“Wan,
kapan kamu nikah?”
“Nanti
to,
Pak. Awan masih belum siap kalau sekarang.”
“Nanti,
nanti, nanti! Nanti kok terus, keburu Bapak ini ndak
bisa lihat nikahanmu, Le ….”
“Hush,
Bapak kok ngomong gitu …. Iya, iya, Awan janji nikah, secepatnya.”
Sudah
setahun ini Bapak selalu menanyakan jodohku. Dan akhir-akhir ini
Bapak ngebet
minta aku buru-buru nikah. Aku masih belum siap kalau sekarang,
walaupun hidupku sudah mapan tapi aku masih menunggu kekasihku yang
sedang mengejar gelar S2-nya di Prancis.
Tahun
ini adalah tahun ke 5 hubungan kami. Waktu yang cukup panjang untuk
mengerti satu sama lain. Aku masih menunggunya, dan ia disana masih
mempercayaiku menjadi cintanya. Dulu waktu mau pergi ke Prancis, aku
berjanji akan melamarnya saat ia pulang membawa gelar nanti.
“Kamu
masih nunggu dia, si siapa itu … Tanti?” Aku mengangguk. “Eleng
nak, eling
kamu itu siapa, la si Tanti itu sudah anak orang kaya, kuliah S2 di
Prancis lagi, kamu itu ndak
satu derajat sama dia.” Aku sudah sering dengar omongan Bapak yang
seperti ini, aku sudah kebal, coba kalau dulu, aku pasti sudah marah.
“Kita
berdua kan saling cinta, Pak ….”
“Halah,
sok pujangga kamu. Kalau kamu mau nyari perempuan lagi, nanti juga
bakal cinta.”
Perdebatan
seperti ini memang selalu dimenangkan Bapak. Mati-matian membela
Tanti juga nggak akan merubah penilaian bapak kepadanya selama ini.
Sejak
pertama kali mengenalkan Tanti kepada keluarga, Bapak sudah
menunjukkan gelagat kalau ia nggak suka dengan kekasihku. Awalnya
Bapak bilang nggak suka karena pakaian Tanti yang menurut Bapak nggak
sopan, alasan lainnya pun bersambut, karena nggak sederajatlah, kita
berdua nggak cocoklah, yang paling bapak nggak
suka adalah perilakuku berubah sejak mengenal Tanti. Sebenarnya Bapak
terlalu berlebihan menilai Tanti, berlebihan mencari keburukannya.
Tanti tak pernah mempermasalahkan status keluargaku, kita berdua
selama ini juga merasa cocok-cocok saja. Kenapa perilakuku berubah
pun bukanlah karena Tanti, tapi karena aku memang ingin bergaul lebih
luas lagi, sebagai anak muda aku ingin menjalani kehidupan seperti
lainnya.
Sebenarnya
Bapak bukanlah sosok yang memandang orang dari segi materi, ia
orangnya realistis, baginya hubunganku dengan Tanti adalah hubungan
yang nggak realistis, karena itu Bapak nggak suka, Bapak khawatir
anaknya nanti malah sakit hati.
Bapak
memang hanya seorang penjahit di kampung, penghasilannya berlimpah
hanya saat-saat mendekati hari lebaran atau saat hari kemerdekaan.
Sementara ibu buka warung kecil-kecilan di depan rumah, jual makanan
juga segala keperluan rumah tangga sehari-hari. Dari hasil kerja
keras mereka akhirnya aku bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang
kuliah. Walaupun hanya D3, tapi aku sangat bersyukur bisa kuliah
ditengah ekonomi keluarga yang pas-pasan.
Ibu
bilang aku boleh kuliah lagi kalau mau, masih ada tabungan di Bank.
Aku berterimakasih atas kebaikan orangtuaku, tapi aku menolaknya
dengan halus, lebih baik uang itu untuk biaya adikku kuliah nanti.
Aku lebih memilih bekerja untuk menambah ekonomi keluarga serta
menabung untuk pernikahanku nanti.
…
Malang,
1 Januari 2008. 00.37 WIB
“Sebentar
lagi kita nggak bisa kayak gini lagi, ya ….” tangan
Tanti menggenggam erat kedua tanganku, jemarinya menyapu punggung
tanganku.
Aku
menyunggingkan senyum padanya, kutarik perlahan tangannya kearahku,
sekarang ia dalam pelukan. Ia tengadahkan wajahnya, butir-butir
airmata yang meleleh lebih dari cukup untuk menunjukkan besar rasa
sayangnya padaku.
“Keciiil
…,” begitu panggilan kesayanganku untuknya. “Cinta nggak harus
selalu bersama. Walaupun dipisahkan jarak, kita masih bisa berbagi
kasih sayang, kan? Cinta itu lebih besar daripada jarak yang
memisahkan kita nanti.”
Tanti
memandang wajahku dengan serius, seolah ia ingin mencari sebuah
jawaban dari keraguannya. Ia mengangguk. Aku kecup keningnya.
