Mungkin, saya memang telah
menjadi bagian dari generasi social media. Saya sudah terpengaruh
trend “bahagia itu sederhana”.
Saya mengartikan kalimat
tersebut adalah sebuah pelajaran agar kita mensyukuri hal-hal kecil.
Dan sungguh bersyukurlah
kamu, bila memang kamu mudah sekali bahagia, bukan menjadi bagian
orang-orang yang kebahagiaannya mahal serta syarat dengan ego.
Seperti halnya saya sangat
bersyukur dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang saya temukan pada
hal-hal yang seringkali dianggao remeh temeh. Seperti bahagia hanya
dengan berlama-lama menggigit ujung kuncup daun bambu. Atau bahagia
karena bisa menemukan orang batuk di selembar uang seribu. Ataupun
bahagia karena bisa melakukan trik-trik sulap membalik koin. