Kamis, 31 Januari 2013

Mendung yang Menyembunyikan Rembulan

Rembulan yang menyimpan rindu seluruh kota


Apa yang bisa digantungkan pada rindu?
Jalanan gelap berliku menujumu
Tak kulihat parasmu
Atau sebentuk suara memanggilku

Apa yang bisa digantungkan pada rindu?
Aroma tanah basah menguar
Menutupi indra penciuman tuk mengenali hadirmu

Apa yang bisa digantungkan pada rindu?
Sisa hujan tadi tak juga membuatmu tahu
Rindu ini sia-sia
Tak akan pernah tersaji di depanmu
Mendung yang menyembunyikan rembulan
Akan membunuhnya perlahan tanpa aku dan kamu tahu

...

Sebatang pohon rindu mengakar kuat kepadamu
Waktu rebah tak berdaya mengipasi beragam peluh
Tak tega aku melihatnya menyeraj
T'lah sekuat tenaga ia berusaha menghapus kenangan kita
Sia-sia sudah

Tak tahu menahu dirimu
Hujan dan terik bergilir bermukim di teras
Menungguimu hingga habis kopi lebih sepuluh gelas

Segala puisi kamu biarkan sendirian
Langkah ringan berbilang ribuan mengarah ke cerita lain
Pemberhentianmu pada ia yang memujimu cantik
Sembari menutup semua indranya

Yang ditunggu sedang tidak menuju ke arahku
Antara aku harus tahu diri atau tak perlu tahu malu
Perihal menunggu rindu mati terbunuh
Mendung yang menyembunyikan rembulan


NB: Baru sadar sekarang tanggal tiga puluh satu. Aku kira masih tiga puluh. Seharusnya ada catatan yang mau dipos tapi belum ada waktu. Semoga ini juga tetap bisa menghadirkan rasa utnuk dibicarakan. :)

Jumat, 11 Januari 2013

Kisah Panjang Hujan



Sudah lebih sebulan ini langit Surabaya nyaman memakai gaun mendung. Terlihat cantik, tak seperti ketika langit terik. Sesekali ia meninggalkan kesal di genangan-genangan jalan aspal di seluruh penjuru ibukota.


Hujan telah berbagai tempat bersama hal lain yang berarti dalam perjalanan hidup. Entah sejak umur berapa, aku begitu menikmati hujan turun, terlebih ketika hujan pagi atau sore hari.

..
dancing in the rain

Sebagai anak desa, kami tak memiliki peralatan elektronik canggih seperti sekarang ini. Dulu mainan kami sebagian besar adalah buatan sendiri, mulai dari layang-layang, mobil-mobilan dari botol air mineral, sampai sepeda yang dapat mengeluarkan bunyi seperti mesin diesel. Dalam keterbatasan dan kesederhanaan kala itu kebahagiaan dan kebersamaan mudah sekali ditemui. Tak ada yang dikeluhkan, tak ada kebosanan karena ganti musim maka permainannya pun berganti. Dan salah satu musim yang paling ditunggu adalah musim hujan.


Tetangga depan rumah memiliki sepetak tanah yang telah disemen, kami menyebutnya plester, gunanya untuk mengeringkan padi hasil panen. Di empat sudut serta beberapa bagian di tepian plester ada lubang-lubang tempat mengalirnya air bila musim penghujan tiba. Kenakalan kami membuat peraturan itu tak berlaku, setiap hujan tiba, terutama ketika hujan sedang deras-derasnya, semua lubang itu kami tutup sehingga air akan menggenang, membanjiri plester. Air yang menggenang ini menjadi kebahagiaan tambahan, beberapa berpura-pura berenang walaupun dangkal sekali, beberapa membuat perahu dari kertas, beberapa berlarian, dan bulir-bulir hujan mengukir tawa untuk kesekian kalinya. Pulangnya kami membawa oleh-oleh gatal di sekujur tubuh karena sebenarnya di plester masih ada sisa-sisa padi hasil panen.

