Apa yang bisa digantungkan pada rindu?
Jalanan gelap berliku menujumu
Tak kulihat parasmu
Atau sebentuk suara memanggilku
Apa yang bisa digantungkan pada rindu?
Aroma tanah basah menguar
Menutupi indra penciuman tuk mengenali hadirmu
Apa yang bisa digantungkan pada rindu?
Sisa hujan tadi tak juga membuatmu tahu
Rindu ini sia-sia
Tak akan pernah tersaji di depanmu
Mendung yang menyembunyikan rembulan
Akan membunuhnya perlahan tanpa aku dan kamu tahu
...
Sebatang pohon rindu mengakar kuat kepadamu
Waktu rebah tak berdaya mengipasi beragam peluh
Tak tega aku melihatnya menyeraj
T'lah sekuat tenaga ia berusaha menghapus kenangan kita
Sia-sia sudah
Tak tahu menahu dirimu
Hujan dan terik bergilir bermukim di teras
Menungguimu hingga habis kopi lebih sepuluh gelas
Segala puisi kamu biarkan sendirian
Langkah ringan berbilang ribuan mengarah ke cerita lain
Pemberhentianmu pada ia yang memujimu cantik
Sembari menutup semua indranya
Yang ditunggu sedang tidak menuju ke arahku
Antara aku harus tahu diri atau tak perlu tahu malu
Perihal menunggu rindu mati terbunuh
Mendung yang menyembunyikan rembulan
NB: Baru sadar sekarang tanggal tiga puluh satu. Aku kira masih tiga puluh. Seharusnya ada catatan yang mau dipos tapi belum ada waktu. Semoga ini juga tetap bisa menghadirkan rasa utnuk dibicarakan. :)
Sudah
lebih sebulan ini langit Surabaya nyaman memakai gaun mendung.
Terlihat cantik, tak seperti ketika langit terik. Sesekali ia
meninggalkan kesal di genangan-genangan jalan aspal di seluruh
penjuru ibukota.
Hujan
telah
berbagai tempat bersama hal lain yang berarti dalam perjalanan hidup.
Entah sejak umur berapa, aku begitu menikmati hujan turun,
terlebih ketika hujan pagi atau sore hari.
..
dancing in the rain
Sebagai anak
desa, kami tak memiliki peralatan elektronik canggih seperti sekarang
ini. Dulu mainan kami sebagian besar adalah buatan sendiri, mulai
dari layang-layang, mobil-mobilan dari botol air mineral, sampai
sepeda yang dapat mengeluarkan bunyi seperti mesin diesel. Dalam
keterbatasan dan kesederhanaan kala itu kebahagiaan dan kebersamaan
mudah sekali ditemui. Tak ada yang dikeluhkan, tak ada kebosanan karena ganti musim
maka permainannya pun berganti. Dan salah satu musim yang paling
ditunggu adalah musim hujan.
Tetangga
depan rumah memiliki sepetak tanah yang telah disemen, kami
menyebutnya plester,
gunanya untuk mengeringkan padi hasil panen. Di empat sudut serta
beberapa bagian di tepian plester
ada lubang-lubang tempat mengalirnya air bila musim penghujan tiba.
Kenakalan kami membuat peraturan itu tak berlaku, setiap hujan tiba,
terutama ketika hujan sedang deras-derasnya, semua lubang itu kami
tutup sehingga air akan menggenang, membanjiri plester.
Air yang menggenang ini menjadi kebahagiaan tambahan, beberapa
berpura-pura berenang walaupun dangkal sekali, beberapa membuat
perahu dari kertas, beberapa berlarian, dan bulir-bulir hujan
mengukir tawa untuk kesekian kalinya. Pulangnya kami membawa
oleh-oleh gatal di sekujur tubuh karena sebenarnya di plester
masih
ada sisa-sisa padi hasil panen.
Bila sudah mulai
bosan kami bermain balap perahu kertas di got. Ketika itu got di
sepanjang jalan masih berfungsi sebagaimana mestinya, masih bersih
tidak seperti got ibu kota. Hujan deras yang turun meningkatkan
debit air got. Kesempatan ini tak kami lewatkan, perahu kertas kami
layarkan dari timur dan kami menikmati hujan sambil berlari mengikuti
perahu yang melaju ke barat, hingga kami berhenti ketika sampai di
sungai, seperti yang dilakukan Kugy dalam film Perahu Kertas, bedanya
kami tak menuliskan pesan apapun. Tetapi dalam hati kami masing-masing
berucap terimakasih kepada perahu-perahu tersebut karena mau mampir
di desa kecil kami dan melengkapi kebahagiaan kala hujan.
