Selasa, 08 Desember 2015

Baper



Repot ... repot... repot.... Entah apa salahnya berbuat baik kepada lawan jenis. Berbuat baik, hanya berbuat baik untuk menjaga silaturrahim menjadi tetap baik. Di masa ini di mana setiap orang bisa dengan mudah mengetahui kehidupan lainnya, berbuat baik seringkali disalah artikan, lebih-lebih bila kepada lawan jenis. Yang geer seringkali bukan yang berbuat baik, tapi yang diperhatikan. Seolah-olah seseorang berbuat baik itu hanya ingin mendapatkan hatinya. Ah...punya hati kok lemah, kebanyakan nonton ftv pasti, film tidak valid.

Saya bingung, sampai batas manakah berbuat baik itu berarti menunjukkan rasa suka. Karena saya rasa ada perbedaan yang besar bila seseorang berbuat baik karena ingin mendapatkan hati dengan orang yang murni, tulus berbuat baik untuk menjaga hubungan persaudaraan. Mungkin terlalu banyak curiga yang tersedia di hati, atau memang kamu adalah orang yang banyak disukai lawan jenis, sehingga dengan mudah kamu pukul rata semua yang berbuat baik itu berusaha mendapatkan hatimu. Berarti dari awal yang geer dan baper sudah jelas siapa. Lagipula bila selama ini banyak yang mendekatimu harusnya kamu tahu bedanya antara yang abang abang lambe dengan yang sekedar berbuat baik.

Bila masih seperti ini hingga kelak, entah sampai kapan. Saya tidak akan menaruh harapan terlalu tinggi pada kebaikan di masa depan, karena bila ada dua orang yang belum berkekasih dan saling berbuat baik, semua orang akan bersyak wasangka mereka berdua sedang merajut tali asmara. 

Berbuat baik, berbuat baiklah, memberi perhatian ke lawan jenis di masa lalu dianggap menjaga tali persaudaraan dan kini bergeser maknanya menjadi lebih gampangan. Mungkin karena di masa ini banyak anak muda yang main-main dengan cinta, sehingga makna tentangnya pun gugur satu per satu. Ah, kamu punya hati jangan terlalu lemah, baru ditanya kabar sudah  dikira suka, baru dibantuin pindahan kos udah dibilang suka, baru diajak ngobrol udah dibilang suka, terus kita mau hidup bagaimana? Sudah, berhenti nonton ftv dan kurangi nyemil mecinnya. Berbuat baik, berbuat baiklah, peduli amat perasaan orang, dan kalau dibaikin ya sudah terima saja, kalau lucu ya ketawa jangan malah suka, kalau laper ya jangan baper kalau diajakin makan. Urusan perasaan biar jadi urusan masing-masing, kan udah pada gede

Rabu, 02 September 2015

Jomblo Yo Ben



"Semoga cepat dapat jodoh, ya!" jamak terdengar dari mulut-mulut mereka. Entah doa, basa-basi atau bualan belaka. Kalimat serupa juga berlompatan, riuh mengisi obrolan banyak anak muda. Sebegitu mengerikannya kah ketika jodoh belum juga tiba?

Di media sosial, rupa-rupa postingan membicarakan hal sama, Ciri-Ciri Wanita Yang Layak Dinikahi, Memantaskan Diri, dan tulisan-tulisannya yang membahas jodoh. Bosan? Tentu saja! Muak? Iya! Seolah-olah masalah paling penting dalam hidup di usia-usia ini adalah perihal siapa siapa jodohnya dan kapan ia tiba.

Obrolan semacamnya bila hanya dijadikan kelakar aya akan sah-sah saja menerima, namun bila selalu menjadi bahan obrolan, seolah hidup hanya tentang cinta dua anak manusia. Sek-sek, apakah mereka membicarakan hal serupa karena begitu kesepiannya kala jodoh tidak juga tiba? Ha...ha...ha.... menggelikan! Berlaku baik biar jodoh tiba, berkarya biar jodoh tiba, nyari duit biar jodoh tiba, ealah hidup kok sependek itu tujuannya. Tapi, ya mau bagaimana lagi kalau memang bahagiamu hanya bergantung pada kisah-kisah asmara semata.

Apakah bahagia kita diukur berdasar dengan siapa kita saat ini? Bila jawabmu iya, matahari, bulan dan bintang telah selesai tugasnya.

Kita ini sudah terlalu banyak protes kepada Tuhan, mbok yao jangan nambah-nambahin pikiran Tuhan dengan rengekanmu disegerakan jodoh. Dikasih hujan, nggrundel, dikasih panas ngomel, jodoh belum datang ngeluh, jodoh udah datang galau. Ealah.... Jangan jadi generasi yang pandai menuntut, sampai lupa menghitung apa yang sudah dimiliki. Jangan jadi generasi egois, merengek sedemikian heboh tapi nasib kawan sendiri tiada pernah sekalipun melintas di pikiran.

Terimo ing pandum.

Dapet atau belum jodoh itu ya terserah Gusti Allah, siapa tahu itu juga bentuk ujian, siapa tahu pula itu bentuk kasih sayang. Kenapa sih perlu curiga kepada Yang Maha Pemberi? Ia paling tahu kapan waktu yang tepat untukmu, sementara kamulah yang paling sok tahu kalau besok, lusa atau minggu depan adalah wkatu yang tepat.

Dapet jodoh atau belum itu ya sak kersane Gusti Allah. Lah emang ini balap karung? Cepat-cepatan menikah? Toh menikah juga bukan perlombaan. Pernikahan adalah salah satu titik perjalanan hidup, sama juga dengan mendapatkan rejeki, lahir, mati, bertambah umur dan lainnya. Semua ada waktunya dan ada takarannya.

