Rabu, 26 Desember 2012

Pernah Mengecewakan Cinta



Seorang perempuan, umurnya belum genap dua puluh tahun, gemar meratapi hidup. Ia tahu itu adalah perilaku yang tidak baik, tapi biarlah, setidaknya hal tersebut bisa membuanya tenang, terlebih setelah beberapa kali cinta terbang dari pelukan.

“Cinta? Haha… entahlah, aku enggan membicarakannya. Entah sudah berapa kali ia menertawakanku, seolah aku lelucon paling menggemaskan di jagad raya.”  Begitulah jawabnya setiap ditanya tentang cinta.

Terkadang pada penanya ia menambahkan, “Cinta? Entahlah, aku sebenarnya malas membicarakannya. Sudah berkali-kali aku melukainya dimasa lalu, beberapa luka membekas dengan sangat jelas sehingga sulit untuk melupakan aku sebagai pelakunya. Mungkin itu yang membuatku berkali-kali mendapatkan jawaban tidak dari takdir, meskipun begitu inginnya aku akan cinta. Terlebih aku tak kunjung berubah menjadi pribadi yang lebih baik, seperti yang seharusnya.”

Ia pernah membaca kata cinta dari kamus yang telah usang, … bukan, tapi dari kamus yang kekinian, … ah, entahlah yang pasti ia membaca cinta dari kamus yang tidak seharusnya. Pada kamus yang tidak seharusnya tersebut arti cinta berbeda, dapat disimpulkan arti yang ia baca itu bukanlah cinta. Pembuat kamus itu pastilah tidak memiliki kemuliaan di hati, bagaimana bisa hal seagung cinta ia samarkan artinya. Ia juga membubuhkan nafsu dalam artian cinta, padahal sudah jelas tampak bedanya
...

“Sudah seharusnya ketika usia beranjak, pengertian akan rasa pun ikut dewasa. Membedakan kagum semata, suka, dan jatuh cinta seharusnya sudah jelas dimana letak bedanya. Seribu kali diberi berbagai perasaan tersebut tak akan membuat mati rasa kemudian menganggap semuanya sama … bila memang hati juga ikut bertambah dewasa bersama usia.” Kata seorang laki-laki yang usianya telah genap dua puluh tahun. Ia telah berteman dengan sang perempuan sejak mereka berdua masih bersekolah. Laki-laki itu bernama Bhibi, dan perempuan tersebut bernama Fafa.

Wajah Fafa murung. “Hatiku sedang tidak tumbuh. Ia telah lama asik bermain dengan dirinya sendiri dipojokan ruang rasa. Tak peduli dengan berbagai rasa yang lalu-lalang, meskipun beberapa rasa menyapa dan menawarkan permen warna-warni yang sejatinya sangat menggoda selera. Satu-satunya rasa yang masih sering mampir dan bermain bersama hati adalah rasa sedih, dan suasana yang seringkali ia nikmati adalah suasana sepi.”

“Sudah berapa kali kamu dikecewakan cinta?”

Fafa terdiam sesaat, matanya menerawang, menghitung-hitung berapa tepatnya ia pernah kecewa karena cinta. “Banyak …,”

“Berapa kali kamu mengecewakan cinta?”

“Tidak sebanyak dikecewakan cinta …,” jawab Fafa cepat “Tapi kecewa yang kuberikan jauh lebih besar  daripada yang kuterima. Dua kali, ah tidak-tidak … sepu … emh … seribu kali atau semilyar kali lebih sakit daripada semua yang kuterima.”

“Lalu kamu sekarang takut dekat-dekat dengan cinta?”

“Entahlah ….” Fafa memandangi wajah Bhibi, berharap Bhibi bisa segera menemukan jawaban sebelum hari-harinya kembali kelam dengan sempurna.

“Kamu tahu ada takdir baik dan takdir buruk?” Fafa mengangguk dengan cepat. “Terkadang takdir-takdir itu bukan kemauannya sendiri membawa kita kepada sebuah cerita, atau yang biasa orang bilang dengan kebetulan” Bhibi menyeruput kopi yang dibuatkan Fafa. “Semua kebetulan itu adalah rencana Tuhan yang jauh dari kuasa makhlukNya untuk mengerti bagaimana mekanisme kebetulan itu terjadi. Lalu dengan seenak hati, karena tidak mampu mengerti, makhlukNya member nama kebetulan.

“Tapi takdir kan juga rencana Tuhan?”

“Oh … iya, tentu itu. Itu yang mau aku katakana padamu.”

“Ah, kamu suka gitu, melebar kemana-mana.”

