Sabtu, 21 September 2013

Hidup Memang Layak





Mereka tak pernah memintamu hidup berbahagia atau penuh sia-sia, mereka tak peduli. Tetapi, apa kamu bersedia membiarkan mereka menderita hanya karena kamu takut menantang luka?

Saya mengenal mbak Kartika Dewi ketika saat masih menjadi maba di UNAIR. Dia adalah pengajar muda golongan pertama dari gerakan inspiratif yang sudah banyak dikenal, yaitu Indonesia Mengajar. Ketika itu ia menjadi pembicara di acara yang kami buat dengan tajuk ke-Indonesiaan. Ia sedang cuti tugas mengajar kala itu.

Dulu ia satu almamater dengan saya, sampai akhirnya menjabat posisi tinggi di sebuah perusahaan besar Singapura. Setiap akhir pekan ia sering melakukan perjalanan ke luar Singapura menuju Australia, Thailand, India, dan berbagai negara lainnya yang bisa dihabiskan untuk liburan dalam beberapa hari. Ia bebas melakukan apa saja yang ia mau karena dalam posisi yang ia jabat, uang yang didapat sudah pasti jauh lebih dari cukup. Bila dihitung dari segi materi, mbak Kartika Dewi sudah bisa dibilang melampaui kesuksesan.

Dengan bermacam pencapaian, mbak Kartika Dewi pernah merasakan pesimis kepada negaranya sendiri, negara yang telah membesarkannya hingga mampu meraup dollar di negeri tetangga. Ia sulit menemukan hal positif tentang Indonesia, hal itu perlahan berubah menjadi benci, sampai ia sempat terbersit untuk pindah kewarganegaraan saja, apalagi ketika itu bila ia mau menjadi warga negara Singapura, banyak keuntungan duniawi yang ia dapat.

Indonesia ternyata tak rela salah satu putri terbaiknya pergi. Mbak Kartika Dewi membuat milis yang beranggotakan putra-putri ibu pertiwi yang sedang merantau di negara berbeda, dan juga beberapa penduduk non-Indonesia yang mencintai Indonesia. Ia bertanya satu hal, “Kenapa kamu mencintai Indonesia?”. Dari sini ia berusaha mengumpulkan hal-hal positif agar rasa pesimisnya segera sirna.

Satu persatu email yang dikirim ia baca, dan ia tak kuasa menahan airmata. Ada dua alasan ia menangis, satu karena ia malu melewatkan bagian-bagian Indonesia untuk disyukuri, dua karena ia terharu masih banyak orang yang mencintai Indonesia dengan tulus, bahkan ada seorang berkebangsaan Perancis yang sedang berusaha menjadi warga Indonesia karena begitu cintanya ia akan Indonesia. Mbak Kartika Dewi mengemas pesimis yang ia miliki dan ia buang jauh-jauh ke selat Malaka.

Sekarang, ia bertanya, apa yang bisa ia lakukan untuk menunjukkan cintanya kepada Indonesia?
dua dari kiri...

Tak lama ia dipertemukan dengan sebuah gerakan Indonesia Mengajar yang diinisiasi oleh Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina. Tanpa banyak berpikir, ia meninggalkan jabatan serta kenyamanannya di Singapura untuk ditukar dengan sebuah tempat terpencil yang bahkan tidak ada di peta.

Setelah di terima, ia mendapat bagian untuk mengajar di sebuah tempat terpencil Ternate. Ia menempuh tiga jam perjalanan udara, untuk sampai di Ternate, kemudian perjalanan darat lebih dari enam jam, dilanjutkan dengan perjalanan air lebih dari delapan jam untuk sampai pulau besar, kemudian naik kapal kecil yang tidak setiap hari ada untuk sampai ditujuan. Sampai di pulau pun masih harus melakukan perjalanan darat dengan jalan kaki selama berjam-jam. Hingga akhirnya sampai di tempat entah dimana.