Dapet jodoh atau belum itu ya sak kersane Gusti Allah, toh hidup harus berlanjut, toh nikmat tak kan kelar terhitung jumlahnya untuk disyukuri. Tetap berbahagia, tak usah risau, bila belum juga tiba, berarti Gusti Allah ingin kamu fokus mengerjakan hal lainnya terlebih dahulu, atau membantu lainnya yang juga sedih hatinya karena tidak tercukupi kebutuhan dasarnya.

Wes, sak kersane Gusti Allah, awakdewe mung terimo ing pandum wae.

Jomblo yo ben asal bahagia...

Kalau kata Agus Mulyadi, Jomblo yo ben, tapi hafal Pancasila!




Rabu, 26 Agustus 2015

Sesal Yang Bebas






Yang saya sesalkan begitu dalam, selama bertahun-tahun bukanlah tidak bisa lagi hidup dengannya, tetapi saat bersamanya saya lebih banyak menciptakan luka, kecewa bahkan dosa. Kehidupannya yang sejak semula lurus-lurus saja menjadi mulai belok-belok saat bersama saya. Banyak hal negatif dimana sayalah penyebabnya. Yang seharusnya akibatnya saya tanggung sendiri, malah dia harus turut serta sengsara.

Seperti angan-angan manusia lainnya, saya pun berangan-angan kalau saja waktu itu saya tahu begini jadinya, lebih baik perasaan itu tidak perlu saya turuti sehingga hidupnya akan baik-baik saja.

Kini, seandainya saya memang benar-benar dilupakan, saya akan terima dengan tangan terbuka. Bila, ternyata tidak dilupakan, saya bersedia menjadi sukarelawan. Dilupakan hanyalah sebuah hukuman yang sangat ringan dibanding luka yang saya cipta.

Terluka karena seseorang akan menimbulkan rasa sakit yang besar, namun, perlu untuk diketahui, bahwa melukai pun juga mencipta rasa sakit yang tak kalah hebatnya, meskipun tidak dalam dimensi yang sama. Melukai, bila dan hanya jika menyesal, akan mencipta dua rasa sakit, satu sakit karena melihatnya terluka oleh perbuatan diri sendiri, yang kedua adalah sakit karena menyesal pernah melakukannya, dan hingga entah kapan akan tetap menanggung gelar pendosa.

Setelah tragedi yang pahit, saya masih ingat ia pernah berujar semoga ia adalah perempuan terakhir yang merasakan luka yang saya cipta. 

Bukan hal yang istimewa sebenarnya, karena dengan kebesaran hati yang perempuan miliki, banyak perempuan yang terluka berucap hal yang sama kepada mantan kekasihnya. Tetapi, kalimat itu dan kombinasi rasa sesal yang dalam, membuatnya terpatri kuat dalam benak saya. Sehingga di kemudian hari pun setiap dekat dengan perempuan, dan saya merasa tidak bisa membuatnya bahagia atau sebaliknya, lebih baik untuk tidak dilanjutkan lebih jauh. Jahat memang, tapi dalam hidup, banyak hal-hal yang menyebalkan namun baik untuk menjaga manusia agar tidak terpuruk. Saya pun menjaga perempuan-perempuan dari diri saya sendiri, meskipun itu semua hanya kemungkinan.

Satu hal lagi yang saya ingat betul darinya bahwa setelah tragedi yang pahit itu, ia masih mempercayai saya bahwa kelak saya akan menjadi lebih baik, dan akan melakukan hal-hal yang baik.

Ini juga bukan hal yang luar biasa, bahkan bisa jadi ini hanya ucapan yang dibesar-besarkan olehnya saja sebagai penutup komunikasi agar saya tak menghubunginya lagi. Tetapi, saat itu jiwa saya benar-benar sedang berada di titik terendah, di titik paling menyesal, di titik paling kaget bahwa saya bisa berlaku jahat. Banyak dari ucapannya yang menjadi causa saya bisa seperti sekarang ini.

Selama kuliah saya memutuskan untuk berada dalam tempurung kura-kura, jangan sampai terlalu menarik perhatian, karena kehadiran saya saja sudah membuatnya luka, terlebih bila saya terlalu banyak berkarya. Ha...ha...ha..., iya, iya, padahal ya memang tidak sanggup berkarya saja. Mungkin terdengar aneh, dan dibuat-buat, namun apa sih jadinya dunia ini tanpa keanehan dan hiperbola?

Mengenang kembali ucapannya, saya pun mantap untuk mengolah diri menjadi pribadi yang lebih baik, dan sebelum sampai pada keadaan itu, maka saya pun harus bersabar untuk meminang anak perempuan orang. Tapi, kalau begini ceritanya saya ya jadi single fighter terus dong...ha...ha...ha... 




Ia kini sudah bahagia dengan kehidupan barunya: di awal tahun lalu ia menikah. Iya...iya...saya tidak diundang, terjawab kan pertanyaannya. Saya sih, berbaik sangka saja kalau ia menjaga perasaan saya, bisa dibayangkan kalau diundang dan saya datang, berapa banyak undangan yang notabene adalah kawan-kawan lama yang akan menjadikan saya bulan-bulan untuk di bully. Tentu saja lebih baik saya tidak diundang toh, apa ya tega jomblo kronik dijadikan olok-olokan saat hari bahagia pernikahan? Toh juga bisa hemat cost beli undangan.

Kebahagiaannya di hari pernikahan adalah kebahagiaan saya jua. Karena di hari itu juga saya pun lega, ia akhirnya bisa memliki kehidupan bahagia yang baik-baik saja, meski di masa silam saya pernah mencipta luka. Artinya luka yang saya cipta sudah tidak mempengaruhi hidupnya. Ya, hal ini juga didukung oleh karakternya yang kuat, sehingga ia bisa dengan mudah bangkit dari masa itu, kalau kata seseorang yang entah siapa, ia bukanlah perempuan yang membutuhkan laki-laki, tapi perempuan yang dibutuhkan laki-laki.

