Selasa, 08 April 2014

Tuan Sebut Apa Negeri Ini?




Gadis kecil bercerita padaku
Siang kemarin hanya jajan, malam tak makan
Pagi ini perut keroncongan
Tuan sebut kemakmuran

Sawah terhampar luas dari timur ke barat
Tapi tak pernah di meja kulihat
Sebakul nasi putih hangat
Tak juga lauk pauk sehat
Tuan sebut pertanian

Kompor-kompor kosong mulai berkarat
Janji-janji kosong telah jadi rejeki rakyat
Nelayan masih merajut jala
Merajut mimpi yang tak kunjung nyata
Melaut bersama harapan yang ikut hanyut
Pulang pagi dengan doa, 
Istri di rumah tak marah lagi
Tuan sebut Negeri Maritim

Anak kecil tak lagi dapat bermain di luar
Hari-harinya dipenuhi busung lapar
Saat sakit telah hidup ditubuh
Dukun jadi primadona di desa-desa
Karena dokter memilih harta daripada etika
Tuan sebut kesehatan

Kemerdekaan yang dibanggakan
Tidur di gorong-gorong
Bercampur tikus dan bau amis
Tuan sebut peduli rakyat


Sementara di sana
Tuan sedang banyak menjilat dan bermain suap
Berlomba menjadi terkaya
Tuan bebal menyebut semua ini cinta rakyat

Katanya pendidikan moral diajarkan di sela-sela
Tapi lihatlah sekarang moral penguasa

Gadis kecil yang kutemui bersila, merapal aduan pada Tuhan

"Tuhan,
Masihkah boleh kami menangis malu atas kelakuan mereka…
Meskipun adab malu tiada lagi berlaku di negeri kami
Tuhan,
Masihkah boleh kami menangis miris meminta rejeki…
Meskipun mencuri dan berdusta telah menjadi tradisi di negeri kami
Tuhan,
Masihkah boleh kami menyebut negeri ini jaya?"


....
Tulisan ini saya buat kira-kira tiga tahun yang lalu, saat umur masih belasan. Masih belum kuat dalam konsep, pemilihan katanya juga terlalu sederhana. Dan seperti kebanyakan puisi anak muda serupa, berisi kemarahan yang terkesan mengadili dan merasa suci. Harap maklum... :)

Pujangga, atas Nama Cinta




Seorang pujangga meniupkan rasa pada perahu kertas
Membiarkannya berlayar dari sungai kecil
Hingga bermuara di lautan lepas

Mengatas namakan cinta
Pujangga menggoreskan tinta pada peristiwa
Beribu syair memesona dia cipta
Beribu kata, makna dan nada
Mengiringi setiap rasa yang kental berada

Serpihan-serpihan batu gunung
Pujangga satukan menjadi sebuah karya agung
Menghasilkan mozaik-mozaik berwarna pelangi
Pujangga letakkan di setiap sudut bangunan kota mati

Mengatas namakan cinta
Pujangga ceritakan cahaya perjuangan
Pada hati yang tak kenal lelah pada kelemahan
Pada panas cahaya matahari yang tak pernah segan
Mengiringi keberanian yang dia tegakkan

Pada perahu kertas yang telah basah
Pujangga menanti hati yang tak kunjung menghampiri
Meratakan kebohongan bahwa dia kini tak lagi sendiri
Pujangga letakkan buku yang telah dia baca pada pustaka hati
Sebagai perenungan hidup di akhir nanti

Perih

Selama ini tak ku biarkan perih ini pergi
Aku tanam dan tumbuh menjadi pekat
Senyap mendengar lantunan malam yang hening
Gerimis berguguran tetapi tak aku pedulikan
Hingga larut melebur menjadi telaga resapan hati
Biar saja aku sapa pagi bermentari
Biarkan saja senyum dedaunan mengusir sepi
Dan biarkan dawai…mendendang salah padaku 

Sajak Terakhir




Sajak terakhir
Tak sengaja mengalir begitu saja
Setelah seharian ku genggam di antara sela jemari
Dia meloncat cepat ke atas daun kering
Sajak terakhir
Tak sengaja terbang begitu saja
Dibawa angin bersama daun kering
Melayang-layang tinggi di samping awan
Sajak terakhir
Tak sengaja jatuh begitu saja
Di sungai bening tak beriak
Aliran air mengantarkan sajak terakhir 
menuju muara sastra
Sajak terakhir
Tak sengaja tercipta begitu saja
Ketika tinta pena hanya tinggal sisa
Sajak terakhir
Tak sengaja melintasi ingatan takdir
Membuatnya tak terlupa
Meski hanya karya biasa

Tak Lagi Berharap




Pada yang telah hilang
Tak lagi kupasrahkan penantian

Setiap kerinduan
Yang dititipkan pada tepian jalan
Tak pernah lagi mencipta harapan

Di persimpangan
Di rumah tak bertuan
Keadaan memberi pengertian
Yang sedang kulakukan
Adalah kesia-siaan