“Hehe …. Takdir tak pernah semaunya sendiri membawa kita kepada sebuah cerita. Apa yang kita lakukan dimasa lalu menjadi penyebab mengapa ia membawa kita. Hal baik akan membawa kepada cerita yang baik, hal buruk akan membawa kepada cerita yang buruk.”

“Tidak semua seperti itu, banyak orang baik yang menjalani kisah menyedihkan dan juga sebaliknya.”

“Tuhan sedang menguji, Fa … ujian tak selalu datang dengan wajah buruk rupa. Seringkali juga ia datang dalam bentuk yang cantik dan indah. Karena itulah seringkali banyak makhluk terperdaya.”

“Hemh … kalau selalu diberi ujian dengan wajah buruk rupa kita pasti mudah menebak ya? Lagipula nanti kita jadi cuma belajar satu hal saja. Tuhan Maha Mengetahui, Bhi!”

“Yap, kamu emang cerdas, Fa!”

“Dan pujian kamu barusan itu juga sebuah ujian sepertinya.”

“Haha, bisa aja. Kamu takut dengan masa lalu yang pernah kamu buat?”

Fafa mengangguk. “Sering banget aku merasa kurang pantas mendapatkan pasangan tiap kali dekat dengan seseorang. Tapi saat dia pergi, aku merasa menyesal telah melepasnya. Aku selama ini selalu percaya, pria baik ada untuk wanita baik. Sementara aku …?”

“Kamu juga baik, Fa …” Fafa membalasnya dengan senyuman. Ia tahu sahabatnya ini tak pernah mengatakan hal basa-basi hanya untuk menyenangkan hatinya. Ia selalu berbicara yang sesungguhnya.

“Fa, bila memang yang kamu takutkan adalah kamu akan menjalani cerita yang buruk, ada cara untuk menolak takdir itu. Pertama perilaku kita harus benar-benar menjadi sebaik-baiknya perilaku, agar Tuhan percaya bahwa kita memang telah pantas diamanahi pasangan hidup.”

“Lalu yang kedua?” Fafa tak sabar ingin mengetahui semua rahasia tersebut.

“Yaitu dengan doa-doa kita. Dengan doa, kisah cerita buruk yang kita takutkan bisa diputar balik menjadi kisah membahagiakan. Di dalam doa ada kasih sayang Tuhan yang luar biasa. Bahkan Tuhan sendiri yang meminta makhlukNya untuk berdoa.”

“Aku selama ini sudah berdoa ….”

“Kekuatan doa yang utama bukanlah pada kata, tapi kepada keyakinanmu akan doa-doamu. Percayalah Tuhan mengabulkan doa-doamu. Dan percayalah bahwa kamu adalah wanita yang baik, yang layak untuk kisah hidup yang baik pula. Bebaskan hatimu, Fa, bebaskan! Jangan biarkan penjara masa lalu membatasinya melihat birunya langit yang sejak kecil sangat kamu sukai.”

Air mata Fafa mengalir, membelai pipinya. “Bhi, ada lagi yang ingin kubicarakan. Kita memang telah tumbuh dan beberapa dari sifat kita telah berubah. Dulu, aku tak peduli bagaimana yang lainnya berkomentar tentang fisik orang yang aku sayangi. Tapi, sekarang aku terkadang terlalu melihat fisik. Bolehkah aku menyukai seseorang karena berawal dari aku terpesona dengan fisiknya?”

“Kamu tidak salah, Fa. Kita semua berhak mendapatkan yang terbaik, baik dari segi fisik dan juga jiwanya. Tetapi, kamu harus meyakinkan hati lagi, karena terkadang menyukai karena fisik itu tak bertahan terlalu lama, apalagi bila ada yang memiliki fisik yang lebih baik.” Bhibi kembali menyeruput kopinya yang mulai dingin. “Mungkin kamu harus lebih sering menutup mata dan membuka hati. Agar nanti jiwamu akan menjadi lebih peka untuk melihat apa yang kamu butuhkan, bukan sekedar apa yang kamu inginkan sehingga nanti tidak salah pilih.”

Fafa dan Bhibi saling pandang. Bertukar pandangan hangat seorang sahabat.

Romantis....