Rantai sesal yang membelenggu saya akhirnya lepas, ia bahagia, dan saya pun bisa bebas. Apa yang saya lakukan di masa lalu bak sudah termaafkan dan tidak lagi berdampak buruk di kemudian hari. Perlahan, saya mengembangkan sayap, perlahan saya menguatkan nafas, bersiap untuk terbang tinggi dan untuk menyelam lebih dalam. Saya menyiapkan diri untuk berkarya, setelah selama ini tinggal dalam tempurung kura-kura.

Selamat berbahagia...,

NB : 
  1. Saya pernah menuliskannya dalam bait-bait yang tertera di sini
  2. Mungkin bagi yang membaca ada kesan apa sih, alay, lemah, dsb, percayalah, menulis hal serupa membutuhkan keberanian ekstra, karena sungguh, mengingatnya saja sudah harus menelusuri lintasan waktu hanya untuk mengorek kembali luka lama. Perih.
  3. Jangan serius-serius, iya kalau memang cerita sungguhan? Kalau bohong? Siapa yang jamin?





Kamis, 20 Agustus 2015

Paus dan Elang


memang baik terbang tinggi membesarkan nama diri,
namun juga baik menyelam lebih dalam membuat perubahan meski perlahan
-mbak dokter berkacamata-


Beberapa akhir tahun ini, bisa sekolah ke luar negeri seolah adalah sebuah mimpi suci bagi setiap mahasiswa. Mencapainya adalah sebuah kehormatan luar biasa bagi seorang akademisi. Terlebih setelah dialog legendaris, "Ainun, maukah kau ke Jerman bersamaku?". Dialog tersebut selain membuat semakin banyak yang tergiur belajar ke tanah bavaria, juga semakin banyak lelaki jomblo yang sulit mendapat jodoh karena standart penerimaan perempuan adalah dibawa ke Jerman.

Menjadi pengusaha dengan omset menggunung lantas menjadi motivator atau mencapai karir tinggi dengan gaji yang melangit di sebuah perusahaan ternama adalah mimpi suci berikutnya bagi anak muda. Serta tak ketinggalan, berduyun-duyun anak-anak muda membuat prasasti eksistensi diri di atas gunung atau hamparan pasir pantai, mengklaim diri sebagai seorang petualang.

Ada yang salah dengan semua itu?

Tentu saja tidak ada, selama itu adalah keinginan diri dengan visi yang jelas, bukan sekedar ikut-ikutan orang lain. Karena makna yang lahir dari kehendak diri sendiri akan lebih dalam daripada silau akan cerita bahagia orang lain.

Semua hal baik itu adalah tentang perihal terbang tinggi. Kalau semua memutuskan untuk terbang tinggi, apa yang lantas dapat dilihat dari ketinggian sana. Siapa pula yang akan bersedia menemani mereka yang tak mampu terbang.

Ada pula anak manusia yang repot-repot menyelam ke dalam. Mengunjungi satu desa ke desa lainnya, bukan untuk mengumpulkan foto kemudian menjadikannya prasasti eksistensi. Ia menjejak langkah malah untuk mengakui dan merasakan eksistensi dari mereka yang selama ini tak memiliki kesempatan untuk mendapat kemewahan terbang tinggi.

Mereka adalah manusia-manusia di daerah-daerah yang jarang atau bahkan tidak pernah disebut oleh buku pelajaran. Dalam tradisi dan adat yang mereka emban terbang tinggi memiliki konsep yang jauh berbeda dengan apa yang saya sebutkan di awal. Terbang tinggi bagi mereka adalah saat mampu berbuat baik kepada sesama, mematuhi warisan-warisan kehidupan leluhur, serta menjaga agar bumi tetap seperti sediakala.

Anak-anak manusia yang mau repot-repot menyelam itu lantas perlahan menyulam selarik demi selarik bulu agar orang-orang yang mereka kunjungi mampu hidup selayaknya kemewahan yang didapat manusia-manusia yang terbang tinggi itu. Tidak muluk-muluk untuk sekolah keluar negeri, menjadi pengusaha, memiliki karir cemerlang, ataukah mengoleksi foto di berbagai muka bumi. Anak-anak manusia itu hanya berharap orang-orang di daerah ini tercukupi kebutuhan dasarnya.

...

Menjadi elang, terbang tinggi nun jauh melewati awan. Laksana awan-awan pun menyimpan cemburu dan iri tak mampu melayang lebih tinggi dari sang elang. Dari atas sana, awan mampu memandang lebih luas, melihat lebih jauh. Di bawah, di atas tanah, semua makhluk yang tak mampu terbang maupun yang sanggup terbang terpana mengagumi kemampuan istimewa yang dimiliki elang, pencapaian yang tidak semua makhluk mampu lakukan. Elang lantas menjadi simbol kehebatan, keberanian, kemegahan, dan segala kemampuan yang di luar kata biasa. Makhluk lainnya, seperti halnya awan, iri, cemburu, memimpikan suatu saat dapat terbang sedemikian tinggi, sebuah pencapaian yang tampak begitu membahagiakan. Mereka bergegas menyulam sayap dengan segala hal yang dimiliki, berharap sayap yang dimiliki kelak dapat menandingi atau bahkan mengalahkan rekor terbang elang. Mendapati puja puji sedemikian banyak, elang pun menikmatinya, tak mau melewatkan satu detik pun momen ketika ia menjadi makhluk yang paling istimewa di mata makhluk lainnya...kala itu.

