Mereka tak pernah memintamu
hidup berbahagia atau penuh sia-sia, mereka tak peduli. Tetapi, apa
kamu bersedia membiarkan mereka menderita hanya karena kamu takut
menantang luka?
Saya mengenal mbak Kartika
Dewi ketika saat masih menjadi maba di UNAIR. Dia adalah pengajar
muda golongan pertama dari gerakan inspiratif yang sudah banyak
dikenal, yaitu Indonesia Mengajar. Ketika itu ia menjadi pembicara di
acara yang kami buat dengan tajuk ke-Indonesiaan. Ia sedang cuti
tugas mengajar kala itu.
Dulu ia satu almamater
dengan saya, sampai akhirnya menjabat posisi tinggi di sebuah
perusahaan besar Singapura. Setiap akhir pekan ia sering melakukan
perjalanan ke luar Singapura menuju Australia, Thailand, India, dan
berbagai negara lainnya yang bisa dihabiskan untuk liburan dalam
beberapa hari. Ia bebas melakukan apa saja yang ia mau karena dalam
posisi yang ia jabat, uang yang didapat sudah pasti jauh lebih dari
cukup. Bila dihitung dari segi materi, mbak Kartika Dewi sudah bisa
dibilang melampaui kesuksesan.
Dengan bermacam
pencapaian, mbak Kartika Dewi pernah merasakan pesimis kepada
negaranya sendiri, negara yang telah membesarkannya hingga mampu
meraup dollar di negeri tetangga. Ia sulit menemukan hal positif
tentang Indonesia, hal itu perlahan berubah menjadi benci, sampai ia
sempat terbersit untuk pindah kewarganegaraan saja, apalagi ketika
itu bila ia mau menjadi warga negara Singapura, banyak keuntungan
duniawi yang ia dapat.
Indonesia ternyata tak
rela salah satu putri terbaiknya pergi. Mbak Kartika Dewi membuat
milis yang beranggotakan putra-putri ibu pertiwi yang sedang merantau
di negara berbeda, dan juga beberapa penduduk non-Indonesia yang
mencintai Indonesia. Ia bertanya satu hal, “Kenapa kamu mencintai
Indonesia?”. Dari sini ia berusaha mengumpulkan hal-hal positif
agar rasa pesimisnya segera sirna.
Satu persatu email yang
dikirim ia baca, dan ia tak kuasa menahan airmata. Ada dua alasan ia
menangis, satu karena ia malu melewatkan bagian-bagian Indonesia
untuk disyukuri, dua karena ia terharu masih banyak orang yang
mencintai Indonesia dengan tulus, bahkan ada seorang berkebangsaan
Perancis yang sedang berusaha menjadi warga Indonesia karena begitu
cintanya ia akan Indonesia. Mbak Kartika Dewi mengemas pesimis yang
ia miliki dan ia buang jauh-jauh ke selat Malaka.
Sekarang, ia bertanya, apa
yang bisa ia lakukan untuk menunjukkan cintanya kepada Indonesia?
Tak lama ia dipertemukan
dengan sebuah gerakan Indonesia Mengajar yang diinisiasi oleh Anies
Baswedan, rektor Universitas Paramadina. Tanpa banyak berpikir, ia
meninggalkan jabatan serta kenyamanannya di Singapura untuk ditukar
dengan sebuah tempat terpencil yang bahkan tidak ada di peta.
Setelah di terima, ia
mendapat bagian untuk mengajar di sebuah tempat terpencil Ternate. Ia
menempuh tiga jam perjalanan udara, untuk sampai di Ternate, kemudian
perjalanan darat lebih dari enam jam, dilanjutkan dengan perjalanan
air lebih dari delapan jam untuk sampai pulau besar, kemudian naik
kapal kecil yang tidak setiap hari ada untuk sampai ditujuan. Sampai
di pulau pun masih harus melakukan perjalanan darat dengan jalan kaki
selama berjam-jam. Hingga akhirnya sampai di tempat entah
dimana.
