dengan berlama-lama menggigit ujung kuncup daun bambu. Atau bahagia karena bisa menemukan orang batuk di selembar uang seribu. Ataupun bahagia karena bisa melakukan trik-trik sulap membalik koin. Dan hal-hal kecil lainnya, termasuk menulis hal sederhana seperti ini.

Semoga, saya dan kamu, dijauhkan dari pengetahuan bahwa membenci adalah salah satu jalan untuk bahagia.

Semoga, kebahagiaan saya dan kamu tidak ditentukan dari apa yang orang lain bagi di social media.

Saya, mungkin sudah terlanjur menjadi generasi social media, berkata-kata tanpa berusaha menyaring dan menimang-nimang terlebih dahulu kelayakan hal-hal yang akan dibagi. Tetapi, saya tetap bisa memilih menjadi generasi social media yang positif atau yang hanya sekedar menulis diary di ruang publik.

...

Merasa tersaingi itu perlu.

Yang percuma, merasa tersaingi tanpa ada kontrol hati dan emosi. Sehabis merasa tersaingi kemudian terlalu banyak peduli dengan karya orang lain, lantas membenci dengan merendahkan dan mengecilkan karya tersebut.

Merasa lebih baik, itu tidak baik. Karena baik tidaknya sebuah karya adalah relatif. Dan manusia bukanlah juri yang adil dalam menilai.

Merasa lebih baik itu baik, selama tidak ada keinginan merendahkan dan mengecilkan orang lain.

Merasa, selama itu kamu butuhkan untuk membuat hidupmu lebih hidup tak apa, hanya saja kamu harus mematuhi syaratnya, miliki kontrol hati dan emosi terlebih dahulu.

Perjalanan Fiksi Hati



melaju ke depan

Juli, 2010
Masa lalu yang kelam membuatku sebisa mungkin menutup diri, bahkan bila itu hanya untuk diintip orang lain. Sejak aku tahu rasa sakit dapat berdampak luar biasa merubah kehidupan, langkahku pun menjejak perlahan, sebisa mungkin tak bersuara, karena meinggalkan jejak adalah hal yang aku takutkan ketika melangkah.

...

Desember, 2010.
Sebuah aroma yang dihirup hidungmu, membawamu melintasi dimensi waktu menuju masa lalu.
Bebunyian yang terdengar telingamu menyanyikan lagu nostalgia.
Rasa yang dikecap lidahmu, menari-nari bersama gambaran kenangan antara kamu dan mereka yang menemanimu.
Pemandangan yang dilihat mata mengingatkanmu ketika kamu berdiam pada sebuah rasa.

...

April, 2011.
Aku terlalu sibuk dengan gengsi dan ego sampai dengan bodohnya melewatkan ketertarikan dan perhatianmu.

...

Mei, 2011.
Sebuah kepergian menghentikanku untuk memercayakan hati ini padamu.
Sekian lama waktu berlalu tak kunjung menebalkan kepercayaanku bahwa kamu kan kembali.

...

Januari, 2012.
Delapan januari menuju sembilan januari aku sedang dalam perjalanan pulang. Berangkat sedari matahari berteduh dan sampai ketika ia terbit kembali.

Aku sampai di rumah bersama matahari yang meninggi. Di alamat yang sama aku menemui banyak hal yang berbeda. Cat yang mewarnai rumah ini bukan lagi warna pastel kesukaanmu. Bunga di taman telah berganti famili euphorbiaceae. Pagar yang melindungi rumah kini hanya setinggi pundakku. Dulu untuk mengintip ke dalam rumah saja aku harus memanjat pagar setinggi dua meter.

Awalnya aku mengira rumah ini telah di renovasi selama aku pergi, jadi aku putuskan saja untuk masuk. Di dalam tak kutemui satupun perabotan mewah yang gemar kamu kumpulkan. Perabotan berhias kemilau, memancarkan harga yang mahal namun rapuh, sekali tersenggol pecah sudah. Isi rumah ini telah diganti dengan perabotan berbahan kayu, dicat sewarna alam. Teduh, membuat nyaman siapa saja yang masuk. Berlama-lama di rumah ini pun kurasa tak akan bosan, yang ada kantukku segera disulut, kemudian hanya sisa lelap dariku.