Nun jauh dari tahta sang raja langit, hiduplah seekor paus. Dari lautan ia tertarik oleh tempik sorak yang riuh di daratan. Ia tergoda untuk mencari tahu apa kiranya yang membuat suasana begitu riuhnya. Dilihatnya sebuah siluet hitam kecil di angkasa, terlihat hampir seperti sebuah titik saja dari tempat paus berdiam. Tak salah lagi duga paus itu adalah elang, tak ada yang lainnya yang mampu mengungguli awan. Paus menyemprotkan air tinggi-tinggi guna turut merayakan kebahagian lainnya. Adalah baik untuk ikut serta berbahagia bila yang lainnya berbahagia, dan juga baik untuk menemani mereka yang sedih hatinya. Teringat hal itu, paus tak berlama-lama larut dalam perayaan itu. Kemudian ia berlalu, menyelam, menuju ke pedalaman.

Elang, terbang tinggi tak perlu bersusah payah serupa paus. Di atmosfer, elang bebas menghirup udara, dan lincah memainkan gerak-gerik udara. Paus, dengan segala kekurangannya, suka rela menahan nafas berjam-jam untuk mencapai tujuan. Sampai di kedalaman pun tak banyak yang bisa dilihat, pun hanya sedikit cahaya yang tak kehilangan tenaga saat menuju ke sana. Sampai di kedalaman, paus menemukan mereka yang kesepian, ditinggalkan, tak lagi dihiraukan. Mereka berada di kehidupan minor karena untuk menyelam sedalam itu saja membutuhkan usaha yang perlu ketelatenan, ketahanan fisik dan mental, serta hati yang tulus. Tak ayal, yang mau bersusah payah menyelam ke sana pun tak banyak. Paling-paling yang lainnya menyelam hingga terumbu karang lalu kembali ke daratan.

Paus, dengan senyumnya yang ramah seperti biasanya, menyapa satu persatu penghuni kedalaman, bertanya perihal  berlangsungnya kehidupan di sana, menghibur yang duka, mengobati yang luka, membesarkan hati yang nelangsa. Selesai kunjungannya yang di rasa singkat oleh makhluk-makhluk pedalaman, paus bergegas ke permukaan, menghirup nafas serta menceritakan kehidupan di pedalaman sana. Tak banyak yang tertarik dengan cerita paus karena semuanya sedang sibuk merajut sayap masing-masing untuk mampu terbang, atau sibuk mencari bahan-bahan merajut agar keluarganya mampu terbang. Setiap kembali ke kedalaman, paus tak selalu mendapat teman baru untuk menemani perjalanannya, pun terkadang kawan lamanya tak lagi sanggup meneruskan perjalanan. Sayangnya paus tak mengenal menyerah dan tak pula didera sedih, ia tetap mantap menempuh perjalanan menuju kedalaman ... setiap hari.

Bilakah ada yang bertanya, apakah paus tak mampu terbang? Seluruh makhluk akan menjawabnya tanpa keraguan, bahwa paus sanggup melakukannya. Dulu, di suatu masa, paus mampu terbang hingga ke bulan demi menyanggupi pinta seekor makhluk kedalaman yang memohon untuk di ambil batu bulan sebagai hadiah ulang tahun ibunya yang renta.

...

Kita perlu mengenali diri sendiri, siapakah kita, apa kemampuan kita, untuk apa Gusti Allah menghadirkan kita ke dunia. Kita dapat memilih untuk menjadi elang ataukah paus, keduanya baik. Selama kita tak memilih menjadi bebek, dapat terbang namun hanya sejengkal di atas tanah, mampu berenang namun hanya di permukaan, pun di tanah, ia hanya berani berpetualang bila bergerombol, pula hanya mengikuti kemana arah bebek paling depan menuju. Sendirian atau berkawan elang akan tetap terbang tinggi, paus tetap akan menyelam menuju kedalaman.




Lamongan Muda



Setelah kelas inspirasi Lamongan edisi kedua usai, ada perasaan eman kalau semangat berbagi dengan tulus, kebersamaan yang sudah terjalin dan kenangan yang tercipta pun turut berhenti sampai di sini saja. Bergeraknya anak-anak muda untuk berbagi dengan sesama tanpa sepeserpun dibayar membuat saya menyadari bahwa ini adalah potensi besar untuk membangun kota kecil ini. Sebuah potensi yang selama ini entah tersembunyi di mana.

Dari latar belakang yang bervariasi kami bergerak menuju satu tujuan yang sama. Kami berasal dari usia yang berbeda-beda, memiliki profesi yang beragam, bermukim di kota yang bermacam-macam, kami pun memiliki mimpi masing-masing yang berupa-rupa. Tapi hari itu, kami sedang tidak berminat memberi makan ego, kami malah sedang ingin meninabobokan ego untuk sementara.

Dari sinilah niat kami berangkat, bersama-sama meninabobokan ego, berbagi dengan sesama. Kami berniat untuk bisa membantu lebih banyak lagi masyarakat, berharap dapat menyelami lebih banyak bidang dan permasalahan sosial, kami berkeinginan untuk merangkul sebanyak-banyaknya anak muda di kota ini. Meski saat itu belum ada ide konkret, bermodal semangat kami membentuk sebuah wadah aktualisasi anak muda yang bernama Lamongan Muda.

Di sini, selama tidak memiliki kepentingan politik kekuasaan, semua anak muda boleh turut serta. Semuanya berhak mengaktualisasi diri. Di Lamongan Muda, anak muda dari latar pendidikan, kesenian, pengusaha, olahraga atau apapun diterima dengan tangan terbuka. Dengan semakin banyak yang bergabung dari latar belakang berbeda, akan sangat membantu untuk turut serta urun ide dan tindakan sedikit mengatasi permasalahan yang ada di kota.Di sini, kami akan menyelami kota lebih dalam, kami juga akan berbagi ilmu yang kami miliki, dan kami juga tak lupa saling mendukung untuk sama-sama mewujudkan mimpi masing-masing. 