…
Sewaktu
SMP aku gagal masuk ke sekolah unggulan di Kecalatan, ada kekecewaan
mendalam. Terpaksa aku harus bersekolah di sebuah sekolah yang baru
meluluskan satu angkatan. Sekolah ini baru didirikan tiga tahun
sebelum aku bersekolah disana. Dan tempatnya berada di desa yang agak
jauh dari pusat kecamatan. Menurut kabar, sekolah ini didirikan di
situ agar masyarakat daerah tersebut dapat mengenyam pendidikan tanpa
susah payah.
Setelah
waktu berlalu, kini hanya ada rasa penuh syukur kala itu aku gagal,
karena kegagalan itu membuatku masih bisa berbahagia bersama alam.
Jarak rumah dan sekolah lebih dari tiga kilometer. Bukan jarak yang
membuat terasa jauh, tapi medannya. Karena desa kami berjarak satu
jam dari pusat Kabupaten, wajar bila akses transportasi kami pun
tertinggal. Sepanjang jalan banyak sekali lubang yang entah kapan
terakhir kali diperbaiki. Kanan-kiri jalan hanya ada sawah dan
beberapa hutan kecil di seberang sawah. Kontur tanah yang naik-turun
membuat perjalanan menjadi berat terlebih ketika musim kemarau tiba,
saat berangkat ke arah selatan, angin bertiup ke utara, dan saat
pulang ke arah utara, angin bertiup ke selatan, belum lagi ditambah
terik matahari. Tapi sungguh, walaupun tampak berat, berangkat dan
pulang kami selalu bisa bergembira karena ramai-ramai bersepeda.
Banyak sekali cerita yang membuatku bisa mengatakan bahwa masa SMP
tak kalah indahnya dengan masa SMA. Bahkan mungkin lebih banyak
warnanya kala itu.
Musim
hujan tiba adalah saat dimana kami memilih yang terbaik dari dilema.
Memilih menerobos hujan atau menunggu sampai reda. Banyak dari kami
yang tidak memiliki cadangan baju sekolah, terlebih bila itu baju
khusus, seperti batik sekolah. Bila hujannya tampak tak mau
berkompromi, terpaksa kami pulang sambil ditemani hujan deras. Itu
berarti keesokan paginya banyak murid yang pakaiannya beda-beda tak
sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Lucu. Ini adalah salah satu
bagaimana hujan membahagiakan kami. Ada satu lagi dilema yang harus
kami hadapi, memilih menitipkan tas dan buku di sekolah atau
membawanya pulang dengan resiko kehujanan. Enak bila membawa kantong
kresek, tak perlu banyak berpikir. Tapi bila lupa membawa, kebanyakan
dari kami menitipkan buku di sekolah, esok harinya kami ke sekolah
dengan membawa buku sesuai jadwal hari itu di dalam kantong kresek.
Lucu, seperti tak punya tas saja. Pulangnya kami membawa beban dua kali lipat, buku jadwal hari ini dan kemarin. Ini termasuk salah satu cara hujan
membahagiakan kami. Tak ada raut sesal di wajah kami telah dipilih
Tuhan untuk bersekolah di sini.
Sepulang
sekolah kami dapat memandangi hujan yang jatuh di kejauhan tampak
seperti tirai. Indah sekali. Biasanya kami memelankan kayuhan untuk
menikmati pemandangan tersebut. Ketika tirai hujan mendekat, kami
bergegas mengayuh sembari bertaruh siapa yang menjadi tercepat. Aku
selalu menjadi yang terbelakang dan harus rela sedikit basah didera
rintik hujan. Walau harus basah, tapi semua itu membahagiakan dan tak
pernah membosankan, bahkan membuat kami menunggu saat-saat seperti
itu.
