Selasa, 30 April 2013

Kadaluarsa


kadaluarsa itu pasti

Ada yang mendapatkan kekasih baru, ketika seseorang di tempat yang lain setia menunggu kedatangannya.

Ada yang setia menunggu ketika seseorang yang ditunggu mendapatkan pasangan hidup yang bukan ia.

Ada yang sama-sama menunggu sampai tak tahu waktu, kemudian terjebak dalam kenyataan besar tentang lamanya waktu yang telah dihabiskan untuk menunggu.

Sampai kapan kamu harus menunggu?
...

Farmasis adalah profesi yang berwenang untuk menentukan masa kadaluarsa makanan, obat maupun kosmetik. Sebagai farmasis, sudah selayaknya juga untuk memiliki kewenangan menentukan masa kadaluarsa sebuah penantian. Mulai ngaco memang, tapi ... ah sudahlah ....

Sadar atau tidak setiap penantian memiliki masa kadaluarsanya, hal itu karena penantian tak lepas dari faktor yang berlekatan erat dengan perasaan. Panjang – pendeknya masa kadaluarsa dipengaruhi oleh pengawet, dimana pengawet ini dibagi menjadi dua golongan; pengawet alami dan buatan.

Pengawet alami adalah cinta, perasaan yang dipelihara, pengawet jenis ini adalah pengawet terbaik bagi penantian, karena dapat menjauhkan masa kadaluarsa dan memiliki efek samping positif, menguatkan si pemelihara rasa dalam hidupnya. Berbeda dengan pengawet alami pada makanan yang seringkali hanya membuat makanan bertahan sebentar.

Pengawet buatan penantian adalah lingkungan, pengawet ini tidak stabil, rentan mengalami kontaminasi sehingga efeknya tidak sesuai dengan tujuan semula. Sensitifitas masing-masing pemelihara rasa yang menentukan seberapa mudahnya keawetan penantian terkontaminasi. Karena individu yang terlalu sensitif dapat mudah terpengaruh bila sebuah lingkungan berubah, sehingga efek dari pengawetnya pun turut serta berubah.

Masa kadaluarsa penting diketahui agar konsumen terjamin keamanannya dalam penggunaan makanan, obat maupun kosmetik. Kadaluarsa adalah masa dimana produsen tak bisa lagi menjamin keamanan dari produksinya. Setelah melewati masa kadaluarsa, bisa saja produksi tersebut tidak lagi memiliki efek seperti yang diinginkan atau yang paling ditakutkan adalah menimbulkan keracunan.

Sebagai pemelihara rasa, kamu sebaiknya mengetahui apakah penantianmu itu telah memasuki masa kadaluarsa atau belum. Bisa jadi penantianmu itu tidak lagi efektif, dan bila diteruskan akan berakibat buruk kepada hatimu. Kamu harus memahami dengan baik apakah penantianmu itu masih membuat ia memercayakan perasaan dan masa depannya dalam genggaman tanggung jawabmu? Ataukah masihkah kebahagiannya dalah dirimu? Bila kamu meragu itu berarti kamu telah memasuki masa kadaluarsa dalam penantian. Lebih baik jangan kamu teruskan, karena hal itu sangat mungkin akan bersifat meracuni hatimu. Kadaluarsa penantianmu akan membuatmu nyaman dengan kesendirian yang kamu ratapi sendiri, membohongimu dengan keyakinan palsu bahwa ia masih menginginkanmu, dan kamu akan menyangkal sejadi-jadinya bahwa kenyataan tersebut benar.

Dalam prosesnya, kadaluarsa dihitung melalui kecepatan reaksi suatu makanan, obat, kosmetik atau zat lain berubah menjadi senyawa lain yang tidak sesuai dengan tujuan penggunaan. Masa kadaluarsa penantian dihitung dari minimal pengorbanan yang dilakukan apakah masih memiliki keefektivan dalam masa penantian tersebut. Bijaklah dalam menghitung masa kadaluarsa tersebut, karena mereka yang kemudian candu dengan penantian masa lalu, berarti telah mengalami gejala keracunan yang disebabkan oleh masa kadaluarsa penantian.