“Aku
takut ….” Ia kembali memandang wajahku, “Aku takut aku egois
dan nggak sanggup jaga hubungan kita.”
“Kecil
…, aku sebenarnya juga khawatir nggak sanggup nunggu kamu. Tapi aku
yakin cinta kita lebih kuat daripada ketakutan kita. Pemilik cintanya
juga pasti kuat.”
Tanti
tersenyum, manis sekali. “Makasih ya, sayang, kamu udah percaya
banget sama aku.” Ia kecup pipiku. “Semoga sejauh apapun kita
terpisah, cinta akan selalu menemukan jalan pulang ke rumah untuk
kembali bertemu.” Aku tersenyum dan mengangguk penuh setuju.
Sebuah
pelukan hangat untuk malam yang dingin dari dua sejoli yang takut
akan akhir kisah
cintanya
kelak.
Malam
ini, aku, Tanti dan enam orang teman lainnya merayakan tahun baru di
Villa salah seorang teman. Teman-teman berkumpul dibelakang sedang
asyik memasak, sementara aku dan Tanti memilih untuk menyendiri
sebentar, menikmati malam romantis di balkon lantai atas. Kebersamaan
yang mungkin tak akan kita dapatkan lagi sampai beberapa tahun yang
akan datang.
Ia
memintaku menggambar sketsa wajahnya. Wajahnya yang cantik pun
menjadi buruk rupa disketsaku, aku memang nggak jago gambar, dan itu
adalah hasil terbaik yang bisa kuusahakan. Tanti yang memang jago
gambar membuat sketsanya tampak mirip aslinya, rasanya lebih ganteng
gambarnya daripada aslinya.
Saat
melihat hasil kerjaanku, Tanti tertawa terpingkal-pingkal sambil
mencubiti lenganku. Ia protes kenapa aku menggambar nenek sihir
padahal menurut Tanti, dirinya adalah putri salju. Di bawah gambar
yang kubuat, aku tulis, “Belajar yang rajin, dan akan pulang dengan
gelar S2 untuk dilamar.” Ia tertawa membacanya. Tanti merebut
gambar yang aku pegang, ia lalu menuliskan beberapa kata.
Diberikannya kembali padaku, “Menunggu, dan kerja keras mencari
uang untuk melamar putri salju.” Kita berdua tertawa sembari
memandangi gambar yang dipegang masing-masing.
“Woooi!
Pacaran mulu, waktunya makan sekarang. Nih, udah pada matang.”
Anton meneriaki kami.
“Iyaa!
Kita turun ….” Aku balas teriak lebih kencang.
Malam ini, dibawah langit kota Malang, kita berdua meyakini akhir
indah dari sebuah kisah cinta.
…
Surabaya,
8 Agustus 2008
Aku
tergesa-gesa mengejar waktu. Tanti akan pergi ke Prancis hari ini,
aku harus mengantarnya, walaupun itu berarti harus bertemu dengan
keluarganya.
Sama
dengan Bapak, keluarga Tanti juga nggak menyukaiku. Bedanya, keluarga
Tanti memandangku seolah seperti parasit yang mengejar Tanti karena
harta. Setelah tahu siapa keluargaku mereka lebih memandang remeh.
Sudah sejak lama aku mencoba meyakinkan keluarga Tanti bahwa aku
nggak punya niatan apapun, ini murni cinta. Tapi seperti bagaimana
Tanti ingin membuktikan kepada Bapak, usahaku pun sia-sia.
Saat
melihatku, ia berteriak memanggil namaku. Tanti lari ke arahku dan
memelukku erat. Air matanya meleleh. Aku ingin memeluknya erat dan
nggak akan kubiarkan ia pergi, sepertinya Tanti juga menginginkan hal
yang sama, ia memelukku lebih erat.
Sambil
terisak ia berbisik padaku, “Jarak
sejauh apapun, nggak bakal ngebuat kita jauh … karena jarak
bukanlah ukuran untuk mendapatkan yang terbaik.” Ia mengendurkan
pelukannya, didekapnya kedua tanganku, ia memandangku penuh
kesungguhan, “Yang buat jarak itu jauh sebenarnya kita sendiri,
yang buat hubungan jarak jauh itu berat sebenarnya karena hati kita
terlalu kecil untuk menopangnya.”
Aku
segera menambahkan, “Hati kita nggak diragukan lagi besarnya.”
Ia
peluk lagi, lebih erat dari sebelumnya. Tanti berbisik ditelingaku,
“Aku cinta kamu ….”
“Aku
juga cinta kamu.”
Kita
berdua tak mempedulikan keluarganya
yang sedari tadi melihat. Apalah mau dikata, bila cinta, dunia memang
terasa hanya milik berdua.
Akhirnya
Tanti pergi mengejar cita-citanya. Aku hanya bisa melihat pesawat
yang ia tumpangi semakin menjauh. Fase cerita cinta baru pun dimulai.
LDR, hubungan jarak jauh, apapun namanya aku yakin kita berdua pasti
sanggup melewatinya.