Selama satu tahun, ia akan
memulai hidup baru yang terisolasi dari hingar bingar kota. Tak ada
litrik, tak ada sinyal telepon, air bersih tidak selalu ada, makanan
seadanya, dan berbagai alasan yang akan didefinisikan anak kota
sebagai ketidaknyamanan.
Selama satu tahun, ia
melunasi janji negara untuk mencerdaskan anak bangsa. Mengenalkan
dunia di tempat yang tak pernah tahu apa-apa. Membantu meyakinkan
setiap mimpi dapat diwujudkan.
Selama satu tahun, ia
memerdakan rakyat setempat.
Lihat tawa mereka... |
Mbak Kartika Dewi
menanggalkan kenyamanan yang didamba banyak anak muda, untuk menerima
ribuan alasan luka dan kesedihan di sebuah tempat antah berantah. Ia
mau turun tangan bersusah-susah menyalakan lilin-lilin kecil bahagia
di sebuah tempat yang mungkin bahwa sebagian besar penduduknya tak
tahu siapa Wakil Presidennya.
Sepulang dari sana, mbak
Kartika Dewi dapat pulang dengan kepala tegak, karena siapapun pasti
bangga, masih ada pejuang di negeri ini.
“Semoga ...,”
begitulah kebiasaan kita berkata kala kenyataan kenyataan meminta
berhenti, namun masih ada sebutir kemungkinan.
Semoga, kekuatan kecil
yang menopang agar kita tak jatuh, tak rebah sebelum waktunya tiba.
Semoga, lahir dari
harapan yang menetes di sela-sela ketidakpastian.
Namanya Bagus Rahmat
Santoso, saya sudah bersahabat dengannya sejak SMP. Ia adalah anak
pindahan di sekolah ketika itu. Tidak berasal dari keluarga dengan
ekonomi berada, waktu SMP, bapaknya setiap pagi ke pasar untuk
berjualan kerupuk, dan sekarang telah berhenti dan hanya mengurusi
sawah hasil gadaian. Sementara ibunya, pagi hari berjualan nasi pecel
di depan rumahnya, sementara itu siangnya setelah masuk jam delapan
ia berjualan di sekolah dekat rumah.
Sebagai anak pertama,
sahabat saya ini memiliki keinginan untuk mengangkat derajat ekonomi
keluarganya. Sebenarnya ia ingin melanjutkan kuliah, namun apa daya,
keadaan memintanya untuk berhenti.
Ia pasrah, namun tidak
sepenuhnya berhenti, ia bekerja serabutan sambil membantu di rental.
Lembar demi lembar uang dikumpulkan, namun rasanya tetap tak cukup
untuk melanjutkan kuliah. Kami sering berkata, “Yah, semoga
kesampaian nanti.”
Setengah tahun lepas dari
SMA, ada rencana pembangunan sebuah SMK di dekat rumahnya yang
sekarang jadi tempat berjualan ibunya. Salah satu orang yang bekerja
di SMK memintanya untuk melamar kerja sebagai staff TU.
Ia diterima di SMK
tersebut. Dari sinilah harapan mulai perlahan bersinar, meski redup
ia tetap percaya. Pihak sekolah mengijinkan ia bekerja sekaligus
kuliah. Jangan dibayangkan ia kuliah di Perguruan Tinggi ternama, ia
kuliah di universitas kecil di kota kami. Tidak masalah besar
kecilnya perguruan tinggi baginya, yang terpenting akhirnya
keinginannya untuk melanjutkan sekolah terpenuhi. Dan dari sini
impiannya untuk mendapat kehidupan keluarganya yang lebih baik mulai
ia wujudkan.
1 komentar:
Negeri ini sdh memberikan udara, pangan, dan kehidupan utk kita. Tp apa kita sdh pernah memberi utk negeri ini? *renungan dr salah seorang Pengajar Muda V*
Posting Komentar