Pernah suatu
hari, saat masih duduk ditahun pertama, kami pulang dari LDKMS
disambut hujan yang sangat deras. Sekolah sudah sepi dan hujan
tak kunjung memberi pertanda akan reda. Setiap sudut sekolah mulai
tampak menyeramkan dan hanya sisa kami bertiga. Terpaksa kami
menerobos hujan yang turun bersama angin dan kilat. Kayuhan sepeda berat
sekali karena arah anginnya berlawanan. Di kejauhan kilat menghantam tanah
diikuti guntur menggelegar. Lama-kelamaan kilat terasa mendekat, dan
kanan-kiri jalan hanyalah sawah, posisi kami tepat berada ditengah.
Perasaan takut luar biasa membuat kami mengayuh sepeda dengan kencang
sekali, bahkan ketika sudah berada di pemukiman, kami masih mengayuh
dengan kencang karena takut akan kilat yang selama perjalanan
menyambar kanan-kiri. Beruntung kami sampai di rumah tak kurang suatu
apapun.
Berangkat sekolah
pun tak kalah serunya kala musim hujan tiba. Hujan yang turun
semalam, menghadirkan pemandangan indah sepanjang mata memandang.
Gunung Kelud tampak gagah dan sangat indah, begitu juga dengan
pegunungan entah apa namanya yang berada di sisi lain. Dan bila cukup beruntung kami dapat
menikmati beraneka jenis burung terbang menjelajahi langit pagi. Tak
pernah terpikir sekalipun bagi kami tentang berwisata, karena di
daerah kami sendiri telah tersedia wisata yang tak ada habisnya.
Kini
setelah waktu berlalu bertahun-tahun lalu. Sesekali aku masih
menyempatkan diri berjalan-jalan di rute perjalanan menuju sekolah.
Kenangan demi kenangan hadir kembali membuatku tersenyum sendiri.
Udaranya masih sama, pemandangannya masih sama, hanya aktor-aktornya
yang dulu telah tumbuh dewasa, dan sekarang entah dimana. Semoga
dimanapun kami terpisah, hujan akan menyertai kebahagiaan kami.
…
Masa SMA banyak
hujan yang aku lewatkan begitu saja. Dapat dihitung dengan jari hujan
yang melekatkan kenangan. Mungkin karena waktu itu terlalu sibuk
jatuh cinta. Tapi, salah satu cinta kumiliki, aku dapatkan dibawah
derasnya hujan. Suasananya romantis, hanya sayang tempatnya sama
sekali tak romantis, dan seringkali membuatku dan mantan tertawa
ketika mengingat dimana kami mengikat hubungan.
Mungkin
sebenarnya banyak cerita tentang musim hujan kala SMA, hanya saja
kenangannya telah bertumpuk dengan kenangan yang lain, sehingga butuh
waktu bagiku untuk mencari. Bila sempat, akan aku ceritakan
kenangan-kenangan yang telah aku temukan.
Tuhan
begitu baik, takdir mengantarkanku kembali kepada hujan, bahkan kali
ini sangat istimewa, aku dibawa ke kota hujan. Terdengar sangat indah
namun juga cukup asing bagiku. Tapi aku lebih memilih untuk
memikirkan sisi baiknya saja, tinggal di daerah yang hujannya biasa
saja sudah bisa membuat bahagia, apalagi bila tinggal di kota hujan.
KOTA HUJAN. Pasti hujan sangat sering mampir ke kota itu
sampai-sampai orang memberinya nama demikian.
Kota Hujan memang
sangat nyaman untuk ditinggali, walaupun mungkin bagi orang-orang
kota hujan mereka sudah bosan. Tapi bagi orang asing sepertiku yang
menyukai hujan, ini seperti surga, dan bulir-bulir bahagia lebih
sering turun dari langit.
Minggu pertama
datang, hujan menyambut dengan suka cita. Satu hal yang membuatku
bahagia kala pertama tinggal, walaupun hujan, orang-orang tetap
beraktivitas, ini membuatku merasa tidak sendirian menikmati hujan.
Ya, walaupun tentu saja bila mereka berhenti beraktivitas, lalu kapan
mereka akan menyelesaikan urusannya, kan memang hujan sudah menjadi
hal yang sangat biasa turun di kota ini.
Di kota ini,
mudah sekali mendapatkan inspirasi. Di setiap sudutnya bisa ditemui.