…
Paris,
2 Juni 2009.
Huaaah,
aku ngelewatin kesempatan jadi yang pertama buat ngucapin ke kamu,
maaf banget ya, Sayang. Ini juga aku baru bangun. Tadi aku telepon
juga nggak kamu angkat, udah tidur ya? Dasar tukang tidur, hehe ….
Sebagai gantinya, aku tulis ini buat kamu. Malam ini aku ingat
masalah-masalah kita, dan aku jadi pengen nyoba nulis sesuatu.
Api
dan air, contoh paling sederhana untuk menganalogikan dua hal yang
berbeda dan berlawanan. Air itu sumber kehidupan, sementara api itu
sumber kehancuran, setan juga terbuat dari api. Untuk
memadamkan api, digunakan air. Api sering kali meniadakan air,
merubahnya menjadi uap. Mereka nggak akan pernah bisa jadi satu. Lalu
bagaimana bila mereka ternyata saling mencintai? Aku kemarin berpikir
begitu. Lalu aku coba nulis cerita untuk kamu.
…
Seandainya
api dan air itu makhluk yang hidup, apa yang akan terjadi?. Anggap
saja api itu berjenis kelamin laki-laki, air itu perempuan.
Air
dan api tidak mungkin bisa bersatu, tapi ada dari kedua kaum itu yang
saling jatuh cinta. Firo berasal dari negeri api, dan Aqua berasal
dari negeri air. Cinta mereka, cinta yang suci. Sialnya, cinta itu
tidak direstui orang tua dan teman masing-masing. Orangtua dan teman
Firo tidak suka dengan Aqua, karena selama ini air sudah membuat kaum
api lainnya mati. Orang tua dan teman air tidak suka karena dimata
negara air, api derajatnya lebih rendah, api adalah sumber
kehancuran, sementara air memiliki derajat yang lebih tinggi dari
api, sebagai sumber kehidupan.
Semakin
mereka menjalani hubungan itu semakin banyak yang menentangnya. Firo
tetap yakin bahwa Aqua adalah belahan jiwa yang ia cari selama ini,
begitu juga Aqua, ia meyakini hal yang sama. Mereka berdua tetap
yakin, segala sesuatu yang terjadi selalu ada dalam kuasa dan
sepengetahuan Tuhan, bahkan sebelum ini terjadi Tuhan pasti sudah
tahu. Dan karena tercipta cinta diantara mereka berdua, berarti Tuhan
telah mengijinkan mereka saling mencintai. Terpikir diantara
keduanya, lalu mengapa mereka tidak meminta ijin saja kepada Tuhan
untuk dipersatukan?
Suatu
hari, Aqua dan Firo sedang berjalan-jalan. Dari awal mereka jatuh
cinta sampai saat ini, mereka belum pernah bersentuhan. Saat itu Firo
ingin sekali memegang tangan indah Aqua, rasa ingin itu sudah tidak
bisa lagi ditahan. Ia lalu memegang tangan Aqua tanpa meminta ijin,
seketika Aqua menjerit karena kesakitan, beberapa jemari Aqua
menguap. Melihat Aqua menangis, Firo
panik, ia berusaha
menenangkan
Aqua.
Lalu, ia meminta Aqua untuk memegang tangannya juga, ia masih tidak
percaya dengan apa yang terjadi. Saat dipegang, Firo menjerit sangat
keras, beberapa jemarinya pun hilang. Akhirnya mereka berdua sadar
kalau keduanya memang mungkin untuk hidup bersama tapi tidak akan
pernah bisa bersatu, karena bila saling menyentuh mereka saling
meyakiti.
Firo
dan Aqua tetap saling mencintai tanpa peduli dengan kenyataan yang
menyedihkan. Mereka memutuskan untuk menikah walaupun tidak satupun
orang yang menyukai pernikahan tersebut. Bahkan semua
penduduk
dari kedua negara menentang pernikahan mereka. Firo dan Aqua hidup
seatap, namun sampai mati mereka tidak pernah saling bersentuhan
kembali. Mereka tidak pernah bersatu secara harfiah, tapi cinta
mereka, menyatu dan suci.
Cinta
butuh keberanian. Firo dan Aqua telah berani untuk tetap menjalani
hubungan ini dengan segala
akibat untuk ditanggung.
…
Sayang,
kita berbeda. Aku dari keluarga berada, kamu keluarga yang sederhana.
Segala perbedaan yang ada membawa jarak yang memisahkan kita. Jarak
jugalah yang benar-benar memisahkan kita berdua saat ini. Aku disini,
kamu disana.
Sampai
sekarang aku nggak pernah memandang harta adalah status yang patut
dibanggakan. Aku masih ingat katamu dulu,
“Orang
kaya dan orang miskin itu sama aja sih sebenarnya, orang kaya
sebenarnya orang miskin dengan uang, lalu orang miskin yang biasa
disebut orang-orang itu ya orang miskin tanpa uang. Karena
sesungguhnya harta kita itu hanya titipan Tuhan.”
