“Bagus nggak?”
Nina menyodorkan sketsa yang dibuatnya sejak awal duduk di kafe.
Radit menoleh,
mengamati sketsa yang disodorkan Nina sebentar, kemudian mengangguk
pelan. Ia kembali ke game yang dimainkannya sejak awal duduk.
“Bagus nggak?”
“Iya...”
“Bagus nggak?”
Nina memberi penekanan dalam perkataannya.
Radit kembali menoleh,
ia menggariskan senyum di wajah, “Iya, bagus....” Lalu ia kembali
ke game.
Nina yang tidak puas
dengan jawaban Radit mengambil game dengan paksa. Radit mengambil
sketsa Nina dan spidol hitam di meja.
Radit diam beberapa
saat mengamati sketsa Nina dengan serius. “Emh, udah bagus. Lebih
bagus lagi kalo warnanya diganti, komposisinya kurang ngena soalnya.
Mungkin bisa diganti biru agak gelap atau biru yang lebih muda
sepertinya bagus. Biru seperti spidol itu.” Radit menunjuk ke
sekumpulan spidol di meja.
“Makasih....” kata
Nina, sembari mengembalikan game yang ia sita.
Nina dan Radit adalah
sahabat lama. Malam sabtu adalah agenda rutin mereka berdua untuk
bertemu, bertukar cerita setelah disibukkan dengan kuliah dan kerja
masing-masing. Agenda wajib itu dapat ditambah dengan malam minggu
bila Radit tidak sedang menjalin hubungan dengan perempuan.
“Selesai!!
Mendengar itu, Radit
langsung mematikan game dan meletakkan di meja. Ia meminum pesanannya
dan membuat posisi duduk senyaman mungkin untuk bercerita.
“Jadi ada cerita apa
nih?” tanya Nina.
“Kayaknya aku sama
Gea mau putus aja deh.” Radit berkata to the point.
Nina mengerutkan dahi,
membuat kedua alis matanya yang indah bertemu tepat di atas hidung
mancungnya.
Tanpa perlu ada
kalimat tanya dari Nina lagi, Radit meneruskan ceritanya. “Yah,
gimana ya, akhir-akhir ini kerjaanku lagi banyak banget, Gea dikampus
juga banyak kegiatan, kita jarang banget ketemu. Ngerasa jauh aja.”
“Tapi kan cuma buat
sementara waktu?”
“Iya, tapi dia juga
sering banget marah. Katanya aku cuek, cari-cari alasan dan banyak
lagi. Capek kalo mesti nurutin dia terus.”
Kemudian cerita Radit
tentang Gea berlangsung cukup lama, beberapa kali Nina memberi saran
agar tetap melanjutkan hubungan, tapi sepertinya Radit sudah mantap
dengan pilihannya untuk mengakhiri hubungan.
“Yah, mau gimana
lagi, kayaknya kamu emang belum jodoh buat jalanin hubungan buat
waktu yang lama.” ledek Nina yang disambut Radit dengan tawa.
“Paling lama juga nggak sampe setahun. Sama siapa dulu itu yang
duta pariwisata, yang sekampus sama aku?”
“Rani.”
“Iya, Rani. Aku
masih sering loh ketemu dia dikampus, mau titip salam? Ha... ha....”
“Apaan ah. Kamu
sendiri gimana? Udah ada yang deketin?” tanya Radit to the point.
“Ada sih, tapi yah
... kamu tahu kan aku gimana.”
“Kenapa sih kamu
sekekeuh itu megang prinsip itu? Cowok-cowok yang deketin kamu kurang
apalagi coba.”
“Mungkin kurang
sabar nunggu. Haha....”
Radit mengambil
kentang goreng, memasukkannya ke dalam mulut. “Mau ditunggu sampe
kapan lagi?”
“Sampe aku siap.”
“Kenapa sih harus
nunggu sampe kamu siap? Kita kan masih muda, lagian ada juga kok dari
mereka yang beneran suka sama kamu bukan karena kamu ada apanya.”