Tak perlu harus jatuh cinta terlebih dahulu untuk membuat prosa
asmara, tak perlu disakiti terlebih dahulu untuk membuat prosa
menyayat hati. Di rinai-rinai air hujan bisa bebas dipilih rasa apa
yang ingin hinggap di hati, kangen? cinta? sedih? Apa saja ada, dan
itu bisa membuat karya demi karya bisa lahir dengan rupawan.
Di
beberapa tulisanku telah kuceritakan bagaimana kota hujan telah
mengajarkanku tentang hidup. Mengejar impian yang akhirnya
kudapatkan. Jatuh cinta yang akhirnya harus aku relakan. Persahabatan
yang selalu bertukar nasehat-nasehat baik. Setiap bagian perjalanan
selama di kota ini, yang walaupun sebentar, telah mengajarkan
kedewasaan yang mungkin tak akan pernah aku dapat bila aku memilih
kota yang lain untuk mengenyam pendidikan selanjutnya selepas SMA.
Kota ini telah
membuatku mulai matang sebagai seseorang meskipun di sana-sini masih
banyak kekurangan. Milyaran terimakasih aku persembahkan kepada
siapapun dan apapun yang membantuku tumbuh selama di sana. Semoga kita
hidup dengan baik selamanya.
Tak perlu lebih
banyak aku ceritakan tentang kota hujan, karena di banyak tulisan aku
telah menceritakannya. Lagipula tulisan ini masih cukup panjang lagi.
…
you are what you see
Hujan deras
membujuk takdir untuk mempertemukan kawan lama ketika berteduh
menghindari basah.
“Hai! Lama tak
bertemu!” Sapa lelaki setinggi anak paskibra, berambut lurus, dan
berwajah tirus, mengenakan kemeja biru, kepada lelaki lain di
sebelahnya.
“Hai! Apa
kabar?” Jawab lelaki yang tingginya hanya sebatas kuping lelaki
satunya.
“Baik
… baik. Kamu kemana saja selama ini menghilang begitu saja?”
“Haha,
nggak kemana-mana sih.”
Setelah itu
obrolan mengalir seperti mendung yang sejak lama ingin menumpahkan
air ke tanah.Hingga salah satu dari mereka membicarakan hal yang sejak lama dihindari untuk tidak dibicarakan.
“Masih
suka dengannya?”
“He… he…,
berapa kali aku harus meyakinkanmu, juga lainnya?” jawabnya malas.
“Habis,
tak pernah ada kabar. Tak pernah muncul pula.”
“Mungkin
lebih baik begitu … mungkin itu yang terbaik.”
“Hah?
Maksudnya?”
“Yaa
… jadi kehidupannya tak terusik lagi olehku?”
“Aku
masih bingung ….”
Lelaki yang lebih
pendek memandang lelaki satunya sambil tersenyum. Matanya seperti
sedang menerawang, berusaha mengumpulkan kata demi kata yang seolah
harus disusun dengan baik.
“Kamu tahu,
bila ada aku, dia selalu merasa tidak nyaman. Bukan hanya ketika kita
ada dalam satu tempat, tapi mendengar kabarku saja ia merasa terusik.
Sayangnya ia tak cukup dewasa untuk tidak menceritakan kekesalannya
itu kepada banyak orang.”
“Tapi,
seharusnya itu bukan menjadi alasanmu untuk menghilang. Anak-anak
banyak yang menanyakan
kabarmu.”
“Aku rasa
keputusanku sudah tepat. Banyak sekali nasehat baik yang telah ia
berikan padaku, ia juga telah berbuat baik ke banyak orang, dan
orang-orang memang telah mengenalnya sebagai pribadi yang baik. Aku
tak mau hanya karena ia merasa aku masih disekitarnya, kemudian hal
itu dijadikannya alasan untuk berkata tentang hal-hal tidak baik
kepada orang lain, dan akhirnya berujung kekecewaan kepada
orang-orang yang telah menilainya baik. Aku tak mau pribadi baiknya
dinilai buruk oleh orang lain hanya karena aku. Kita putus juga
karena kesalahanku, dan bila penilaian buruk orang lain kepadanya
terjadi juga karena aku, itu sama saja dengan aku menjatuhkannya lalu
menimpakan tangga kepadanya.”
“Apa kamu tidak
merasakan kehilangan kita?”