Aku setuju dengan kata-katamu. Tapi sayangnya orang tuaku memandangmu
dari harta, mereka benar-benar matrealistis. Aku kira yang seperti
itu cuma ada di sinetron-sinetron, ternyata dalam kehidupan ini
benar-benar terjadi, dalam keluargaku sendiri malah.
Orang
tua yang tidak merestui, ditambah lagi jarak tempat tinggal kita
sekarang, kadang membuat aku ragu, bukan ragu ke kamu, tapi ragu ke
diriku sendiri, apa aku sanggup jalanin hubungan ini?
Jujur,
sering aku pengen banget menyerah, tapi setiap ingat waktu dulu kita
berpisah, yang aku spontan ngomong ke kamu, “…
jarak sejauh apapun nggak bakal ngebuat kita jauh, karena jarak
bukanlah ukuran untuk mendapatkan yang terbaik. Yang buat jarak itu
jauh sebenarnya kita sendiri, yang buat hubungan jarak jauh itu berat
sebenarnya karena hati kita terlalu kecil untuk menopangnya ….”
Saat
itu aku takut banget, aku takut nggak sanggup, aku takut sakit, aku
takut ninggalin kamu, aku takut kalau aku berpaling dari kamu, aku
juga takut hal sebaliknya. Sekarang, setelah hampir setahun kita
berpisah, aku mengerti bahwa kita sanggup menjalani hubungan walaupun
diatas berjuta-juta keraguan yang hadir tiap kali komunikasi kita
nggak lancar.
Saat
ini kita sudah nggak bisa dengan mudah lagi ketemu, entah kapan kita
akan bertemu, aku kuliah disini, kamu disana.
Orang
tua yang nggak suka dan jarak yang memisahkan. Kombinasi yang rumit,
ngebuat aku benar-benar sedih dengan keadaan ini, tapi sungguh
beruntung aku punya kamu, selalu bisa buat aku tenang, buat aku
bahagia. Kamu jugalah alasanku kenapa aku tetap kuat jalani ini
semua. Tapi, satu hal yang ingin aku tanyakan, dengan semua perbedaan
ini, apakah kita bisa bersatu? Ataukah kita selamanya akan seperti
Firo dan Aqua dalam ceritaku?
Sayang,
yang aku tahu, cinta antara aku dan kamu itu atas sepengetahuan
Tuhan, dan dengan ijin Tuhan.
Sayang,
Aku
tak mengerti kapan esok hari tiba
Aku
tak memahami bagaimana langit mengubah raut wajahnya
Aku
tak sanggup mengartikan keikhlasan angin berhembus
Tapi
aku mengerti dan memahami kapan bahagiaku tiba:
Ketika
kau peduli padaku, cinta
Ketika
kau ada untukku, cinta
Dan
ketika kita saling bertukar kata
Aku
cinta padamu kasih
Selamat
ulang tahun sayang, semoga kamu tambah dewasa, semakin bijak dalam
bertindak. Jadi lebih baik dalam segala hal, ya ….
Makasih
udah mau nemenin aku selama ini.
Aku
cinta kamu.
…
Surabaya,
2 Juni 2009.
Setiap
kata yang ia tulis dalam email itu menggetarkan hatiku. Beruntung aku
memilikinya, perempuan yang tak pernah menyerah menghadapai segala
rintangan, mampu menguatkan saat lemah, meyakinkan ketika ragu, dan
membahagiakan kala sedih. Entah bagaimana hidupku bila tanpanya, dan
bila dulu aku tak mengenalnya mungkin hidupku tak akan seindah ini.
Aku
balas emailnya, penuh cinta serta rindu yang menggebu mengharapkan
temu.
…
Surabaya,
18 November 2009.
“Le
…, kamu masih nunggu Tanti pulang?”
Aku
hanya menjawab dengan anggukan. Aku bosan dengan pertanyaan semacam
ini. Kenapa orangtuaku tak mau sekalipun mengerti kesungguhan
hubunganku dengan Tanti. Setiap pertanyaan mereka bagiku adalah
sebuah keraguan, ujung-ujungnya menyangkal kalau aku dengan Tanti itu
cocok.
“Kamu
yakin dia masih suka kamu?” pertanyaan ibu kali ini membuatku mulai
hilang kesabaran.
“Bu
…! Apa ibu ndak
tahu setiap akhir minggu atau kalau kita berdua ada waktu luang
telepon-teleponan. Nadaku agak meninggi.
“Ibu
tahu, Le …. Tapi masalahnya bukan itu, Tanti itu kuliah S2 disana
….”
“Lalu
aku cuma anak D3? Apa sih Bu masalahnya lulusan D3 nikah dengan
lulusan S2?” aku memotong pembicaraan ibu.
Ibu
beranjak dari kursinya, ia mendekat duduk disebelahku sekarang.