Aku pulang, menempuh perjalanan lebih dari enam ratus kilometer, untuk menjumpai rumah penuh rindu.

Aku telah pulang, sampai di alamat yang sama. Tetapi aku pulang tidak lagi kepadamu, rumah yang menjagaku hidup namun sesak tuk bernafas. Aku pulang ke alamat yang sama, namun kepada rumah yang jauh lebih nyaman.

Aku memutuskan untuk memilih menetap pada rumah yang dipenuhi ingin mengetahui kabar dariku, meninggalkan rumah yang dipenuhi oleh ego pemiliknya.

...

September, 2013
Aku tidak berhenti mencintaimu, aku hanya berhenti melukai diriku sendiri. Bila kelak kamu dapat dicintai lagi dengan jalan lebih baik, aku bersedia. Bila tidak, hati ini selalu siap dengan kehidupan baru.

 
aku pergi

Hidup Memang Layak





Mereka tak pernah memintamu hidup berbahagia atau penuh sia-sia, mereka tak peduli. Tetapi, apa kamu bersedia membiarkan mereka menderita hanya karena kamu takut menantang luka?

Saya mengenal mbak Kartika Dewi ketika saat masih menjadi maba di UNAIR. Dia adalah pengajar muda golongan pertama dari gerakan inspiratif yang sudah banyak dikenal, yaitu Indonesia Mengajar. Ketika itu ia menjadi pembicara di acara yang kami buat dengan tajuk ke-Indonesiaan. Ia sedang cuti tugas mengajar kala itu.

Dulu ia satu almamater dengan saya, sampai akhirnya menjabat posisi tinggi di sebuah perusahaan besar Singapura. Setiap akhir pekan ia sering melakukan perjalanan ke luar Singapura menuju Australia, Thailand, India, dan berbagai negara lainnya yang bisa dihabiskan untuk liburan dalam beberapa hari. Ia bebas melakukan apa saja yang ia mau karena dalam posisi yang ia jabat, uang yang didapat sudah pasti jauh lebih dari cukup. Bila dihitung dari segi materi, mbak Kartika Dewi sudah bisa dibilang melampaui kesuksesan.

Dengan bermacam pencapaian, mbak Kartika Dewi pernah merasakan pesimis kepada negaranya sendiri, negara yang telah membesarkannya hingga mampu meraup dollar di negeri tetangga. Ia sulit menemukan hal positif tentang Indonesia, hal itu perlahan berubah menjadi benci, sampai ia sempat terbersit untuk pindah kewarganegaraan saja, apalagi ketika itu bila ia mau menjadi warga negara Singapura, banyak keuntungan duniawi yang ia dapat.

Indonesia ternyata tak rela salah satu putri terbaiknya pergi. Mbak Kartika Dewi membuat milis yang beranggotakan putra-putri ibu pertiwi yang sedang merantau di negara berbeda, dan juga beberapa penduduk non-Indonesia yang mencintai Indonesia. Ia bertanya satu hal, “Kenapa kamu mencintai Indonesia?”. Dari sini ia berusaha mengumpulkan hal-hal positif agar rasa pesimisnya segera sirna.

Satu persatu email yang dikirim ia baca, dan ia tak kuasa menahan airmata. Ada dua alasan ia menangis, satu karena ia malu melewatkan bagian-bagian Indonesia untuk disyukuri, dua karena ia terharu masih banyak orang yang mencintai Indonesia dengan tulus, bahkan ada seorang berkebangsaan Perancis yang sedang berusaha menjadi warga Indonesia karena begitu cintanya ia akan Indonesia. Mbak Kartika Dewi mengemas pesimis yang ia miliki dan ia buang jauh-jauh ke selat Malaka.

Sekarang, ia bertanya, apa yang bisa ia lakukan untuk menunjukkan cintanya kepada Indonesia?
dua dari kiri...

Tak lama ia dipertemukan dengan sebuah gerakan Indonesia Mengajar yang diinisiasi oleh Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina. Tanpa banyak berpikir, ia meninggalkan jabatan serta kenyamanannya di Singapura untuk ditukar dengan sebuah tempat terpencil yang bahkan tidak ada di peta.

