Sabtu, 21 Maret 2015

Sembilan Puluh Hari


Wisuda sudah berlalu empat bulan yang lalu, dan saya masih menganggur. Sedih? Tidak sepenuhnya, karena sejujurnya saya lebih suka membuka usaha sendiri daripada harus bekerja kepada orang lain. Hanya saja ini sama artinya dengan saya mesti menahan cemas setiap kali menatap wajah kedua orangtua. mereka berharap saya bisa bekerja seperti orang kantoran pada umumnya. Apalagi kalau saya mau mendaftar ke pekerjaan yang sangat saya hindari: PNS.

Sampai akhir tahun kemarin ada dua pekerjaan yang menawari tanpa ribet, sayang ijazah masih belum juga mendapat bubuhan tanda tangan dari Tuan Rektor terhormat. Pertengahan januari, ijazah baru syah menjadi milik saya, dan saya bukan lagi hamba universitas.

Memasuki tahun ini, banyak yang ingin dilakukan, hebatnya keinginan kali ini beda dengan tahun-tahun sebelumnya yang hanya berakhir menjadi wacana. Selepas menjadi sarjana banyak ide liar yang berlarian mengharap dengan wajah penuh memelas untuk ditangkap. Satu per satu ide pun berusaha diwujudkan. Beberapa ide sudah terwujud bahkan sebelum tahun berganti.

Bila kelak ada reporter yang repot-repot mewancarai teman-teman kampus untuk bertanya perihal saya di kampus. Saya jamin teman-teman akan bercerita kalau saya bukanlah tipikal mahasiswa yang betah dikampus sekaigus segan untuk memuji institusi yang bersedia memberikan saya gelar tersebut. Namun, saya pun dapat menjamin tak akan ada reporter yang mau repot-repot begitu, apa pula nilai beritanya?

...

Setelah secara formal nama saya mendapat tambahan sarjana, ada perbedaan dari cara memandang dunia. Bukan, bukan secara akademis, namun lebih luas lagi. Saya jadi sedikit lebih mengerti mana yang perlu diperjuangkan dan mana yang lebih baik ditinggalkan.

Namun kiranya hal ini tidak berlaku bagi satu bagian di hidup saya : jatuh cinta. Selepas SMA tak ada lagi perihal cinta yang sanggup masuk melewati pintu hati. Beberapa hanya sanggup mengetuk, beberapa saya lah yang berusaha mengetuk pintu sekuat tenaga, berharap mendapat ijin untuk tinggal, bila tak boleh lama, barang sebentar saja, merasai jiwa berdua, menjiwai dua rasa.

Dari tahun ke tahun, kebodohan saya perihal jatuh cinta pun bertambah, kini sudah sampai taraf sepi dan keramaian tak dapat lagi dibedakan. Bilakah ada seorang di luar sana yang dengan kebaikan hatinya bersedia menulis buku "How to Fall in Love for Dummies" ?

Setelah luka yang saya cipta di masa silam, apakah semesta sedang merajut karma melalui tapak-tapak kaki yang beranjak tuk mengetuk pintu hati? Setelah penyesalan yang masih saja menghantui, patutkah semesta menuntut dendam untuk dibayar tuntas?

Mana yang cinta, mana yang rasa suka semata, mana pula obsesi kepada insan yang didamba?

Kepada gadis itu saya mengenal perumpaan paling hiperbolis yang pernah saya tahu : jatuh cinta pada pandang pertama. Memenuhi teori untuk membuktikan itu hanya suka semata, rasa ini pun saya endapkan selama sembilan puluh hari lamanya, teori itu pun termentahkan, bertepatan dengan ia yang tak lagi mengacuhkan.

Setelah melewati berbulan-bulan masa, saya pun memberanikan kembali menyapa yang disambut hangat. Sesaat. Kembali bertepatan dengan sembilan puluh hari lainnya.

Tahun pun beranjak menjadi baru, sialnya rasa ini tak kunjung berlalu. Sekali lagi sapa itu bersambut hangat, dan entah kenapa berakhir sama dengan yang lalu, juga tepat pula sembilan puluh hari yang lain.

Sering saya bertanya, rasa yang terus berkobar, tak kunjung pudar, perlukah untuk diperjuangkan barang untuk mendapat jawabnya ataukah ditinggal saja dengan menahan beban rasa yang dapat pecah kapan saja.