“Dengar
ibu selesai ngomong dulu to
….” Ibu menepuk-nepuk
pundak kananku. “Ibu juga pernah ditinggal Bapakmu merantau selama
4 tahun lebih, ndak
ada kabar sama sekali. Sekali ibu dapat kabar, Bapak ndak
ngasih alamatnya tinggal, Ibu ndak
bisa balas kabarnya. Sebelum ada surat itu, Ibu kira bapakmu sudah
kawin lagi dan yang paling Ibu takutkan Bapakmu meninggal. Sejak
bapakmu ndak ngasih kabar, ada saja lelaki yang berusaha mendekati
ibu. Alhamdulillah, Le …, Ibu masih ingat sama pernikahan. Cobaan
perempuan jauh dari laki-laki yang ia cintai itu sangat berat lho,
Le. Yang sudah nikah saja sering gagal. Apalagi yang belum nikah …,
Ibu takut kamu sakit hati nantinya.”
Aku
mengerti maksud ibu. Tapi ibu tak perlu khawatir karena aku dan Tanti
lebih kuat dari setan manapun yang berusaha memutus hubungan ini.
Kuletakkan
kepala di
bahu ibu, “Bu …,
tenang saja, aku sama Tanti itu udah sama-sama dewasa, sama-sama
ngerti, Ibu ndak
usah khawatir lagi ya.” Aku mencoba meyakinkan ibu.
Ibu
tersenyum, “Iya, Le …. Ibu ngomong gitu juga ndak
maksud yang buruk, cuma mau ngasih tahu kamu.”
“Iya,
Bu …, Awan ngerti.”
…
Surabaya,
5 April 2010.
Rindu
itu seperti balon, waktu adalah udara yang ditiupkan kedalamnya, dan
jarak adalah tali yang mengikat balon itu. Semakin lama waktu
memisahkan semakin besar balonnya, semakin jauh jarak memisahkan dua
manusia maka tali yang mengikat pun semakin kencang. Aku rasa balon
yang aku miliki sekarang sudah sebesar Airbus.
Akhir-akhir
ini susah sekali menghubungi Tanti bahkan diakhir pekan sekalipun.
Sekalinya bisa dihubungi ia hanya bisa ngobrol sebentar. Rasa rindu
ini pun merengek-rengek ingin bertemu.
Akhirnya
teleponku diangkat.
“Halo
sayang, gimana kabarnya minggu ini? Susah banget hubungin kamu.”
“Hallo,
who is this?” bukan
Tanti yang menjawab telponnya, tapi suara laki-laki yang sama sekali
nggak aku kenali.
Ada
suara yang berbeda bicara ditelpon, “Hallo ….”
“Kecil,
ini aku. Itu tadi siapa?” pertanyaanku menudingkan curiga.
“Ohh
…, kamu sayang. Emh
… yang tadi …, oh … itu temen, kok. Temen lagi main ke
apartemen.” Nada bicaranya gelagapa,
membuatku penasaran.
Ah, masa bodohlah siapapun tadi, aku hanya ingin bicara dengan Tanti,
sudah seminggu lebih rindu ini ingin diletuskan.
Nggak
terasa sudah satu jam lebih aku ngobrol dengan Tanti, tumben bisa
selama ini. Masa bodohlah dompet jebol, yang penting aku bisa
mendengar calon perempuan yang aku lamar nanti.
“Sayang,
maaf ya, aku akhir-akhir ini sibuk banget.”
“Iya,
nggak pa-pa, kok ….” Dalam hati kecewa juga sebenarnya.
“Mulai
sekarang aku juga kayaknya bakal lebih sibuk, deh.
Banyak penelitian yang harus aku lakuin,
belum juga buat jurnal dan banyak tugas-tugas lainnya.”
“Iya
… iya, aku ngerti, kok. Duh, yang udah mau selesai kuliahnya. Udah
siap dilamar belum?”
“Hehe
… makasih ya kamu mau ngerti aku. Sayang, udah dulu ya? Ini masih
banyak yang perlu aku kerjain.”
“Iya,
Kecil,
sama-sama. Semangat ngerjainnya,
semoga sukses. I love you….”
“I
love you too….”
Aku
semakin yakin bahwa Tanti adalah pilihan yang tepat.
…
Surabaya,
29 Agustus 2010. 19.17 WIB
Loh
ini mobil siapa, ya? Kok aku belum pernah lihat. Masa bapak beli
mobil baru? Ah, nggak mungkin, duit dari mana coba. Itu dari dalam
rumah kok kayaknya ada rame-rame, ada rame-rame apa, ya?
“Assalamu
‘alaikum ….”
Serentak
suara dari ruang tamu menjawab, “Wa alaikum salam ….”
“Nah,
ini dia calonnya udah datang. Wan, sini, sini, duduk sini.” Bapak
memanggilku.
Bapak
ngomong apa sih? Calon? Calon apa maksudnya. Saat aku memandang
seluruh isi ruang tamu, pandanganku berhenti pada seorang perempuan
di dekat bapak. Masih muda, manis dan sesuai kriteria Bapak.
Jangan-jangan Bapak ….
Aku
duduk di sebelah Bapak.