Kami percaya bahwa kita bisa bermanfaat bagi orang lain dari bidang masing-masing. Di era kebebasan seperti saat ini, akan semakin banyak ide-ide kreatif yang bermunculan untuk menjadi solusi bagi permasalahan yang ada. Dan kami percaya, bahwa ide kreatif hanya akan lahir bila perbedaan dipandang sebagai keindahan bukan sebuah hambatan. Kita dapat berbuat baik kepada orang lain lewat jalan yang kita sukai. Bahkan kami percaya, bahwa mewujudkan mimpi masing-masing, selama tidak melulu untuk tujuan menumpuk kehormatan diri, adalah sebuah jalan untuk memberi manfaat bagi yang lain. Itulah kenapa kami perlu untuk turut serta mendukung mimpi-mimpi anak muda Lamongan.

Adanya Lamongan Muda bukanlah bentuk kritik kepada pemerintahan kota ini. Tetapi adalah sebuah upaya untuk bertanya kepada diri kami sendiri, apakah selama ini kami sudah peduli? Berbagai permasalahan terhampar di sekitar kami dan berbagai kemudahan yang kami dapat sehingga tidak mengalami masalah tersebut, tidak membuat kami lantas tidak acuh terhadap masalah-masalah tersebut. Pendidikan yang perlu banyak bantuan di berbagai aspek, pernikahan di bawah umur, fungsi pusat kesehatan yang belum maksimal, perekonomian yang masih mengandalkan keahlian menjadi buruh, sanitasi yang belum baik, dan berbagai masalah lainnya.

Kami tahu, kami tidak akan mampu membantu menyelesaikan segala permasalahan tersebut, tapi kehadiran kami setidaknya bisa meringankan beban sebagian manusia lainnya. Satu hal yang saya tanamkan betul dalam benak saya adalah, manusia terbaik adalah yang bermanfaat bagi sesama.

Selasa, 11 Agustus 2015

Penasehat Tersumpah





Gusti Allah memang Maha Guyon...

Sedekade terakhir ini, hidup saya kira-kira seolah hanya mampir guyon sama Gusti Allah. Khususnya untuk urusan asmara. Bagaimana tidak, semenjak sedekade tak kurang dari puluhan orang yang mengandalkan saya untuk membantu urusan asmaranya tapi saya ya tetap saja menjadi single fighter. Sejak orang berbondong-bondong berbagi keluh kesah masalah hidupnya kepada saya, resmilah sejak saat itu saya menjadi seorang penasehat tersumpah

Kita pasti punya satu teman yang tak memiliki hubungan apapun dengan seseorang, atau kasarnya jomblo, tapi sangat handal memberi solusi untuk tiap-tiap masalah yang diadukan kepadanya, terlebih masalah, bak ia telah bergelar profesor untuk urusan tersebut. Kalau kamu tak punya, sangat mungkin orang tersebut adalah dirimu sendiri. Tak perlu berkecil hati, atau sesak dada, karena kamu tak sendirian, ada aku.

...

Bermula dari awal-awal anak-anak ABG berhak punya handphone, urusan menjadi penasehat asmara dimulai. Kawan dekat, teman sekolah, teman di sekolah lain, hingga nomor nyasar pun bisa berujung curhat tak berkesudahan. Dari bagaimana cara mengerti lawan jenis, tips-tips nembak  yang ciamik, sampai bagaimana meyakinkan orangtua kalau dirinya sudah punya pilihan hidup yang ... sejenis.

Rupa-rupa masalah asmara dan hidup silih berganti mampir, mereka yang bercerita pun silh berganti datang dan pergi. Namanya juga hidup, mengharap adanya kekalan hanyalah isapan jempol semata. Entah dimana saja mereka sekarang, punya masalah apa saja saat ini, saya tak pernah tahu. Pada beberapa teman yang pernah curhat dan sekarang berjarak, terkadang saya mencari tahu, sekedar untuk memastikan, ia telah hidup dengan baik.

Kadang, saat sepi dan ego sedang tinggi, saya bertanya pada diri sendiri, apakah mereka tidak merasa berhutang budi? Tapi, tak usah diambil hati, itu hanya pertanyaan saya yang sedang tak tahu diri saja.

Sementara yang lain sudah bergonta-ganti pasangan, pun ada yang telah naik pelaminan, bahkan punya anak yang lucu, saya masih saja sendiri, membolak-balik handphone, berharap ada pesan dari Gusti Allah, jodohmu yang berkacamata sudah dekat, arah jam 2, pakai rok sama sneaker. Seketika saya menoleh ke gadis itu, mata saya berkaca-kaca kemudian, dan saya balas pesan tadi, Ya Allah, matur suwun sanget nggih.

Dosen Fitofar membangunkan, ternyata saya ketiduran di ruang kuliah.

...

Saya juga tidak tahu apa alasaan teman-teman sejak bermusim lalu meletakkan beban hidupnya di punggung saya yang ringkih. Mungkin, mungkin loh, cuma mungkin saja, teman-teman tak tahu beban yang saya pinggul untuk diri saya sendiri, karena yang diketahui hanya saya yang seorang badut. Tapi, saya bersyukur, tidak semua orang bisa menjadi tempat bersandar, tidak semua orang sanggup menjadi pendengar yang sabar. Kalau saya boleh geer, Gusti Allah berarti memang sengaja memilih saya. Atau Gusti Allah tahu saya kebanyakan gabutnya.

Seorang teman yang LDR, sudah lelah dengan sikap kekasihnya yang cuek. Padahal cara menipu jarak adalah dengan tetap berkomunikasi sesering saat mudah bertemu. Hubungan yang hampir kandas itu terselamatkan, setelah saya sempat membuatnya menangis terharu untuk mencoba lebih mengerti. Walaupun akhirnya mereka berdua berpisah juga di waktu yang lain. Ya mungkin karena saat memberi nasihat, saya hanya mbeluk (sok-sokan dalam bahasa gaul Lamongan).