“Begini, Fa, suatu hari aku pernah bertemu dengan seorang kakek yang mengayuh sepeda tua, dibelakang sepada itu ada nenek yang memeluk pinggang kakek dengan erat. Sesekali kakek itu menoleh ke belakang dan mengatakan sesuatu, lalu mereka berdua tertawa bersama-sama. Cinta seperti inilah yang seharusnya patut kita contoh. Bukan semata fisik.” Kopi yang suhunya telah turun sedari tadi kembali diseruput Bhibi. “Pernah juga aku melihat sepasang orang difabel sedang bercengkerama di sebuah kafe. Sang lelaki tak memiliki tangan yang sempurna sementara sang perempuan tak memiliki kaki yang sempurna. Ketika mereka berdua mau pulang, sang perempuan membantu lelaki mengenakan jaketnya, dan sang lelaki mendorong kursi roda sang perempuan dengan tangannya yang tak sempurna. Mereka berdua tersenyum-senyum bersama, tak terlihat segorespun  rasa sesal memiliki takdir seperti itu. Ketidak-lengkapan mereka tidak menjadi masalah karena ada kekasih yang telah membuat hidup masing-masingnya lengkap. Sungguh, Fa, saat itu, detik itu juga aku sangat iri dengan mereka berdua, aku cemburu. Ingin sekali aku memiliki cinta sebesar yang mereka miliki.”

Indahnya...

Fafa tersenyum mendengar cerita Bhibi.

“Mereka yang secara fisik kurang, bisa dengan sangat indah memaknai cinta. Kita yang lengkap sudah seharusnya bisa memaknai cinta dengan indah juga. Tidak termakan tipu daya fisik semata, Fa.”

Fafa dan Bhibi kembali saling berpandangan.

“Kamu kenapa, Fa, senyum-senyum sedari tadi?”

“Aku mencari tempat berhenti….”

“Hemh?”

“Tempat berhentinya hatiku … aku sudah menemukannya. Semoga ….”

“Iya, amiin ….”

Mereka berdua kemudian bertukar senyum beraroma kopi.




Minggu, 02 Desember 2012

Persepsi

Persepsi adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. - Wikipedia



Setuju atau tidak, percaya atau tidak, kita pernah terjebak oleh persepsi. Mengotak-kotakkan sesuatu berdasarkan pemikiran kita. 

Bahkan seringkali kita mengkotakkan diri sendiri ketika sedang bersama siapa atau sedang menekuni apa. Ketika sudah tidak diterima lagi di sebuah lingkungan, lalu kita mencari-cari teman, kemudian menyebut diri sendiri dan teman-teman itu sebagai sebuah kelompok-entah-apalah-namanya. Seperti aliran musik yang ketika musisi tersisih atau tidak mendapat tempat, ia akan mencari ruang kemudian menancapkan bendera atas namanya, lalu ia pun menjadi aliran baru. Tidak hanya dalam seni, dalam hidup kita ini hampir segala sesuatunya menjadi perlu untuk dispesifikkan.

Itu dalam profesi dan aliran seni yang memang perlu untuk dikotak-kotakkan agar lebih mudah dalam menyebutnya ketika membutuhkan. Tidak lucu bila ketika kita sangat membutuhkannya ternyata kita menyebut secara asal.

Yang membuat miris bagi saya adalah ketika persepsi kita mengkotak-kotakkan yang lebih dari itu. Warna kulit, bahasa, agama, suku, harta, pangkat, jabatan, pendidikan, strata sosial, pekerjaan, kepandaian, nilai IP, dll. Hanya karena semua itu kemudian kita menilai mentah seseorang, semua itu sekali lagi karena persepsi. Tak apa bila memang segala perbedaan itu dilihat sebagai hal yang jelas, tapi yang menjadi soal adalah ketika pengkotak-kotakkan itu kemudian menjadi kesenjangan sosial atau bahkan permusuhan, parahnya hingga timbul pertikaian.

Termasuk saya, beberapa teman pernah bercerita bahwa mereka seringkali menilai seseorang hanya berdasar persepsi awal. Bahkan kebanyakan rasa benci terhadap seseorang itu semata karena berdasarkan persepsi, orang yang dibenci tersebut tidak sejalan dengan apa yang diinginkan persepsi.

Seharusya segala perbedaan itu tak perlulah terlalu menjadi soal, bila memang hal tersebut adalah sebuah masalah besar yang sangat mengganggu, sudah semestinya Tuhan membuat semua manusia itu sama. Padahal dalam firmanNya, Tuhan memang telah menciptakan kita semua berbeda karena ada maksudnya.

Ah sudahlah, tak perlulah perbedaan pendapat, tidak setuju dengan tulisan ini, menjadi soal. Apalagi sampai perlu berdebat menacari yang paling benar. Karena sekali lagi, ini hanya persepsi saya, dan Tuhanlah letak segala benar.