Pikiranku masih dipenuhi tanda tanya, aku berharap secepatnya ada
yang memberi penjelasan padaku.
Bapak
angkat bicara, “Jadi gini, Le …, temen Ibumu ini, Bu Rina punya
anak perempuan yang cantik ini.” Bapak menunjuk kearah perempuan
yang menyita perhatianku dari tadi. “Namanya Fatma, kenalan dulu
dong.” Kesimpulanku mulai mengerucut.
Aku
mengulurkan tangan yang segera Fatma sambut. Aku mengucapkan namaku,
ia mengucapkan namanya, suaranya lembut, merdu rasanya di
telinga. Ah, aku nggak
boleh kebawa gini, kan udah ada Tanti.
Bapak
melanjutkan pembicaraannya, “Dan Bu Rina ini ingin anaknya segera
menikah.” Ya, aku sudah bisa menebak sekarang, ini perjodohan kan
maksudnya? “Keluarga Bu Rina kesini ingin menjodohkan Fatma dengan
kamu. Kamu bersedia, Le …?” Benar, ini perjodohan!
Aku
tersenyum kikuk, bingung bagaimana harus memutuskannya, iya atau
nggak. Kalau aku memilih iya, sama saja aku meninggalkan Tanti begitu
saja yang sudah enam tahun menjalin cinta denganku, nggak mungkin aku
melakukannya, aku sangat mencintainya. Kalau nggak mau pasti akan
membuat malu bapak dan ibu, ditambah mereka berdua sudah ngebet ingin
aku segera menikah, mereka pasti marah karena aku melewatkan begitu
saja kesempatan menikah.
“Maaf,
bapak ibu semuanya, bukan saya menolak keinginan bapak ibu, tapi saya
belum mengenal Fatma dengan baik dan menikah juga bukan keputusan
yang mudah. Jadi saya meminta waktu untuk memutuskan jawabannya.”
“Mau
waktu sampai kapan? Sampai si Tanti itu lulus?” Bapak terlihat
nggak suka dengan ucapanku.
Aku
melanjutkan kembali ucapanku tanpa memperdulikan ucapan bapak. “Jadi
begini, saya belum kenal Fatma, begitu juga dengan Fatma, dia belum
kenal saya. Mungkin saja ada ketidak-cocokkan diantara kita …,”
Melihat banyak orang diruangan ini menatapku dengan pandangan nggak
suka, aku cepat-cepat melanjutkan kalimatku, “Tapi, ndak
menutup kemungkinan juga kita berdua ini cocok. Biar kita lakukan
pendekatan dulu, itu maksud saya.” Wajah-wajah orang di ruangan ini
kembali tenang.
“Ya
sudah, ndak
pa-pa kok, Mas Awan. Silahkan melakukan pendekatan biar tambah cocok,
soalnya ibu ngeliatnya kalian berdua memang cocok, kok.
Ya?” Ibu Fatma menanyakan ke semua orang diruangan ini, dan yang
lain pun menyahuti setuju.
…
Paris,
25 September 2010.
-tulisan
blog-
Tulislah
kisah yang kamu inginkan sebagai akhir dari kisah cintamu. Tapi
tunggu, apakah kamu sudah menyelipkan doa disetiap tinta yang kamu
goreskan? Aku khawatir kamu lupa mengucapkan doa. Saranku, lebih baik
kamu hapus lagi tulisan tentang kisah ini, tulis kisah cinta yang
baru, yang tak membeku.
Setiap
detik adalah persimpangan, sebagai kekasih yang diliputi keraguan,
mungkin saja aku memilih jalan yang berbeda denganmu. Setiap detik
adalah persimpangan, sebagai kekasih yang rindu akan kebersamaan,
mungkin saja aku lebih memilih mengikuti orang yang mengerti jalan
daripada membuka peta yang kau berikan.
Cinta
akan selalu tahu jalan pulang sejauh apapun jarak harus ditempuh.
Tapi bagaimana bila ia menemukan rumah baru, rumah yang lebih nyaman
untuk ditinggali? Cinta akan selalu mengenali rumah sebanyak apapun
waktu memisahkan. Tapi bagaimana bila rumah itu sudah berubah, lain
lagi ceritanya.
Apakah
tetap bisa dikatakan cinta bila manusia tak lagi setia? Apa salah
bila tak setia karena semua yang pernah dibicarakan telah luntur
semua maknanya? Sekuat apapun sebuah hubungan cinta, bila ia berbeda,
tak lagi sama, sekuat apapun semesta, ia tak akan sanggup walau
sedetik saja untuk menunda berpisah.
…
Surabaya,
26
September 2010.
Aku
nggak pernah sungguh-sungguh melakukan pendekatan dengan Fatma. Aku
nggak pernah berniat untuk mengerti
ia. Semua yang aku
lakukan kepadanya hanyalah formalitas belaka di
depan kedua orang tua.