Selama satu tahun, ia akan memulai hidup baru yang terisolasi dari hingar bingar kota. Tak ada litrik, tak ada sinyal telepon, air bersih tidak selalu ada, makanan seadanya, dan berbagai alasan yang akan didefinisikan anak kota sebagai ketidaknyamanan.

Selama satu tahun, ia melunasi janji negara untuk mencerdaskan anak bangsa. Mengenalkan dunia di tempat yang tak pernah tahu apa-apa. Membantu meyakinkan setiap mimpi dapat diwujudkan.

Selama satu tahun, ia memerdakan rakyat setempat.

Lihat tawa mereka...

Sekembaliya dari sana, ia mengabarkan bahwa di tempat-tempat yang tak kita tahu, kemampuan anak-anak bangsa juga sama, bahkan ada potensi-potensi luar biasa, hanya saja mereka tak miliki kesempatan seperti anak-anak kota.

Mbak Kartika Dewi menanggalkan kenyamanan yang didamba banyak anak muda, untuk menerima ribuan alasan luka dan kesedihan di sebuah tempat antah berantah. Ia mau turun tangan bersusah-susah menyalakan lilin-lilin kecil bahagia di sebuah tempat yang mungkin bahwa sebagian besar penduduknya tak tahu siapa Wakil Presidennya.


Sepulang dari sana, mbak Kartika Dewi dapat pulang dengan kepala tegak, karena siapapun pasti bangga, masih ada pejuang di negeri ini.

...

Semoga ...,” begitulah kebiasaan kita berkata kala kenyataan kenyataan meminta berhenti, namun masih ada sebutir kemungkinan.

Semoga, kekuatan kecil yang menopang agar kita tak jatuh, tak rebah sebelum waktunya tiba.

Semoga, lahir dari harapan yang menetes di sela-sela ketidakpastian.

Namanya Bagus Rahmat Santoso, saya sudah bersahabat dengannya sejak SMP. Ia adalah anak pindahan di sekolah ketika itu. Tidak berasal dari keluarga dengan ekonomi berada, waktu SMP, bapaknya setiap pagi ke pasar untuk berjualan kerupuk, dan sekarang telah berhenti dan hanya mengurusi sawah hasil gadaian. Sementara ibunya, pagi hari berjualan nasi pecel di depan rumahnya, sementara itu siangnya setelah masuk jam delapan ia berjualan di sekolah dekat rumah.

Sebagai anak pertama, sahabat saya ini memiliki keinginan untuk mengangkat derajat ekonomi keluarganya. Sebenarnya ia ingin melanjutkan kuliah, namun apa daya, keadaan memintanya untuk berhenti.

Ia pasrah, namun tidak sepenuhnya berhenti, ia bekerja serabutan sambil membantu di rental. Lembar demi lembar uang dikumpulkan, namun rasanya tetap tak cukup untuk melanjutkan kuliah. Kami sering berkata, “Yah, semoga kesampaian nanti.”

Setengah tahun lepas dari SMA, ada rencana pembangunan sebuah SMK di dekat rumahnya yang sekarang jadi tempat berjualan ibunya. Salah satu orang yang bekerja di SMK memintanya untuk melamar kerja sebagai staff TU.

Ia diterima di SMK tersebut. Dari sinilah harapan mulai perlahan bersinar, meski redup ia tetap percaya. Pihak sekolah mengijinkan ia bekerja sekaligus kuliah. Jangan dibayangkan ia kuliah di Perguruan Tinggi ternama, ia kuliah di universitas kecil di kota kami. Tidak masalah besar kecilnya perguruan tinggi baginya, yang terpenting akhirnya keinginannya untuk melanjutkan sekolah terpenuhi. Dan dari sini impiannya untuk mendapat kehidupan keluarganya yang lebih baik mulai ia wujudkan.

Semoga, mimpinya terwujud.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Negeri ini sdh memberikan udara, pangan, dan kehidupan utk kita. Tp apa kita sdh pernah memberi utk negeri ini? *renungan dr salah seorang Pengajar Muda V*

Posting Komentar