Hal ini juga berlaku bagi hubungan yang telah lama membuat satu sama lain tak nyaman, namun selalu tak tahu bagaimana untuk mengakhiri. Sayang karena waktu yang telah dijalani selama ini, namun khawatir dengan masa depan yang segera didatangi. Lepaskanlah, jangan biarkan hati tersakiti karena racun masa kadaluarsa. 

Move on, waktu berputar tanpa mau tahu kita siap akan masa depan atau tidak. Kamu akan digerus tanpa ampun oleh hari kemarin bila kamu masih tetap setia berpegangan padanya. Lihat ke depan, dimana kenyataan dibunyikan untuk menemani nyanyian kebahagiaan.

Demikianlah, saya sebagai calon farmasis dalam menentukan masa kadaluarsa, dan walaupun ngaco, semoga bermanfaat.

Selamat menghitung masa kadaluarsa dengan tepat.

Dan, selamat hidup dengan baik.

:p

Tak Ingin Separuh

 




“Bagus nggak?” Nina menyodorkan sketsa yang dibuatnya sejak awal duduk di kafe.

Radit menoleh, mengamati sketsa yang disodorkan Nina sebentar, kemudian mengangguk pelan. Ia kembali ke game yang dimainkannya sejak awal duduk.

“Bagus nggak?”

“Iya...”

“Bagus nggak?” Nina memberi penekanan dalam perkataannya.

Radit kembali menoleh, ia menggariskan senyum di wajah, “Iya, bagus....” Lalu ia kembali ke game.

Nina yang tidak puas dengan jawaban Radit mengambil game dengan paksa. Radit mengambil sketsa Nina dan spidol hitam di meja.

Radit diam beberapa saat mengamati sketsa Nina dengan serius. “Emh, udah bagus. Lebih bagus lagi kalo warnanya diganti, komposisinya kurang ngena soalnya. Mungkin bisa diganti biru agak gelap atau biru yang lebih muda sepertinya bagus. Biru seperti spidol itu.” Radit menunjuk ke sekumpulan spidol di meja.

“Makasih....” kata Nina, sembari mengembalikan game yang ia sita.

Nina dan Radit adalah sahabat lama. Malam sabtu adalah agenda rutin mereka berdua untuk bertemu, bertukar cerita setelah disibukkan dengan kuliah dan kerja masing-masing. Agenda wajib itu dapat ditambah dengan malam minggu bila Radit tidak sedang menjalin hubungan dengan perempuan.

“Selesai!!
 
Mendengar itu, Radit langsung mematikan game dan meletakkan di meja. Ia meminum pesanannya dan membuat posisi duduk senyaman mungkin untuk bercerita.

“Jadi ada cerita apa nih?” tanya Nina.

“Kayaknya aku sama Gea mau putus aja deh.” Radit berkata to the point.

Nina mengerutkan dahi, membuat kedua alis matanya yang indah bertemu tepat di atas hidung mancungnya.

Tanpa perlu ada kalimat tanya dari Nina lagi, Radit meneruskan ceritanya. “Yah, gimana ya, akhir-akhir ini kerjaanku lagi banyak banget, Gea dikampus juga banyak kegiatan, kita jarang banget ketemu. Ngerasa jauh aja.”

“Tapi kan cuma buat sementara waktu?”

“Iya, tapi dia juga sering banget marah. Katanya aku cuek, cari-cari alasan dan banyak lagi. Capek kalo mesti nurutin dia terus.”

Kemudian cerita Radit tentang Gea berlangsung cukup lama, beberapa kali Nina memberi saran agar tetap melanjutkan hubungan, tapi sepertinya Radit sudah mantap dengan pilihannya untuk mengakhiri hubungan.

“Yah, mau gimana lagi, kayaknya kamu emang belum jodoh buat jalanin hubungan buat waktu yang lama.” ledek Nina yang disambut Radit dengan tawa. “Paling lama juga nggak sampe setahun. Sama siapa dulu itu yang duta pariwisata, yang sekampus sama aku?”

“Rani.”