Bila sudah mulai bosan kami bermain balap perahu kertas di got. Ketika itu got di sepanjang jalan masih berfungsi sebagaimana mestinya, masih bersih tidak seperti got ibu kota. Hujan deras yang turun meningkatkan debit air got. Kesempatan ini tak kami lewatkan, perahu kertas kami layarkan dari timur dan kami menikmati hujan sambil berlari mengikuti perahu yang melaju ke barat, hingga kami berhenti ketika sampai di sungai, seperti yang dilakukan Kugy dalam film Perahu Kertas, bedanya kami tak menuliskan pesan apapun. Tetapi dalam hati kami masing-masing berucap terimakasih kepada perahu-perahu tersebut karena mau mampir di desa kecil kami dan melengkapi kebahagiaan kala hujan.




Sewaktu SMP aku gagal masuk ke sekolah unggulan di Kecalatan, ada kekecewaan mendalam. Terpaksa aku harus bersekolah di sebuah sekolah yang baru meluluskan satu angkatan. Sekolah ini baru didirikan tiga tahun sebelum aku bersekolah disana. Dan tempatnya berada di desa yang agak jauh dari pusat kecamatan. Menurut kabar, sekolah ini didirikan di situ agar masyarakat daerah tersebut dapat mengenyam pendidikan tanpa susah payah.


Setelah waktu berlalu, kini hanya ada rasa penuh syukur kala itu aku gagal, karena kegagalan itu membuatku masih bisa berbahagia bersama alam. Jarak rumah dan sekolah lebih dari tiga kilometer. Bukan jarak yang membuat terasa jauh, tapi medannya. Karena desa kami berjarak satu jam dari pusat Kabupaten, wajar bila akses transportasi kami pun tertinggal. Sepanjang jalan banyak sekali lubang yang entah kapan terakhir kali diperbaiki. Kanan-kiri jalan hanya ada sawah dan beberapa hutan kecil di seberang sawah. Kontur tanah yang naik-turun membuat perjalanan menjadi berat terlebih ketika musim kemarau tiba, saat berangkat ke arah selatan, angin bertiup ke utara, dan saat pulang ke arah utara, angin bertiup ke selatan, belum lagi ditambah terik matahari. Tapi sungguh, walaupun tampak berat, berangkat dan pulang kami selalu bisa bergembira karena ramai-ramai bersepeda. Banyak sekali cerita yang membuatku bisa mengatakan bahwa masa SMP tak kalah indahnya dengan masa SMA. Bahkan mungkin lebih banyak warnanya kala itu.


Musim hujan tiba adalah saat dimana kami memilih yang terbaik dari dilema. Memilih menerobos hujan atau menunggu sampai reda. Banyak dari kami yang tidak memiliki cadangan baju sekolah, terlebih bila itu baju khusus, seperti batik sekolah. Bila hujannya tampak tak mau berkompromi, terpaksa kami pulang sambil ditemani hujan deras. Itu berarti keesokan paginya banyak murid yang pakaiannya beda-beda tak sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Lucu. Ini adalah salah satu bagaimana hujan membahagiakan kami. Ada satu lagi dilema yang harus kami hadapi, memilih menitipkan tas dan buku di sekolah atau membawanya pulang dengan resiko kehujanan. Enak bila membawa kantong kresek, tak perlu banyak berpikir. Tapi bila lupa membawa, kebanyakan dari kami menitipkan buku di sekolah, esok harinya kami ke sekolah dengan membawa buku sesuai jadwal hari itu di dalam kantong kresek. Lucu, seperti tak punya tas saja. Pulangnya kami membawa beban dua kali lipat, buku jadwal hari ini dan kemarin. Ini termasuk salah satu cara hujan membahagiakan kami. Tak ada raut sesal di wajah kami telah dipilih Tuhan untuk bersekolah di sini.


Sepulang sekolah kami dapat memandangi hujan yang jatuh di kejauhan tampak seperti tirai. Indah sekali. Biasanya kami memelankan kayuhan untuk menikmati pemandangan tersebut. Ketika tirai hujan mendekat, kami bergegas mengayuh sembari bertaruh siapa yang menjadi tercepat. Aku selalu menjadi yang terbelakang dan harus rela sedikit basah didera rintik hujan. Walau harus basah, tapi semua itu membahagiakan dan tak pernah membosankan, bahkan membuat kami menunggu saat-saat seperti itu.