Seorang teman yang lain, bingung cara memutuskan hubungan dengan kekasihnya yang super protektif. Saking sumpeknya dia, sampai-sampai perjalanan saya menikmati berdesak-desakan di bis harus diganggu dengan dering telpon darinya. Bersama telinga-telinga penumpang yang main peka karena amarah sedang memuncak akibat berdesak-desakan, saya beraksi sok bijak di saat yang sama sekali tidak bijak. Masalah terpecahkan, nasib hubungannya pun terselesaikan. Telpon ditutup, saya mengangkat kepala, penumpang di sekitar menatap ke arah saya dengan pandangan sinis, dan masalah saya pun dimulai.

Seorang teman lainnya, pernah menghabiskan waktu seharian untuk menyelesaikan masalahnya. Berbagai kuliner di datangi dengan harapan bisa membantu sebagai logistik agar logika tetap jalan dengan baik. Isya sudah lewat lama, dan jam sudah begitu dekat dengan tengah malam, masalah baru terselesaikan. Hidupnya menjadi bahagia, perut pun kenyang sempurna.

Sampai kejadian yang cukup ehem, seperti seorang gay yang curhat tentang hidupnya, seorang lesbi, seorang anggota DPR di salah satu kota di Jawa Barat sampai, entah akan percaya atau tidak, seorang berkewarganegaraan Zimbabwe yang meminta berkenalan dengan saya via media sosial pun juga turut serta berbagi keluh kesah. Gelar Penasehat Tersumpah saya pun sudah bertaraf internasional. Saya pun tidak main-main dengan tanggung jawab besar akan gelar yang saya emban tersebut kawan!

...

Sebenarnya kesalahannya adalah diri saya sendiri yang cukup teledor, handphone entah sudah berapa kali hilang, dan malas mengurus nomor yang lama. Jadilah mereka tak bisa lagi menghubungi saya. Ego saya yang tidak tahu diri yang sempat saya ceritakan tadi, bukanlah doa, hanya celetukan semata. Yang doa adalah yang berikut ini, semoga hidup mereka yang pernah mempercayai saya sebagai seorang penasehat tersumpah kini baik-baik saja. Dan berkat merekalah saya sekarang bisa menapaki jejak sejauh ini. Berkat mereka pulalah saya tidak perlu berulang kali merasakan sakit putus-nyambung, cukup belajar dari yang sudah ada.

Setelah cukup lama malang melintang di dunia penasehatan, saya akhirnya mengerti, untuk menjadi seorang penasehat yang baik, jadilah pendengar yang baik. Dan syarat menjadi seorang pendengar yang baik adalah jangan mendengar untuk membalas argu

men, namun mendengar untuk mengerti masalah lawan bicara. 

Sudah purna saya menjadi saksi hidup kisah asmara anak manusia, mulai yang bingung memberi kode sampai akhirnya punya anak dan bingung cara memompa dan menyimpan asi. Namun saya ya masih begini saja, mengemban tugas lainnya yang diamanahkan Gusti Allah. Sebagai butiran koya. Sambil menatap mbak-mbak berkcamata dari jauh dan menebak ukuran jari manis yang dimilikinya.




Jumat, 07 Agustus 2015

Happy Karena Berbagi





Selepas kuliah, setelah mendapat gelar tentunya, banyak sekali kemungkinan untuk dijajaki, dan semua kemungkinan itu berkesempatan untuk diwujudkan menjadi kenyataan. Tetapi, itu bila kita tidak terjebak dengan gelar yang dimiliki. Gelar akan membatasi langkah, menyempitkan ruang untuk mengeksplorasi diri. Masa depan tidak ditentukan dari ijazah yang kita terima. Tidak melulu kita harus ada di tempat yang sama untuk melanjutkan hidup.

Banyak kemungkinan yang bisa diwujudkan, namun bukan berarti mudah mewujudkannya. Hal pertama yang menggoda kita untuk menyerah adalah apa kata orang. Sebagai makhluk sosial, setiap kita tidak mungkin untuk menjalani hidup seorang diri, kita harus bergaul dengan makhluk sosial lainnya. Sayangnya, tidak semua makhluk sosial akan bersikap sosialis, menghargai hak-hak hidup masing-masing. Sebagai mahkluk sosial, cara bersosialisasi orang-orang terkadang tidak baik, yaitu dengan membicarakan kehidupan yang lain. Kalau ada orang yang salah atau dianggap salah akan menjadi konsumsi sosialisasi yang sangat digemari, dan hal ini juga berlaku bila ada orang yang menjalani hidup dengan benar. Begitulah faktanya, tapi tak perlu banyak nelangsa bila mendengarnya atau menjadi bahan pembicaraan oleh mereka, karena percayalah, mereka yang lebih gemar membicarakan kehidupan orang lain bukan hanya membuktikan bahwa mereka hanyalah orang-orang kecil saja, tapi juga menunjukkan kalau kehidupan mereka tidak semenarik kehidupan kita. Orang-orang yang sibuk mencari tahu kehidupan orang lain hanyalah orang-orang yang hidupnya sendiri membosankan.
...

Beberapa waktu lalu saya melewati hari-hari tanpa kepastian kapan ijazah keluar. Tanpa adanya kepastian kapan ijazah keluar tak ada pula kepastian pekerjaan yang datang. Saya pun miskin pendapatan, ha...ha...ha.... Di saat seperti itu bukannya semakin giat berusaha, malah cuma satu hal yang terpikir : bikin keributan apa ya enaknya....