“Iya, Rani. Aku masih sering loh ketemu dia dikampus, mau titip salam? Ha... ha....”

“Apaan ah. Kamu sendiri gimana? Udah ada yang deketin?” tanya Radit to the point.

“Ada sih, tapi yah ... kamu tahu kan aku gimana.”

“Kenapa sih kamu sekekeuh itu megang prinsip itu? Cowok-cowok yang deketin kamu kurang apalagi coba.”

“Mungkin kurang sabar nunggu. Haha....”

Radit mengambil kentang goreng, memasukkannya ke dalam mulut. “Mau ditunggu sampe kapan lagi?”

“Sampe aku siap.”

“Kenapa sih harus nunggu sampe kamu siap? Kita kan masih muda, lagian ada juga kok dari mereka yang beneran suka sama kamu bukan karena kamu ada apanya.”

“Karena masa lalu udah cukup ngasih aku pelajaran, lagian kalo emang beneran suka harusnya mereka menghargai prinsipku dong, cinta kan memberi ruang bukan mengekang.”

“Kamu masih sakit hati sama Dio?”

Nina menggelengkan kepala sambil meminum pesanannya. “Sakit hati dan orang yang belajar itu beda.”

“Apa bedanya?”

“Sakit hati itu, masih suka ingat-ingat kesalahan, terus sedih, nyesel dulu pernah terjadi. Kalo aku nggak gitu, di kampus hampir tiap hari ketemu, kadang makan bareng di kantin. Udah nggak ada sakit hati.”

“Kalo yang belajar?”

“Yah, ambil sisi baik dari yang udah terjadi, simpan baik-baik, jadiin antisipasi buat masa depan. Kesalahan masa lalu udah dimaafin dengan baik, tapi bukan berarti aku bisa lupa gitu aja.”

“Trauma itu nggak baik, menilai semua orang sama dengan mantan kamu berarti. Kan nggak semua laki-laki sama.”

“Kadang aku ngerasa ingin sekali menjalin hubungan lagi seperti yang lain, tapi kemudian aku berpikir, kenapa sih harus susah-susah menjalin hubungan kalau akhirnya pisah juga?”
“Akhir segala sesuatu kan ngga ada yang tahu, Nin.”

“Tapi setiap cowok yang pdkt, kalo aku tanya tentang nikah, jawabannya selalu ah, itu kan masih jauh. Ah, kita kan masih muda. Ah, senang-senang dulu lah. Aku nggak bisa main-main kayak gitu.”

“Tapi mereka kan bener.”

“Ah, pikiran kamu sama juga ternyata....”

“Nggak juga sih, kalo aku juga mikir kayak gitu, menurut kamu aku cari kerjaan, cari pengalaman sejak dulu buat apa. Memperbaiki diri itu kan usaha untuk memperbaiki jodoh juga. Memperbaiki diri sejak dini itu usaha untuk mendapat jodoh yang terbaik. Bagiku, nikah itu ibadah. Sejauh apapun jarak kita sekarang dengan standard umur nikah, dan juga karena sudah dewasa, sedikit atau banyak harus ada tujuan hidup yang menuju kesana.” Jelas Radit panjang lebar. “Masih mau tetep sendiri?”

“Yah, mungkin saat ini aku belum ketemu aja sama cowok yang nggak mandang dari segi fisik atau apa yang aku punya. Nggak salah sebenernya kalau aku punya gambaran cowok yang bakal nemanin hidupku itu mesti lihat juga aku sebenarnya kayak gimana. Istilahnya mencintai dengan utuh.”

“Semoga cepat ketemu lah, kasian cantik-cantik tapi jomblo lama ... ha ... ha ... ha ....”

Rina menanggapi ledekan sahabatnya itu dengan tawa kecil.
...





Apa yang dikatakan Nina terakhir kali dalam pembicaraan tersebut telah menghantui saya beberapa waktu ini. Apa boleh kita mencintai sesorang dari segi fisiknya? Terkesan klise, tapi nggak munafik seringkali saya mengagumi seseorang lewat penampilannya terlebih dahulu. Pertanyaan itu berdiam cukup lama sampai saya menemukan tulisan manis seorang perempuan bermata belo yang mengutip sebuah film.


Daddy: Kenapa kamu terus mengikutinya? Kenapa kamu begitu menyukainya?

Daughter: Entahlah, ada sesuatu di matanya ... mereka bersinar begitu saja di mataku.

Daddy: Lalu bagaimana dengan dirinya?

Daughter: Maksudnya?

Daddy: Kamu tidak boleh menilai sesuatu setengah-setengah, sayang.

Daughter: Maksudnya, Yah?

Daddy: Kamu tahu sayang ... sapi hanyalah sapi. Padang rumput hanyalah rumput. Bunga hanyalah bunga. Sinar matahari yang jatuh di sela-sela pohon, hanyalah pantulan cahaya. Tapi saat kamu melihatnya bersamaan, they can be a magic. Saat kamu memutuskan untuk menyukai sesuatu atau seseorang, kmau harus melihatnya secara utuh, bukan separuh-paruh. Mata , hanyalah mata sayang. Belum tentu setelah kamu melihat semua bagian dari dirinya, dia akan tetap sama bersinarnya di matamu.

Daughter: Aku akan mengingatnya baik-baik.

*percakapan ditulis seorang perempuan bermata belo yang terinspirasi oleh fil Flipped*


Seringkali saya terjebak dalam pandangan duniawi, melihat seseorang dari fisiknya, melupakan bagaimana hatinya. Saya lupa, di luar sana banyak kosmetik dengan harga mulai dari murah hingga hanya dapat dibeli oleh kalangan tertentu, yang dapat membuat seseorang menjadi lebih cantik atau tampan.


Ada hati yang terlewatkan dari penglihatan. Pribadi seseorang belum tentu dapat dipastikan dari bagaimana kecantikan seseorang bermula. Telah banyak contohnya mereka yang fisiknya mendapatkan nilai sembilan, tetapi perilakunya jauh dibawah angka rata-rata, pun sebaliknya.


Seringkali saya mengatakan, “Tampan kalau nggak bisa bikin nyaman ya percuma ....” Tapi saya  lupa kata-kata saya sendiri.


Kenyamanan itu seringkali saya lupakan, mereka yang dari segi fisik menarik tak selamanya akan berbanding lurus dalam hal membuat saya nyaman. Kekaguman akan fisik yang ia miliki bisa saja membutakan hati untuk merasai kepribadian dan hal lain yang ia punya.


Ia yang sempurna dimatamu, belum tentu sempurna melengkapi kelemahanmu” – gadis bermata belo.


Sebagaimana saya yang tidak ingin ditinggalkan karena kelemahan, dan juga tidak ingin disayangi karena sejumput kelebihan, sudah sebaiknya saya berhenti menilai seseorang dari fisiknya semata. Karena di kemudian hari, yang sering saya dapati, kesempurnaan fisik yang saya kagumi di awal hanya menjadi kehampaan yang menyesakkan di akhir. Seperti kata percakapan diatas, Belum tentu setelah kamu melihat semua bagian dari dirinya, dia akan tetap sama bersinarnya di matamu.


Jatuh cinta karena saya telah memastikan bahwa saya menyayanginya dengan utuh bukan separuh-separuh adalah hal yang perlu saya putuskan sebelum mengungkapkan rasa. Sebagaimana saya sadar jatuh cinta tak selalu baik bila mudah terjadi, karena seringkali ia akan menghilang dengan cepat setelah kekurangan muncul ke permukaan.


Sebagaimana saya yang menginginkan untuk diinginkan secara utuh bukan separuh-separuh, karena bagaimanapun juga saya adalah sebuah paket dimana di dalamnya berisikan kelebihan-kekurangan, kekuatan-kelemahan, serta kebaikan dan keburukan. Mulai detik ini saya akan belajar untuk menginginkanmu dengan utuh. Baik kekasih, sahabat atau siapa saja yang saya pilih untuk menjadi kotak cerita.