Setelah di terima, ia mendapat bagian untuk mengajar di sebuah tempat terpencil Ternate. Ia menempuh tiga jam perjalanan udara, untuk sampai di Ternate, kemudian perjalanan darat lebih dari enam jam, dilanjutkan dengan perjalanan air lebih dari delapan jam untuk sampai pulau besar, kemudian naik kapal kecil yang tidak setiap hari ada untuk sampai ditujuan. Sampai di pulau pun masih harus melakukan perjalanan darat dengan jalan kaki selama berjam-jam. Hingga akhirnya sampai di tempat entah dimana.

Selama satu tahun, ia akan memulai hidup baru yang terisolasi dari hingar bingar kota. Tak ada litrik, tak ada sinyal telepon, air bersih tidak selalu ada, makanan seadanya, dan berbagai alasan yang akan didefinisikan anak kota sebagai ketidaknyamanan.

Selama satu tahun, ia melunasi janji negara untuk mencerdaskan anak bangsa. Mengenalkan dunia di tempat yang tak pernah tahu apa-apa. Membantu meyakinkan setiap mimpi dapat diwujudkan.

Selama satu tahun, ia memerdakan rakyat setempat.

Lihat tawa mereka...

Sekembaliya dari sana, ia mengabarkan bahwa di tempat-tempat yang tak kita tahu, kemampuan anak-anak bangsa juga sama, bahkan ada potensi-potensi luar biasa, hanya saja mereka tak miliki kesempatan seperti anak-anak kota.

Mbak Kartika Dewi menanggalkan kenyamanan yang didamba banyak anak muda, untuk menerima ribuan alasan luka dan kesedihan di sebuah tempat antah berantah. Ia mau turun tangan bersusah-susah menyalakan lilin-lilin kecil bahagia di sebuah tempat yang mungkin bahwa sebagian besar penduduknya tak tahu siapa Wakil Presidennya.


Sepulang dari sana, mbak Kartika Dewi dapat pulang dengan kepala tegak, karena siapapun pasti bangga, masih ada pejuang di negeri ini.

...

Semoga ...,” begitulah kebiasaan kita berkata kala kenyataan kenyataan meminta berhenti, namun masih ada sebutir kemungkinan.

Semoga, kekuatan kecil yang menopang agar kita tak jatuh, tak rebah sebelum waktunya tiba.

Semoga, lahir dari harapan yang menetes di sela-sela ketidakpastian.

Namanya Bagus Rahmat Santoso, saya sudah bersahabat dengannya sejak SMP. Ia adalah anak pindahan di sekolah ketika itu. Tidak berasal dari keluarga dengan ekonomi berada, waktu SMP, bapaknya setiap pagi ke pasar untuk berjualan kerupuk, dan sekarang telah berhenti dan hanya mengurusi sawah hasil gadaian. Sementara ibunya, pagi hari berjualan nasi pecel di depan rumahnya, sementara itu siangnya setelah masuk jam delapan ia berjualan di sekolah dekat rumah.

Sebagai anak pertama, sahabat saya ini memiliki keinginan untuk mengangkat derajat ekonomi keluarganya. Sebenarnya ia ingin melanjutkan kuliah, namun apa daya, keadaan memintanya untuk berhenti.

Ia pasrah, namun tidak sepenuhnya berhenti, ia bekerja serabutan sambil membantu di rental. Lembar demi lembar uang dikumpulkan, namun rasanya tetap tak cukup untuk melanjutkan kuliah. Kami sering berkata, “Yah, semoga kesampaian nanti.”

Setengah tahun lepas dari SMA, ada rencana pembangunan sebuah SMK di dekat rumahnya yang sekarang jadi tempat berjualan ibunya. Salah satu orang yang bekerja di SMK memintanya untuk melamar kerja sebagai staff TU.

Ia diterima di SMK tersebut. Dari sinilah harapan mulai perlahan bersinar, meski redup ia tetap percaya. Pihak sekolah mengijinkan ia bekerja sekaligus kuliah. Jangan dibayangkan ia kuliah di Perguruan Tinggi ternama, ia kuliah di universitas kecil di kota kami. Tidak masalah besar kecilnya perguruan tinggi baginya, yang terpenting akhirnya keinginannya untuk melanjutkan sekolah terpenuhi. Dan dari sini impiannya untuk mendapat kehidupan keluarganya yang lebih baik mulai ia wujudkan.