Pernah suatu hari, saat masih duduk ditahun pertama, kami pulang dari LDKMS disambut hujan yang sangat deras. Sekolah sudah sepi dan hujan tak kunjung memberi pertanda akan reda. Setiap sudut sekolah mulai tampak menyeramkan dan hanya sisa kami bertiga. Terpaksa kami menerobos hujan yang turun bersama angin dan kilat. Kayuhan sepeda berat sekali karena arah anginnya berlawanan. Di kejauhan kilat menghantam tanah diikuti guntur menggelegar. Lama-kelamaan kilat terasa mendekat, dan kanan-kiri jalan hanyalah sawah, posisi kami tepat berada ditengah. Perasaan takut luar biasa membuat kami mengayuh sepeda dengan kencang sekali, bahkan ketika sudah berada di pemukiman, kami masih mengayuh dengan kencang karena takut akan kilat yang selama perjalanan menyambar kanan-kiri. Beruntung kami sampai di rumah tak kurang suatu apapun.


Berangkat sekolah pun tak kalah serunya kala musim hujan tiba. Hujan yang turun semalam, menghadirkan pemandangan indah sepanjang mata memandang. Gunung Kelud tampak gagah dan sangat indah, begitu juga dengan pegunungan entah apa namanya yang berada di sisi lain. Dan bila cukup beruntung kami dapat menikmati beraneka jenis burung terbang menjelajahi langit pagi. Tak pernah terpikir sekalipun bagi kami tentang berwisata, karena di daerah kami sendiri telah tersedia wisata yang tak ada habisnya.


Kini setelah waktu berlalu bertahun-tahun lalu. Sesekali aku masih menyempatkan diri berjalan-jalan di rute perjalanan menuju sekolah. Kenangan demi kenangan hadir kembali membuatku tersenyum sendiri. Udaranya masih sama, pemandangannya masih sama, hanya aktor-aktornya yang dulu telah tumbuh dewasa, dan sekarang entah dimana. Semoga dimanapun kami terpisah, hujan akan menyertai kebahagiaan kami.

 
Masa SMA banyak hujan yang aku lewatkan begitu saja. Dapat dihitung dengan jari hujan yang melekatkan kenangan. Mungkin karena waktu itu terlalu sibuk jatuh cinta. Tapi, salah satu cinta kumiliki, aku dapatkan dibawah derasnya hujan. Suasananya romantis, hanya sayang tempatnya sama sekali tak romantis, dan seringkali membuatku dan mantan tertawa ketika mengingat dimana kami mengikat hubungan.


Mungkin sebenarnya banyak cerita tentang musim hujan kala SMA, hanya saja kenangannya telah bertumpuk dengan kenangan yang lain, sehingga butuh waktu bagiku untuk mencari. Bila sempat, akan aku ceritakan kenangan-kenangan yang telah aku temukan.


Tuhan begitu baik, takdir mengantarkanku kembali kepada hujan, bahkan kali ini sangat istimewa, aku dibawa ke kota hujan. Terdengar sangat indah namun juga cukup asing bagiku. Tapi aku lebih memilih untuk memikirkan sisi baiknya saja, tinggal di daerah yang hujannya biasa saja sudah bisa membuat bahagia, apalagi bila tinggal di kota hujan. KOTA HUJAN. Pasti hujan sangat sering mampir ke kota itu sampai-sampai orang memberinya nama demikian.


Kota Hujan memang sangat nyaman untuk ditinggali, walaupun mungkin bagi orang-orang kota hujan mereka sudah bosan. Tapi bagi orang asing sepertiku yang menyukai hujan, ini seperti surga, dan bulir-bulir bahagia lebih sering turun dari langit.


Minggu pertama datang, hujan menyambut dengan suka cita. Satu hal yang membuatku bahagia kala pertama tinggal, walaupun hujan, orang-orang tetap beraktivitas, ini membuatku merasa tidak sendirian menikmati hujan. Ya, walaupun tentu saja bila mereka berhenti beraktivitas, lalu kapan mereka akan menyelesaikan urusannya, kan memang hujan sudah menjadi hal yang sangat biasa turun di kota ini.