Mungkin selama ini saya lupa segala sesuatu, termasuk fisik hanyalah titipan, dan Tuhan yang memiliki segalanya saja melihat manusia tidak berdasarkan fisik semata. Mungkin sebuah ujian pendewasaan bagi saya, bahwa ada yang jauh lebih penting dari kecantikan atau ketampanan, ia tak akan terlihat oleh mata, karena apa yang terlihat oleh mata kebanyakan hanyalah duniawi semata, dan itu juga bentuk ujian dalam hidup.




Hidup tak sekedar masalah fisik, karena lebih dari itu masih banyak hal yang jauh lebih asyik.


Selamat melihat seseorang dengan lebih baik.
Dan, selamat hidup dengan baik.


Kesederhanaan Tuhan dalam Telur Ceplok

Nyam - nyam


Kapan terakhir kali kamu mendapati sarapan sepiring nasi putih hangat baru saja matang, sebutir telur ceplok dengan tetesan kecap diatasnya? Kemarin? Seminggu lalu? Atau ketika masih sekolah dulu?

Menu yang membuatmu gembira sedari pagi, siap menghadapi tantangan apapun yang menghadang harimu. Menu yang mengingatkanmu akan rumah, sejauh dan selama apapun kamu pergi, kerinduanmu akan berpulang kepada sepiring nasi putih berkecap dengan sebutir telur ceplok .

Kapan terakhir kali kamu makan siang dengan seporsi nasi putih hangat disiram sayur asem, tempe hangat sebagai lauknya dan sambel terasi sebagi teman paling setia? Kemarin? Sebulan lalu? Ataukah sebelum merantau dulu? 

Menu yang membuat kantukmu segera terusir, degradasi DNA menjadi tak lagi berarti, dan semangatmu melompat-lompat bak anak kecil di hari pertama sekolahnya. Menu yang mengingatkanmu akan kecil-besar petualanganmu tak lepas dari resiko yang mengajarimu tentang berproses.

Betapa sederhananya kedua menu itu, namun berisikan kekayaan nikmat dalam setiap kunyahan. Manisnya kecap berduet dengan gurihnya telor ceplok, segarnya sayur asem dipadu dengan sambal terasi yang semakin memacu rasa menari eksotis di lidah.

Kekayaan hidup bak kedua menu tersebut, seringkali tersimpan rapi dalam hal-hal sederhana, jauh dari kemewahan. Tuhan Yang Maha Kaya, menyimpan sejumput kekayaanNya dalam telor ceplok dan sambal terasi.

Tuhan juga menyimpan kekayaanNya dalam kesederhanaan lainnya. Sebanyak apapun kamu mengeluarkan uang untuk bermacam makanan yang selain dapat memuaskan nafsu lidah juga dapat menjaga status sosialmu, makanan yang terbaik untuk tubuhmu adalah sayur-mayur, buah-buahan, tanpa MSG dan berbagai bahan kimia sintetis lainnya. Sesederhana itu.

Bermacam minuman berasa dan berwarna yang kamu konsumsi, tetap saja sudah menjadi kodrat manusia untuk kembali ke kesederhanaan air putih. Menghilangkan dahaga sekaligus menyehatkan tubuhmu.
Kekayaan Tuhan selalu mengelilingimu, udara yang kamu hirup telah menyederhanakanmu untuk hidup. Manusia akan mati tanpa udara hanya dalam beberapa menit saja. Udara yang begitu sederhana, bahkan ia malu untuk dilihat olehmu, bersembunyi di ketiadaan warna, ia telah memberi kekayaan bagi kelangsungan hidup.

Menyelami lautan, tak memungkinkan bagimu untuk membawa bermacam-macam pernik untuk mempercantik diri, cukup tabung oksigen dan peralatan selam. Mendaki gunung pun begitu, hanya membawa perlengkapan yang dibutuhkan agar tak memberatkan perjalanan mencapai puncak. Bahkan di Semeru, setahu saya, adalah keharusan meninggalkan sementara segala perlengkapan yang dibawa begitu sampai di bibir puncak. Dalam kesederhanaan seperti itu kamu menikmati kekayaan Tuhan yang tak ternilai harganya.

Tuhan begitu sederhana dalam kekayaannya. Untuk menikmati kekayaanNya juga dibutuhkan kesederhanaan.