“Tentu
saja aku merasakannya, rasa kehilangan yang begitu dalam. Aku harus
kehilangan dia, aku juga harus rela kehilangan kalian dengan
menghilang dari jalian, lalu memulai kisah yang baru. Terlebih aku
harus rapi menyimpan kisahku yang baru.”
“Apa
semua usahamu berhasil? Beberapa dari kita masih sering membaca
tulisanmu di media sosial.”
“Tidak.
Awalnya tak berhasil, hal-hal baik yang aku ceritakan dianggap
sebagai kebohongan belaka. Hingga aku menyerah. Orang lain, termasuk
dia masih menganggap aku sebagai orang yang sama, meskipun aku dan
kalian semua telah tumbuh seiring berjalannya waktu.”
“Tentu saja
orang lain menganggapmu sama, selama ini apa yang kamu tulis juga
seperti kamu yang dulu bukan?”
“He… he…
miris memang. Ketika aku berbicara tentang aku yang telah tumbuh, tak
ada yang percaya, dan orang lain masih menganggapku sama. Mereka
lebih percaya dengan cerita bahwa aku masih orang yang sama. Dan itu
membuat mereka bahagia. Karena itu aku menurutinya, membuat mereka bahagia
sesuai dengan persepsi yang mereka punya.”
“Berarti selama
ini kamu melapisi kehidupan nyatamu dengan sandiwara?”
Lelaki yang lebih
kecil mengangguk.
“Lalu,
apakah kamu akan meneruskan hidup dengan cara seperti itu?”
“Tidak…”
jawabnya lirih.
“Kamu lelah?”
“Tidak,
aku sebenarnya masih kuat untuk meneruskannya. Hanya saja aku sering tersesat,
aku lebih menikmati dunia sandiwara daripada dunia nyata. Aku takut
tak tahu arah jalan pulang, dan lupa siapa diriku sebenarnya.”
“Apa yang ingin kamu
lakukan setelah ini?”
“Tentu saja aku
akan menyudahi sandiwara, dan membiarkan orang lain melihat
kehidupanku yang sebenarnya. Selama ini aku terlalu memikirkan
perasaan orang lain kepadaku, sehingga aku sibuk membuat mereka
bahagia dengan apa yang diinginkan, sampai aku lupa dengan perasaanku
sendiri. Kali ini terserah mereka akan berkata apa, hanya diriku sendiri yang pantas menahkodai kehidupanku.”
“Kau tahu
kawan, kau layak bahagia dengan hidupmu sendiri. Menuruti mereka yang
menganggapmu tak pernah tumbuh sama saja dengan kamu menjalankan
kehidupan orang lain. Bila mereka masih menilaimu busuk, biarlah.
Biarkan mereka membusuk bersama pikirannya.”
Lelaki yang lebih
pendek itu mengangguk dengan airmata yang telah menggenang di
pelupuk.
“Berdirilah
kawan, jalani hidupmu dengan baik. Kamu sudah berubah jauh lebih baik
daripada terakhir kita bertemu. Dan kamu cukup dewasa untuk
kehidupan.”
Lelaki yang lebih
kecil berusaha merangkul lelaki yang lebih tinggi, namun tak bisa.
“Kawan, aku
adalah cermin, percuma saja kamu berusaha merangkulku. Tetapi kawan,
aku akan selalu ada ketika kamu ingin menjadi pribadi yang lebih
baik.”
Hujan
sore itu mengantar kawan lama berbincang tentang hidup. Hujan sore
itu kembali
mengingatkan lelaki kecil itu untuk lebih sering bercermin lagi selain
mendengar apa yang orang lain katakaa. Hujan sore itu sekali lagi
membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik dengan mengingatkan kembali untuk kembali kepad cermin, tempat manusia menemukan dirinya sendiri.
…
let it flow
Dan bila harus, biarkanlah rinai hujan turun membelai tanah bersama kenangan kita akan kawan lama, mantan kekasih ataupun kesalahan kita.
Terimakasih
hujan
NB: Selagi hujan berdoalah untuk hal baik, karena dalam rinainya ada kasih sayang Tuhan yang tak terbatas.
Seperti yang sudah-sudah, terlalu banyak deskripsi yang sama dari orang yang belum sepenuhnya mengenal. Panggil saja, lalu mari bicara. Mungkin awalnya memang malu-malu. Kemudian akan diakhiri tawa...