Semoga, mimpinya terwujud.

Kamis, 12 September 2013

Seniman Idaman



Seandainya saja ada yang bertanya padaku, siapa seniman yang dekat dengan karyaku, tentu saja aku akan menjawab dirimulah salah satunya.

Dua tahun lalu, saat tahu bahwa kamu masuk kategori wanita yang layak dikagumi, wanita yang memiliki selera musik berbeda dari kebanyakan, wanita yang mampu memilah seni visual dengan baik, sejak saat itulah aku memutuskan bahwa kamu adalah seniman yang pantas diikuti.

Bagiku, seniman-seniman besar tidak selalu bisa diikuti, karena seni berhubungan dengan interpretasi dan hati, dalam setiap manusia hal ini relatif dan berbeda-beda. Dalam kasusku, aku lebih sering dekat dengan karya seseorang yang belum banyak dikenal atau malah tidak dikenal. Karena karya merekalah yang seringkali dekat dengan hidupku.

Dari pilihan lagu milikmu aku bisa tahu bahwa kamu bukanlah wanita tipikal. Mungkin aku harus menggunakan kata yang agak naif untuk menerjemahkan selera musik dan kepribadianmu, mungkin kata yang cukup tepat adalah spesifik.

Aku menyukai semua lagu yang kamu letakkan dalam ruangmu berkarya, lagu-lagu indie maupun lagu-lagu yang tidak populer di telinga lingkungan kita. Betapa aku menyukai selera musikmu sampai-sampai pernah mampu membuat cemburu wanita yang berkata tak bisa pada rasa sayangku.

Sudah lama sekali aku mengetahui pemusik bernama payung teduh, namun tak kunjung kudengarkan. Hanya karena kamu memilih pemusik itu tuk jadi jagoanmu, akupun turut mendengarkan tanpa paksaan.

Aku percaya lagu yang dipilih setiap orang memiliki kisahnya sendiri. Setiap mendengarkan lagu pilihanmu, aku tersenyum sendiri sembari menyelam ke dalam rasa yang kamu titipkan pada nada-nadanya, membaca cerita-cerita milikmu yang kamu percayakan pada setiap liriknya.

Aku mencoba mengenalmu dari setiap lagu pilihanmu, walaupun terlihat sia-sia, hal itu sudah cukup membuatku bahagia. Artinya, selera musikmu telah menyederhanakan bahagiaku.


Kisahmu yang bermula sedari menginjakkan kaki di kota seribu matahari ini hingga kini seringkali aku intip tanpa permisi. Hanya agar hati merasa dekat denganmu, seniman idaman.

Banyak hal yang tanpa kamu sadari, atau mungkin kamu lakukan tanpa sadar, aku pelajari darimu. Kisahmu tak jauh berbeda denganku, sama-sama membenci lingkungan ini awalnya. Kamu yang tetap berdiri meski tak tegak lagi, berjalan meski tertatih-aku belajar dari sini. Kamu yang terus melakukan hal-hal yang kamu sukai agar tak cepat mati karena tak menikmati hidup di sini-aku belajar dari hal ini. Aku memilih mencari ruang baru sepertimu, yang masih hijau, segar, menyediakan banyak oksigen untuk paru-paru. Darimu, aku belajar untuk lebih memilih melakukan hal-hal yang membuatku nyaman daripada melakukan hal-hal yang orang inginkan namun tak sekalipun membuatku nyaman.

Aku belajar dari ketiadaan kita saling mengenal.

Coklat, kopi dan baju-baju warna pastel yang sering kamu jadikan karya visualmu semakin mensahihkan bahwa kamu wanita yang layak kujadikan seniman idaman. Mata dan hatiku selalu puas menatap lama-lama visual yang kamu susun rapi. Waktu luang kadang kurelakan untuk tenggelam memanjakan diri dalam ruang karyamu.


Satu lagi, aku menyukai rambut dicepol yang sering kamu pamerkan.

Dan karya pemusik bernama Sore dengan judul Ssstt kesukaanmu, akhir-akhir ini mampu menenangkan gelisahku...