Di kota ini, mudah sekali mendapatkan inspirasi. Di setiap sudutnya bisa ditemui. Tak perlu harus jatuh cinta terlebih dahulu untuk membuat prosa asmara, tak perlu disakiti terlebih dahulu untuk membuat prosa menyayat hati. Di rinai-rinai air hujan bisa bebas dipilih rasa apa yang ingin hinggap di hati, kangen? cinta? sedih? Apa saja ada, dan itu bisa membuat karya demi karya bisa lahir dengan rupawan.


Di beberapa tulisanku telah kuceritakan bagaimana kota hujan telah mengajarkanku tentang hidup. Mengejar impian yang akhirnya kudapatkan. Jatuh cinta yang akhirnya harus aku relakan. Persahabatan yang selalu bertukar nasehat-nasehat baik. Setiap bagian perjalanan selama di kota ini, yang walaupun sebentar, telah mengajarkan kedewasaan yang mungkin tak akan pernah aku dapat bila aku memilih kota yang lain untuk mengenyam pendidikan selanjutnya selepas SMA.


Kota ini telah membuatku mulai matang sebagai seseorang meskipun di sana-sini masih banyak kekurangan. Milyaran terimakasih aku persembahkan kepada siapapun dan apapun yang membantuku tumbuh selama di sana. Semoga kita hidup dengan baik selamanya.


Tak perlu lebih banyak aku ceritakan tentang kota hujan, karena di banyak tulisan aku telah menceritakannya. Lagipula tulisan ini masih cukup panjang lagi.



you are what you see

Hujan deras membujuk takdir untuk mempertemukan kawan lama ketika berteduh menghindari basah.


Hai! Lama tak bertemu!” Sapa lelaki setinggi anak paskibra, berambut lurus, dan berwajah tirus, mengenakan kemeja biru, kepada lelaki lain di sebelahnya.


Hai! Apa kabar?” Jawab lelaki yang tingginya hanya sebatas kuping lelaki satunya.


Baik … baik. Kamu kemana saja selama ini menghilang begitu saja?”


Haha, nggak kemana-mana sih.”


Setelah itu obrolan mengalir seperti mendung yang sejak lama ingin menumpahkan air ke tanah.Hingga salah satu dari mereka membicarakan hal yang sejak lama dihindari untuk tidak dibicarakan.


Masih suka dengannya?”


He… he…, berapa kali aku harus meyakinkanmu, juga lainnya?” jawabnya malas.


Habis, tak pernah ada kabar. Tak pernah muncul pula.”


Mungkin lebih baik begitu … mungkin itu yang terbaik.”


Hah? Maksudnya?”


Yaa … jadi kehidupannya tak terusik lagi olehku?”


Aku masih bingung ….”


Lelaki yang lebih pendek memandang lelaki satunya sambil tersenyum. Matanya seperti sedang menerawang, berusaha mengumpulkan kata demi kata yang seolah harus disusun dengan baik.


Kamu tahu, bila ada aku, dia selalu merasa tidak nyaman. Bukan hanya ketika kita ada dalam satu tempat, tapi mendengar kabarku saja ia merasa terusik. Sayangnya ia tak cukup dewasa untuk tidak menceritakan kekesalannya itu kepada banyak orang.”


Tapi, seharusnya itu bukan menjadi alasanmu untuk menghilang. Anak-anak banyak yang menanyakan kabarmu.”


Aku rasa keputusanku sudah tepat. Banyak sekali nasehat baik yang telah ia berikan padaku, ia juga telah berbuat baik ke banyak orang, dan orang-orang memang telah mengenalnya sebagai pribadi yang baik. Aku tak mau hanya karena ia merasa aku masih disekitarnya, kemudian hal itu dijadikannya alasan untuk berkata tentang hal-hal tidak baik kepada orang lain, dan akhirnya berujung kekecewaan kepada orang-orang yang telah menilainya baik. Aku tak mau pribadi baiknya dinilai buruk oleh orang lain hanya karena aku. Kita putus juga karena kesalahanku, dan bila penilaian buruk orang lain kepadanya terjadi juga karena aku, itu sama saja dengan aku menjatuhkannya lalu menimpakan tangga kepadanya.”