“Karena masa lalu
udah cukup ngasih aku pelajaran, lagian kalo emang beneran suka
harusnya mereka menghargai prinsipku dong, cinta kan memberi ruang
bukan mengekang.”
“Kamu masih sakit
hati sama Dio?”
Nina menggelengkan
kepala sambil meminum pesanannya. “Sakit hati dan orang yang
belajar itu beda.”
“Apa bedanya?”
“Sakit hati itu,
masih suka ingat-ingat kesalahan, terus sedih, nyesel dulu pernah
terjadi. Kalo aku nggak gitu, di kampus hampir tiap hari ketemu,
kadang makan bareng di kantin. Udah nggak ada sakit hati.”
“Kalo yang belajar?”
“Yah, ambil sisi
baik dari yang udah terjadi, simpan baik-baik, jadiin antisipasi buat
masa depan. Kesalahan masa lalu udah dimaafin dengan baik, tapi bukan
berarti aku bisa lupa gitu aja.”
“Trauma itu nggak
baik, menilai semua orang sama dengan mantan kamu berarti. Kan nggak
semua laki-laki sama.”
“Kadang aku ngerasa
ingin sekali menjalin hubungan lagi seperti yang lain, tapi kemudian
aku berpikir, kenapa sih harus susah-susah menjalin hubungan kalau
akhirnya pisah juga?”
“Akhir segala
sesuatu kan ngga ada yang tahu, Nin.”
“Tapi setiap cowok
yang pdkt, kalo aku tanya tentang nikah, jawabannya selalu ah,
itu kan masih jauh. Ah, kita kan masih muda. Ah, senang-senang dulu
lah.
Aku nggak bisa main-main kayak gitu.”
“Tapi mereka kan
bener.”
“Ah, pikiran kamu
sama juga ternyata....”
“Nggak juga sih,
kalo aku juga mikir kayak gitu, menurut kamu aku cari kerjaan, cari
pengalaman sejak dulu buat apa. Memperbaiki diri itu kan usaha untuk
memperbaiki jodoh juga. Memperbaiki diri sejak dini itu usaha untuk
mendapat jodoh yang terbaik. Bagiku, nikah itu ibadah. Sejauh apapun
jarak kita sekarang dengan standard umur nikah, dan juga karena sudah
dewasa, sedikit atau banyak harus ada tujuan hidup yang menuju
kesana.” Jelas Radit panjang lebar. “Masih mau tetep sendiri?”
“Yah, mungkin saat
ini aku belum ketemu aja sama cowok yang nggak mandang dari segi
fisik atau apa yang aku punya. Nggak salah sebenernya kalau aku punya
gambaran cowok yang bakal nemanin hidupku itu mesti lihat juga aku
sebenarnya kayak gimana. Istilahnya mencintai dengan utuh.”
“Semoga cepat ketemu
lah, kasian cantik-cantik tapi jomblo lama ... ha ... ha ... ha ....”
Rina menanggapi
ledekan sahabatnya itu dengan tawa kecil.
...
Apa yang dikatakan Nina
terakhir kali dalam pembicaraan tersebut telah menghantui saya
beberapa waktu ini. Apa boleh kita mencintai sesorang dari segi
fisiknya? Terkesan klise, tapi nggak
munafik
seringkali saya mengagumi seseorang lewat penampilannya terlebih
dahulu. Pertanyaan itu berdiam cukup lama sampai saya menemukan
tulisan manis seorang perempuan bermata belo
yang mengutip sebuah film.
Daddy: Kenapa kamu
terus mengikutinya? Kenapa kamu begitu menyukainya?
Daughter: Entahlah,
ada sesuatu di matanya ... mereka bersinar begitu saja di mataku.
Daddy: Lalu
bagaimana dengan dirinya?
Daughter: Maksudnya?
Daddy: Kamu tidak
boleh menilai sesuatu setengah-setengah, sayang.
Daughter: Maksudnya,
Yah?