Semasa kuliah, banyak ide-ide proyek sosial yang hanya berhenti sampai di obrolan dengan kawan. Hal ini membuat saya merasa berhutang kepada diri sendiri, juga berhutang kepada orang-orang yang menghakimi saya omdo semata. Jadilah saya dan seorang kawan berangkat membikin keributan itu.

Kelas Inspirasi, gerakan sosial yang mengundang tenaga profesional untuk datang ke Sekolah Dasar, bercerita dan menginspirasi siswa sekolah yang dikunjungi. Kelas Inspirasi sudah diselenggarakan di lebih dari tiga puluh kota di seluruh Indonesia, dari sinilah saya berpikir untuk menggagas hal yang sama di kota kelahiran. Dan ternyata itu bukan yang pertama diselenggarakan di Lamongan, sebelumnya ada anak Lamongan lainnya yang bergerak. Hal ini baru saya ketahui setelah saya dan teman-teman mulai menjalankan keributan.

Lamongan adalah kota kecil di sebelah utara Jawa, tidak banyak hal yang bisa diceritakan dari kota ini, karena memang sebagai orang Lamongan sendiri saya tidak pernah jalan-jalan berkeliling kota. Atas kesadaran penuh bahwa saya membuat keributan ini di kota kecil, saya pun realistis saja kalau yang akan bersedia turun tangan pun jumlahnya tak banyak. Di luar dugaan saya, dalam tempo sebulan, telah terkumpul lebih dari seratus relawan. Sebagian adalah teman saya SMA, sebagian adalah orang-orang baik yang baru saya kenal yang tidak hanya berasal dari Lamongan dan sekitarnya, ada pula yang jauh-jauh dari Banyuwangi, Jogja, Semarang, dll.

Tanpa sepeserpun dibayar, tak ada protes, kecewa, duka dan nelangsa yang meliputi wajah-wajah para relawan. Dengan mengerahkan apa yang mereka miliki; harta, uang dan tenaga, mereka berdakwah dengan begitu indahnya, tanpa perlu sok pintar mengucurkan ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits. Mengunjungi pelosok-pelosok kota Lamongan yang saya haqqul yakin Bupati pun belum pernah mengunjunginya, dan anak-anak muda itu, dengan penuh semangat, meminjamkan harapan kepada bocah-bocah berseragam merah putih.

Di tiap-tiap sekolah dasar yang dikunjungi, total sepuluh sekolah dasar, para relawan berbagi kebahagiaan kepada siswa dan tenaga pengajar. Bukan hanya anak-anak saja yang bahagia, relawan pun turut mengaku bahagia tak terkira, mereka mendeklarasikan bahwa kebahagiaan pun dapat berangkat dari hal-hal sesederhana meluangkan waktu satu hari saja.

Selepas Kelas Inspirasi masih saja ada siswa-siswa yang menghubungi relawan, sekedar menanyakan kabar atau basa-basi lainnya. Pun begitu bila berjumpa dengan guru-guru sekolah yang dikunjungi, sapa ramah dan orbrolan ringan meluncur tanpa ada pembatas. Persaudaraan pun terbangun terbangun antara orang-orang Lamongan, pun antara orang Lamongan dan relawan luar kota.

Persaudaraan yang tercipta mengajarkan satu hal yang serupa diajarkan senior-senior di kampus. Kala masa mahasiswa baru tiba, para senior akan mengajarkan hukum kebersamaan yang tercipta karena susah bersama, namun sejak terjun di Kelas Inspirasi, saya belajar bahwa kebersamaan pun dapat diciptakan dengan cara lain yang lebih baik, tanpa perlu membentak-bentak, mempermalukan dan lain sebagainya. Saya belajar, kebersamaan pun dapat dicipta dari berbagi bersama-sama, tak penting seberapa besar hal yang dibagi. Kebersamaan dapat dicipta bila kita bergandeng tangan, tulus ikhlas membantu rakyat-rakyat yang selama ini tak terbantu dengan adanya penguasa. Bila ingin menolak argumen saya, ingat-ingat kembali apa yang terjadi setelah KKN yang kamu alami. 

Di sanalah kemudian, saya menemukan kemana saya akan menuju kelak. Saya selama ini tidak kunjung bisa menjadi orang kota. Saya tidak bisa seminggu berkali-kali update di media sosial perihal ibadah sosialita makan di tempat-tempat ternama, saya tidak bisa menjadi yang mula-mula menonton tiap ada film baru disiarkan, saya tidak mampu mengglorifikasikan eksistensi dengan memajang foto saya berkegiatan dengan kawan-kawan di tempat-tempat ramai, saya pun tak juga bisa berdandan baik, menjadi pengikut trend terbaru dari fashion-fashion yang ada. Saya hanyalah orang desa yang bukan apa adanya, tapi begitu adanya.

Di antara anak-anak muda yang tak melulu mengejar materi untuk menemukan bahagia, di sanalah saya menemukan diri saya sendiri. Di antara wajah-wajah orang-orang desa yang kami buat tertawa, di sanalah saya menemukan kebahagiaan saya. Di pelosok-pelosok kota yang seperti antah berantah, di sanalah saya menemukan degup detak jantung bekerja. Di antara orang-orang kecil yang merayu untuk menahan lapar atau bayar sekolah anaknya, di sanalah saya menemukan Tuhan. Di pasar yang temaram langit mengunjunginya, di sanalah saya menemukan manusia-manusia yang senantiasa membawa matahari di dadanya. Bersama orang-orang biasa, di sanalah saya merasakan kebanggaan yang lebih daripada duduk bersama orang-orang berdasi di meja-meja yang penuh makanan mewah.

Dalam sebuah tayangan video yang saya lihat, Gus Dur mengutip seorang sastrawan yang hidup sebelum Nabi Muhammad:
"Aku tak takut dan tak akan bersembunyi di dapur rumah, dan bila rakyat meminta tolong, aku akan membantunya."
...