Dan sederhana bagimu bila menginginkan menjadi kaya, maka jalan terbaik dan tercepat adalah mensyukuri segala yang telah kamu miliki.

Kekayaan sejati adalah seberapa indah caramu menikmati kesederhanaan hidup.
...

Sederhana selalu menjadi tolok ukur yang eksklusif, rumah sederhana misalnya, selalu mengesankan rumah yang asri, nyaman untuk ditinggali. Atau puisi “Aku Mencintaimu dengan Sederhana”, menggambarkan betapa mahal dan mewahnya harga sebuah kesederhanaan itu.

Tuhan pun juga meminta disembah dengan cara-cara yang sederhana. Di depan Ka’bah, setiap pelaku ibadah hanya mengenakan pakaian Ihram yang berupa lembaran kain putih. Tuhan tidak meminta macam-macam, tidak meminta untuk berlomba-lomba menyembahNya dengan pakaian terbaik beserta aksesoris kelas selebritis Hollywood. Karena sulit bagi sebagian manusia untuk meninggalkan duniawi yang selama ini susah payah ia kumpulkan dan melahirkan status sosial baginya, Tuhan menguji melalui kesederhanaan tersebut. 

Tuhan memandang tiap manusia sama, yang membedakan adalah keimanannya, dan yang mampu melihat keimanan seseorang hanyalah Tuhan semata. Dengan lembaran kain putih itu, Tuhan mengajarkan tiada bedanya antar manusia darimanapun ia berasal, apapun warna kulit dan rambutnya. Seolah Tuhan berkata, “Beginilah Aku melihatmu, manusia.”

Kemewahan dan keglamouran hidup seringkali menguliti kesederhanaan kita. Menghilangkan rasa cukup, berganti dengan rasa tak puas demi status sosial. Berujung kepada kita yang melihat orang lain tak lagi sebagai individu, melainkan sebagai sebuah objek, melihat dari apa yang ia pakai. Segala macam yang melekat di tubuhnya menjadi penilaian “siapa dia”, merk yang dipakai, dimana belinya, warna kuku, berapa karat perhiasannya, perawatan kulit dan rambut dimana, semuanya menguapkan rasa manusiawi kita akan kesederhanaan hidup.

“Ya Allah, letakkan dunia ditanganku jangan letakkan dihatiku.” – Abu Bakar as sidiq

Bagi saya, ada pengertian lain dari sederhana yaitu cukup dan seimbang. Cukup dengan yang dimiliki, dan seimbang dalam hidup. Membagi waktu untuk keluarga, sahabat, kerjaan dan yang terkasih adalah sebuah keseimbangan hidup, membuat hidup kita menjadi sederhana. Dan keseimbangan hidup lainnya dalam berbagai aspek, kesehatan, ekonomi, pendidikan, dsb.

Hidup sederhana bukan berarti tidak boleh kaya. Saya pernah mendengar seseorang berkata, “Kaya itu wajib, karena miskin itu dekat dengan dosa.”, namun ini tergantung dari masing-masing individu dan bagaimana cara memandang hidup, karena ada orang-orang yang tidak kaya namun tetap bersahaja.

Ya Allah, hidupkan aku sebagai orang miskin, dan matikan aku juga sebagai orang miskin, serta kumpulkan aku pada hari kiamat bersama-sama orang-orang miskin.” - HR. al-Tirmidzi

Bukan berarti kita harus mati dalam keadaan tak memiliki apa-apa untuk diwariskan kepada keluarga, tetapi miskin dalam artian kemiskinan diri akan nafsu duniawi. Karena setiap dari kita lahir dalam keadaan suci, seringkali duniawi hanya mengotori perjalanan hidup, memberatkan perhitungan amalan buruk di hari akhir.

Kita lahir ke dunia dengan sederhana, telanjang dan berbalur darah, dan kita akan meninggalkan dunia dengan sederhana pula, telanjang dan berbalut kafan.
...