Apa kamu tidak merasakan kehilangan kita?”


Tentu saja aku merasakannya, rasa kehilangan yang begitu dalam. Aku harus kehilangan dia, aku juga harus rela kehilangan kalian dengan menghilang dari jalian, lalu memulai kisah yang baru. Terlebih aku harus rapi menyimpan kisahku yang baru.”


Apa semua usahamu berhasil? Beberapa dari kita masih sering membaca tulisanmu di media sosial.”


Tidak. Awalnya tak berhasil, hal-hal baik yang aku ceritakan dianggap sebagai kebohongan belaka. Hingga aku menyerah. Orang lain, termasuk dia masih menganggap aku sebagai orang yang sama, meskipun aku dan kalian semua telah tumbuh seiring berjalannya waktu.”


Tentu saja orang lain menganggapmu sama, selama ini apa yang kamu tulis juga seperti kamu yang dulu bukan?”


He… he… miris memang. Ketika aku berbicara tentang aku yang telah tumbuh, tak ada yang percaya, dan orang lain masih menganggapku sama. Mereka lebih percaya dengan cerita bahwa aku masih orang yang sama. Dan itu membuat mereka bahagia. Karena itu aku menurutinya, membuat mereka bahagia sesuai dengan persepsi yang mereka punya.”


Berarti selama ini kamu melapisi kehidupan nyatamu dengan sandiwara?”


Lelaki yang lebih kecil mengangguk.


Lalu, apakah kamu akan meneruskan hidup dengan cara seperti itu?”


Tidak…” jawabnya lirih.


Kamu lelah?”


Tidak, aku sebenarnya masih kuat untuk meneruskannya. Hanya saja aku sering tersesat, aku lebih menikmati dunia sandiwara daripada dunia nyata. Aku takut tak tahu arah jalan pulang, dan lupa siapa diriku sebenarnya.”


Apa yang ingin kamu lakukan setelah ini?”


Tentu saja aku akan menyudahi sandiwara, dan membiarkan orang lain melihat kehidupanku yang sebenarnya. Selama ini aku terlalu memikirkan perasaan orang lain kepadaku, sehingga aku sibuk membuat mereka bahagia dengan apa yang diinginkan, sampai aku lupa dengan perasaanku sendiri. Kali ini terserah mereka akan berkata apa, hanya diriku sendiri yang pantas menahkodai kehidupanku.”


Kau tahu kawan, kau layak bahagia dengan hidupmu sendiri. Menuruti mereka yang menganggapmu tak pernah tumbuh sama saja dengan kamu menjalankan kehidupan orang lain. Bila mereka masih menilaimu busuk, biarlah. Biarkan mereka membusuk bersama pikirannya.”


Lelaki yang lebih pendek itu mengangguk dengan airmata yang telah menggenang di pelupuk.


Berdirilah kawan, jalani hidupmu dengan baik. Kamu sudah berubah jauh lebih baik daripada terakhir kita bertemu. Dan kamu cukup dewasa untuk kehidupan.”


Lelaki yang lebih kecil berusaha merangkul lelaki yang lebih tinggi, namun tak bisa.


Kawan, aku adalah cermin, percuma saja kamu berusaha merangkulku. Tetapi kawan, aku akan selalu ada ketika kamu ingin menjadi pribadi yang lebih baik.”


Hujan sore itu mengantar kawan lama berbincang tentang hidup. Hujan sore itu kembali mengingatkan lelaki kecil itu untuk lebih sering bercermin lagi selain mendengar apa yang orang lain katakaa. Hujan sore itu sekali lagi membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik dengan mengingatkan kembali untuk kembali kepad cermin, tempat manusia menemukan dirinya sendiri.

let it flow

Dan bila harus, biarkanlah rinai hujan turun membelai tanah bersama kenangan kita akan kawan lama, mantan kekasih ataupun kesalahan kita. 

Terimakasih hujan

NB: Selagi hujan berdoalah untuk hal baik, karena dalam rinainya ada kasih sayang Tuhan yang tak terbatas.