Tak perlu ada kisah heroik, karena pahlawan hanyalah simbolis semata. Yang terpenting adalah keberanian dan ketulusan kita mewujudkan setiap kemungkinan. Masa-masa yang membingungkan karena banyak kemungkinan ini akan terlewati. Mungkin ini cara Tuhan untuk mengajarkan kedewasaan, karena kedewasaan juga diukur dari pilihan yang ditetapkan.

Let's life to the fullest!


Rabu, 29 April 2015

Perjalanan Relawan

Bilakah lelah
Ambil jantungku saja
Agar kau bertenaga
Jelajahi nelangsa

Bilakah sesak
Ambil paruku saja
Agar kau merdeka
Hirup nuansa

Bilakah sepi
Ambil hatiku saja
Tak kujual kenyataan
Kuhadirkan harapan

Meski degupnya bergegas
Meski nafasnya terkuras
Namun ruang hati ini luas
Untuk hidup
Keyakinan dan perjuangan ini pantas

Puisi ini saya persembahkan kepada semua relawan. Relawan pendidikan, relawan kesehatan, relawan ekonomi, relawan HAM, relawan hukum, relawan lingkungan, dan segala jenis bentuk kerelawanan. Berkat keikhlasan relawan bumi ini tetap layak untuk ditinggali, sementara harapan yang dihadirkan perlahan mengisi sela-sela, memberi udara segar untuk bernafas.

Sabtu, 21 Maret 2015

Sembilan Puluh Hari


Wisuda sudah berlalu empat bulan yang lalu, dan saya masih menganggur. Sedih? Tidak sepenuhnya, karena sejujurnya saya lebih suka membuka usaha sendiri daripada harus bekerja kepada orang lain. Hanya saja ini sama artinya dengan saya mesti menahan cemas setiap kali menatap wajah kedua orangtua. mereka berharap saya bisa bekerja seperti orang kantoran pada umumnya. Apalagi kalau saya mau mendaftar ke pekerjaan yang sangat saya hindari: PNS.

Sampai akhir tahun kemarin ada dua pekerjaan yang menawari tanpa ribet, sayang ijazah masih belum juga mendapat bubuhan tanda tangan dari Tuan Rektor terhormat. Pertengahan januari, ijazah baru syah menjadi milik saya, dan saya bukan lagi hamba universitas.

Memasuki tahun ini, banyak yang ingin dilakukan, hebatnya keinginan kali ini beda dengan tahun-tahun sebelumnya yang hanya berakhir menjadi wacana. Selepas menjadi sarjana banyak ide liar yang berlarian mengharap dengan wajah penuh memelas untuk ditangkap. Satu per satu ide pun berusaha diwujudkan. Beberapa ide sudah terwujud bahkan sebelum tahun berganti.

Bila kelak ada reporter yang repot-repot mewancarai teman-teman kampus untuk bertanya perihal saya di kampus. Saya jamin teman-teman akan bercerita kalau saya bukanlah tipikal mahasiswa yang betah dikampus sekaigus segan untuk memuji institusi yang bersedia memberikan saya gelar tersebut. Namun, saya pun dapat menjamin tak akan ada reporter yang mau repot-repot begitu, apa pula nilai beritanya?

...

Setelah secara formal nama saya mendapat tambahan sarjana, ada perbedaan dari cara memandang dunia. Bukan, bukan secara akademis, namun lebih luas lagi. Saya jadi sedikit lebih mengerti mana yang perlu diperjuangkan dan mana yang lebih baik ditinggalkan.

Namun kiranya hal ini tidak berlaku bagi satu bagian di hidup saya : jatuh cinta. Selepas SMA tak ada lagi perihal cinta yang sanggup masuk melewati pintu hati. Beberapa hanya sanggup mengetuk, beberapa saya lah yang berusaha mengetuk pintu sekuat tenaga, berharap mendapat ijin untuk tinggal, bila tak boleh lama, barang sebentar saja, merasai jiwa berdua, menjiwai dua rasa.

Dari tahun ke tahun, kebodohan saya perihal jatuh cinta pun bertambah, kini sudah sampai taraf sepi dan keramaian tak dapat lagi dibedakan. Bilakah ada seorang di luar sana yang dengan kebaikan hatinya bersedia menulis buku "How to Fall in Love for Dummies" ?

Setelah luka yang saya cipta di masa silam, apakah semesta sedang merajut karma melalui tapak-tapak kaki yang beranjak tuk mengetuk pintu hati? Setelah penyesalan yang masih saja menghantui, patutkah semesta menuntut dendam untuk dibayar tuntas?

Mana yang cinta, mana yang rasa suka semata, mana pula obsesi kepada insan yang didamba?

Kepada gadis itu saya mengenal perumpaan paling hiperbolis yang pernah saya tahu : jatuh cinta pada pandang pertama. Memenuhi teori untuk membuktikan itu hanya suka semata, rasa ini pun saya endapkan selama sembilan puluh hari lamanya, teori itu pun termentahkan, bertepatan dengan ia yang tak lagi mengacuhkan.

Setelah melewati berbulan-bulan masa, saya pun memberanikan kembali menyapa yang disambut hangat. Sesaat. Kembali bertepatan dengan sembilan puluh hari lainnya.

Tahun pun beranjak menjadi baru, sialnya rasa ini tak kunjung berlalu. Sekali lagi sapa itu bersambut hangat, dan entah kenapa berakhir sama dengan yang lalu, juga tepat pula sembilan puluh hari yang lain.

Sering saya bertanya, rasa yang terus berkobar, tak kunjung pudar, perlukah untuk diperjuangkan barang untuk mendapat jawabnya ataukah ditinggal saja dengan menahan beban rasa yang dapat pecah kapan saja.