Kehidupan itu sederhana, seperti yang terucap dalam pepatah Jawa, “Wong urip iku mung mampir ngombe”.
Sesederhana itu, dan Tuhan menyimpan kekayaanNya dengan rapi dalam kesederhanaan telur ceplok buatan ibu yang selalu membuat kerinduan saya berpulang ke rumah.

Selamat hidup dengan baik.

Rabu, 03 April 2013

Melepasmu





Di bawah taburan gemintang, dua anak manusia bernostalgia tentang cerita lama.

“Kenapa kamu pergi tiba-tiba, tanpa sepatah katapun terucap untuk pamit?” tanya Rani. Matanya menatap wajah Rama lekat-lekat, menganalisa seorang lelaki yang ia kenal sejak lama.

“Hemh?” Rama menoleh ke Rani, meminta pertanyaannya diulang.

“Kenapa kamu pergi?”

“Aku tidak kemana-mana, aku di sini saja?” jawabnya singkat. Ia menengadahkan wajah kembali, memandangi gemintang kesayangannya.

“Kamu tiba-tiba menghilang, nggak bisa dihubungi, nggak bisa ditemui, bahkan kamu nggak pernah terlihat di kampus, dua bulan lamanya.”

“Aku ikut student exchange ....”

“Dan nggak bilang ke aku apapun tentang itu sebelumnya!” Rani memotong ketus.

Rama diam, tetap memandangi langit.

Kalimat yang ditunggu Rani tak kunjung keluar. Kesabarannya mulai memudar, ia merasa perlu untuk menjelaskan bagaimana perasaannya. “Kamu tahu bagaimana rasanya ketika kamu mulai bergantung kepada seseorang, lalu tiba-tiba orang itu menghilang?”

Rama hanya membalas dengan  sebuah anggukan, matanya masih tak lepas memandangi langit.

“Kamu tahu bagaimana rasanya ketika kamu membutuhkan orang yang bisa kamu andalkan selama beberapa waktu sebelumnya, kemudian orang itu tak pernah ada saat dibutuhkan?”

Rama kembali mengangguk, matanya melihat ke sudut langit yang lain.

“Kamu mengerti bagaimana rasanya  mencari orang yang membuatmu kehilangan, namun tak pernah sanggup menemukannya, bahkan sekedar kabarnya?”

Rama mengangguk untuk ketiga kalinya, matanya kini menatap purnama.

“Kamu mengerti bagaimana rasanya sebuah harapan tumbuh karena kebaikan seseorang yang bisa kamu andalkan?”

“Aku mengerti.” Kata Rama sambil mengangguk. “Bulannya cantik.” Tambah Rama, segaris senyum tertera diwajahnya.

Rani ikut memandang purnama. Setelah beberapa saat, muncul perasaan yang selama beberapa waktu ini mengganggunya. “Apa kamu memahami bagaimana rasanya sebuah harapan mati bahkan sebelum ia sanggup tumbuh?”

Rama mengalihkan pandangannya dari purnama ke wajah Rani. “Itu masalahnya, Ran.”

Rani bergegas memandang Rama dengan wajah serius.

“Aku mengerti kamu berharap, tapi aku tak pernah mengharapkan itu.”

“Maksud kamu?” kedua alis Rani beradu tepat di atas hidung.

“Aku datang kepadamu ketika aku membutuhkan seorang teman, dan kamu aku datangi ketika sedang berbenah sehabis kisah lama, sedang menuju kisah baru, mencari kekasih.”

“Apa itu salah?”

Rama menggeleng. “Hanya tidak tepat, Ran. Aku tidak sedang bersiap untuk memulai kisah kasih.”

“Apa itu yang lantas membuatmu meninggalkan aku?” mata Rani mulai berkaca-kaca.

“Harapan milikmulah yang membuatku merasa tidak nyaman.”

“Kenapa kamu menyalahkan harapan? Bukankah kamu pernah bilang harapan itu nyawa kehidupan?” Rani membalas dengan pertanyaan. Ia mengucapkan dengan cepat seolah sedang merapal mantra.

“Karena aku sudah bisa menebak kemana akhir cerita seperti ini, sudah berulangkali aku menemuinya. Aku tahu apa yang sebaiknya aku lakukan.”