Daddy: Kamu tahu
sayang ... sapi hanyalah sapi. Padang rumput hanyalah rumput. Bunga
hanyalah bunga. Sinar matahari yang jatuh di sela-sela pohon,
hanyalah pantulan cahaya. Tapi saat kamu melihatnya bersamaan, they
can be a magic. Saat kamu memutuskan untuk menyukai sesuatu atau
seseorang, kmau harus melihatnya secara utuh, bukan separuh-paruh.
Mata , hanyalah mata sayang. Belum tentu setelah kamu melihat semua bagian
dari dirinya, dia akan tetap sama bersinarnya di matamu.
Daughter: Aku akan
mengingatnya baik-baik.
*percakapan ditulis
seorang perempuan bermata belo yang terinspirasi oleh fil Flipped*
Seringkali saya
terjebak dalam pandangan duniawi, melihat seseorang dari fisiknya,
melupakan bagaimana hatinya. Saya lupa, di luar sana banyak kosmetik
dengan harga mulai dari murah hingga hanya dapat dibeli oleh kalangan
tertentu, yang dapat membuat seseorang menjadi lebih cantik atau
tampan.
Ada hati yang
terlewatkan dari penglihatan. Pribadi seseorang belum tentu dapat
dipastikan dari bagaimana kecantikan seseorang bermula. Telah banyak
contohnya mereka yang fisiknya mendapatkan nilai sembilan, tetapi
perilakunya jauh dibawah angka rata-rata, pun sebaliknya.
Seringkali saya
mengatakan, “Tampan kalau nggak bisa bikin nyaman ya percuma ....” Tapi saya lupa kata-kata saya sendiri.
Kenyamanan itu
seringkali saya lupakan, mereka yang dari segi fisik menarik tak
selamanya akan berbanding lurus dalam hal membuat saya nyaman.
Kekaguman akan fisik yang ia miliki bisa saja membutakan hati untuk
merasai kepribadian dan hal lain yang ia punya.
“Ia yang sempurna
dimatamu, belum tentu sempurna melengkapi kelemahanmu” – gadis
bermata belo.
Sebagaimana saya yang
tidak ingin ditinggalkan karena kelemahan, dan juga tidak ingin
disayangi karena sejumput kelebihan, sudah sebaiknya saya berhenti
menilai seseorang dari fisiknya semata. Karena di kemudian hari, yang
sering saya dapati, kesempurnaan fisik yang saya kagumi di awal hanya
menjadi kehampaan yang menyesakkan di akhir. Seperti kata percakapan
diatas, Belum
tentu setelah kamu melihat semua bagian dari dirinya, dia akan tetap sama
bersinarnya di matamu.
Jatuh cinta karena saya
telah memastikan bahwa saya menyayanginya dengan utuh bukan
separuh-separuh adalah hal yang perlu saya putuskan sebelum
mengungkapkan rasa. Sebagaimana saya sadar jatuh cinta tak selalu
baik bila mudah terjadi, karena seringkali ia akan menghilang dengan cepat setelah
kekurangan muncul ke permukaan.
Sebagaimana saya yang
menginginkan untuk diinginkan secara utuh bukan separuh-separuh,
karena bagaimanapun juga saya adalah sebuah paket dimana di dalamnya
berisikan kelebihan-kekurangan, kekuatan-kelemahan, serta kebaikan
dan keburukan. Mulai detik ini saya akan belajar untuk menginginkanmu
dengan utuh. Baik kekasih, sahabat atau siapa saja yang saya pilih
untuk menjadi kotak cerita.
Mungkin selama ini saya
lupa segala sesuatu, termasuk fisik hanyalah titipan, dan Tuhan yang
memiliki segalanya saja melihat manusia tidak berdasarkan fisik
semata. Mungkin sebuah ujian pendewasaan bagi saya, bahwa ada yang
jauh lebih penting dari kecantikan atau ketampanan, ia tak akan
terlihat oleh mata, karena apa yang terlihat oleh mata kebanyakan
hanyalah duniawi semata, dan itu juga bentuk ujian dalam hidup.
Hidup tak sekedar
masalah fisik, karena lebih dari itu masih banyak hal yang jauh lebih
asyik.
Selamat melihat
seseorang dengan lebih baik.
Dan, selamat hidup
dengan baik.