Fatma telah mendengar banyak sekali ceritaku tentang Tanti, tapi tak
sekalipun ia menunjukkan sikap tak
suka, ia tetap tenang mendengarkanku setiap kali bicara tentang
Tanti, terkadang sesekali ia memberiku saran.
“Fat,
sebenarnya alasan kamu melakukan perjodohan ini apa? Di luar sana
pasti banyak lelaki yang jauh lebih baik dan lebih mapan dariku yang
suka kamu …,”
Fatma
memotong ucapanku, “Aku melakukannya untuk orangtuaku, Mas. Untuk
kasih sayang mereka.”
Aku
terdiam mendengar ketulusan hati Fatma. Suasana hening sesaat.
“Tapi,
apa kamu menyukaiku?” pertanyaan ini terucap begitu saja
dari mulutku.
“Mas,
apa kalau cinta itu harus diucapkan? Mulut itu ringan sekali bicara,
ndak
sekalipun ia ingat bahwa waktu bisa dengan mudah menghapus kata yang
pernah diucap. Lagipula, apa perhatian dan semua ini ndak
cukup untuk membuat Mas mengerti?” Raut wajahnya menunjukkan
kesedihan, Fatma lalu masuk ke dalam rumah.
Aku
menyesal telah membuka pembicaraan tadi. Aku terdiam, mencoba
mencerna setiap kata yang ia ucapkan terakhir kali tadi.
…
Hatiku
panas ketika membaca tulisan di blog Tanti semalam. Kalau ada masalah
dengan hubungan ini kenapa nggak dibicarakan saja. Kalau memang ada
yang nggak ia sukai seharusnya nggak seperti ini. Ini nggak seperti
biasanya Tanti.
HP-ku
berdering. Tanti!
“Halo,
maaf aku nelpon kamu jam segini. Besok aku pulang ke Indonesia, tapi
nggak bisa mampir ke Surabaya, maaf. Aku dua minggu di rumah. Apa
kamu bisa ke Tangerang?” bicaranya tanpa jeda, seolah nggak ada
waktu untuk bicara. Tanpa basa-basi juga, ini seperti bukan kebiasaan
Tanti.
Eh,
apa yang ia bilang tadi? Pulang? Aah … akhirnya aku akan bertemu
juga dengan cinta yang lama nggak bertemu, akhirnya balon ini akan
pecah juga. Tapi rasa senang ini nggak mampu menutupi kecurigaanku
kepada blog miliknya.
“Kamu
pulang? Haha,… akhirnya rindu ini nggak akan lagi merengek ke kamu,
Kecil.
Iya, iya, aku bisa kok ke Tangerang, jangankan ke Tangerang, nyusul
ke Prancis sekarang juga aku berangkat,
hehe ….”
“Hehe
… makasih, ya.” nada bicaranya terdengar canggung.
“Eh,
sayang, tulisan di blog itu apa maksudnya?” pertanyaan ini dari
awal telepon ingin sekali aku tanyakan.
“Oh,
itu …, entar aja ya kita obrolin kalau udah ketemu. Maaf ini aku
lagi sibuk, udah dulu, ya ….”
“Tuut…tuut…tuut….”
Belum sempat aku mengucapkan sesuatu, telepon sudah mati duluan,
sepertinya ia benar-benar sibuk.
…
Tangerang,
1 Oktober 2010.
Harusnya
sebuah pelukan hangat menyambut kekasih yang sudah lama tak bertemu.
Namun ketika akan ku peluk, Tanti seolah enggan, ia menghindar. Ada
apa ini? Apa ia bercanda?
Kita
berdua duduk berhadapan di sebuah kafe dekat rumahnya.
“Aku
mesti ngomong sesuatu ke kamu, tapi kamu janji nggak akan marah .”
Aku
jadi bingung dengan ucapannya yang tiba-tiba seperti ini. “Loh, kok
aku marah, kenapa memangnya?”
“Janji
dulu nggak akan marah!”
“Bawel
ah, iya, iya … aku janji.” Dua jemariku mengacung keatas.
Hening
sesaat
“Ini
juga tentang tulisanku di blog. Kamu ngerasa nggak kita berdua udah
nggak kayak dulu?”
“Loh,
maksud kamu apa,
Kecil? Aku nggak
ngerti.” Aku benar-benar tak
mengerti apa yang
sedang ia bicarakan.
“Ya...,
aku ... kamu,” kata
Tanti dengan nada suara pelan, sambil
mengarahkan telunjuknya ke arahku,
“udah bener-bener berbeda daripada pertama kali pacaran.”
“Loh,
kok bisa?
Maksud kamu gimana?”
Tanti
menjelaskan semuanya
yang ia rasakan selama ini
kepadaku, bagaimana rasanya kesepian, nggak ada kekasih yang
memanjakannya, susah banget setia saat banyak lelaki yang mengatakan
serta menunjukkan cinta kepadanya. Hingga akhirnya ia menemukan
seseorang yang cocok, yang lebih baik daripada aku. Ia orang yang
mengangkat telpon waktu itu.