“Pergi menghilang entah kemana tanpa sepatah katapun untuk pamit atau memberi kabar?” Rani kembali merapal mantra untuk kedua kalinya.

“Pamitpun tak akan pernah membuatmu siap membiarkanku pergi.”

Kini giliran Rani diam, ia tak kuasa menahan airmata. Karena malu airmatanya dapat dilihat Rama, Rani mengarahkan wajahnya ke purnama, membelakangi Rama.

“Bila dilanjutkan, kisah ini akan membuat harapanmu tumbuh besar, lalu memekarkan bunga. Aku yang sedari awal tak menyiapkan diri untuk cinta, takkan menanggapi, seharum apapun wanginya, seindah apapun bentuk dan warnanya.”

Rani mengusapkan punggung tangannya ke airmata yang telah sampai di pipi.

“Bunga yang mekar itu, takkan pernah dirawat dengan baik, karena aku, yang kamu inginkan untuk merawat, tak juga menginginkannya. Dengan pasti, perlahan-lahan bunga itu akan membusuk sia-sia.”

Rembulan tak lagi sanggup menghibur kesedihan Rani. Ia menundukkan wajah, isak tangisnya beradu dengan angin malam.

“Aku mengerti bagaimana rasa sakitnya ketika harapan telah tumbuh besar namun ternyata kenyataan tak pernah sejalan, rasa sakitnya tentu sangat besar dan dalam. Kamu tahu bagaimana nanti pendapatmu serta orang yang mengetahuinya tentang aku, yang menjadi alasan harapan itu tumbuh? Orang jahat yang memberi harapan kosong, tak pernah berniat untuk mewujudkannya, hanya bermain dengan rasa.”

Kata-demi kata yang Rama ucapkan  membuat airmata Rani mengalir semakin deras.

“Padahal aku tak sekalipun ingin bermain rasa, aku tak sedang mencari cinta. Sejak awal aku hanya ingin memilihmu sebagai seorang teman dekat, namun hatimu bersiap untuk jatuh cinta. Kedua hal itu berbeda jauh, dan sayang sekali kamu bersiap tidak untuk orang yang tepat.”

“Kenapa ... kenapa kamu memilih pergi?” tanya Rani dalam tangis. Suaranya bergetar dipaksakan.

“Aku harus memilih, sayang pilihan yang ada tetap tak bisa membuatmu terhindar dari luka. Tapi luka yang kamu rasa sekarang tak begitu besar, dapat diobati dalam waktu cepat. Aku juga tak bisa menghindari dari penilaian buruk yang keluar dari dirimu. Namun tak apa aku mendapat penilaian seperti itu, asal kamu terjaga. Tapi maaf aku tak bisa menjagamu dengan baik.”

Rani menegakkan badan, mengusap kedua pipinya dan kelopak matanya, menguatkan diri untuk menatap wajah Rama. “Apa sekarang kita bisa berteman?”

Rama memandang wajah Rani lekat-lekat. “Hatimu masih belum siap menerimaku sebagai teman, aku tak ingin harapan itu kembali tumbuh dalam waktu dekat. Beri waktu untuk hatimu meniadakanku dalam rasamu. Agar nanti bila kita bertemu kembali, kita tak akan melibatkan perasaan. Ketika bertemu kembali nanti, kita berdua akan bertukar cerita tentang perjalanan masing-masing dengan nyaman.”

Rani mengangguk pelan.

“Maafkan aku Ran, karena aku, kamu jadi terluka.”

“Nggak papa, ini akan mengajariku kedewasaan, dan mengajariku mawas diri, berhati-hati menitipkan rasa. Karena sekarang aku mengerti, tidak semua orang mau, sanggup  dan tepat untuk dititipi rasa.”

“Aku tak pernah menyangka, berteman bisa menjadi serumit ini. Aku merindukan masa kanak-kanak ketika semuanya sederhana.” kata Rama.

Mereka berdua memandang purnama dalam waktu yang lama, menjelajahi pikiran dan perasaan masing-masing. Hingga dingin angin malam memaksa mereka masuk ke dalam.

you and me