“Masalahnya
bukan karena harta atau status kamu …,” Ia menyangkal
pernyataanku yang meremehkannya seperti halnya Bapak. “Masalahnya
itu kamu nggak ada di sana, kamu nggak ada saat aku butuhin, aku
nggak nyalahin kamu, tapi aku nggak bisa hidup kayak gini terus, aku
nggak bisa setia sama long
distance relationship.”
Setiap
kata yang ia ucapkan adalah satu pedang yang menusuk hati. Entah
sudah berapa ratus kata yang ia ucapkan padaku, perihnya tak
menyisakan sedetikpun untuk sejenak merasa nyaman.
“Lalu
kenapa baru bilang sekarang?!” aku mulai tak bisa mengendalikan
emosi.
Air
matanya mulai meleleh. Ah, ternyata wanita juga ada yang buaya!
“Itu
karena kamu terlalu percaya sama aku, kamu terlalu percaya sama
hubungan ini, kamu terlalu percaya kepada akhir bahagia cerita kita,
aku nggak tega buat ngehancurin rasa percaya kamu.”
“Kalau
memang nggak mau hancurin rasa percayaku, harusnya kamu itu nggak
nyari
cowok lain!!”
kata-kataku mulai menjadi bentak.
Ia
kini menangis. “Maafkan aku, Wan. Aku nggak bermaksud seperti ini
….” ia mencoba meraih tanganku namun aku meghindar.
Aaarggh
…! Kenapa harus berakhir seperti ini? Bukankah dulu aku dan ia
berjanji untuk mencintai sampai mati? Bodoh! Itu kan hanya bualan
anak-anak. Aaarrghh …! Manusia memang adalah raja dan ratu bagi
janjinya masing-masing. Benar kata Fatma, mulut itu ringan sekali
bicara, nggak sekalipun ia ingat bahwa waktu bisa dengan mudah
menghapus kata yang pernah diucap.
Kita
berdua saling terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Berat
hati aku mengucapkan kata-kata terakhir sebelum meninggalkan
Tanti untuk selamanya.
Aku berusaha
mengatakannya dengan suara tenang, berharap ia
sadar bahwa aku
memang benar-benar
mencintainya, lebih dari yang ia tahu. Sesakit apapun aku saat ini,
bagaimanapun juga ia adalah orang yang aku cintai.
“Tan,”
Ia mendongakkan wajahnya yang sedari tadi tertunduk, matanya sembab.
“makasih udah ngajarin aku tentang sebuah kesalahan dari penantian
panjang yang penuh dengan keyakinan.” Aku genggam tangannya, “Tan,
makasih udah mencintaiku, makasih juga udah buat aku bahagia.
Seandainya aku nggak pernah kenal
kamu, seandainya aku
dan kamu nggak menjalin hubungan, hidupku pasti nggak sebahagia
seperti sekarang. Terimakasih, Tan.” Kupaksakan wajahku tersenyum
untuknya.
“Wan,
maaf aku nggak pernah bisa memberikan yang terbaik buat kamu …, aku
selalu ngecewain kamu.”
Aku
beranjak dari tempat dudukku dan menghampirinya. “Kamu sudah
memberikan lebih dari cukup, Tan ….” Aku kecup keningnya untuk
yang terakhir kalinya. “Selamat tinggal Tan ….”
…
Surabaya,
10 November 2010.
Aku
marah kepada diriku sendiri karena selama ini telah menyia-nyiakan
banyak sekali waktu hanya untuk perempuan yang lebih memilih
menjalani kisahnya dengan orang asing daripada dengan lelaki yang
telah sangat ia kenal dan berjuang mati-matian memperjuangkan
cintanya.
Ah,
sudahlah, masa lalu biarlah menjadi masa lalu. Bagaimanapun juga ia
tak akan pernah bisa dirubah, lagipula masa lalu telah mengajarkan
banyak hal penting untuk menjalani kisah hidup selanjutnya.
Sekarang
aku sudah berhasil mempraktekkan cara move
on terampuh, yaitu
mencari seseorang yang baru. Seseorang yang sanggup mengobati luka,
menyegarkan hati yang kering
kerontang, mampu
membahagiakan hati yang sedih. Semua hal itu aku temukan dalam diri
Fatma.
Kali
ini aku nggak akan mencintainya dalam angan-angan kebahagiaan masa
depan. Aku akan mencintainya hari ini, tanpa menjanjikan apa-apa
kecuali yang diinginkan Tuhan. Percaya kepada cinta itu lebih penting
daripada percaya kepada kebahagiaan yang belum tentu datang, karena
tak selamanya cinta itu bahagia. Aku akan menjaga cinta ini
bagaimanapun kisahnya nanti, aku tak akan membiarkan cinta ini
terpisah oleh jarak, aku juga tak akan membiarkan cinta ini berjarak.
Kali
ini keyakinan hati
ini nggak hanya datang
dari aku saja, tapi juga dari Fatma.
“Pak,
Bu …, sudah siap jadi mertua belum?” pertanyaanku disambut gelak
tawa mereka berdua.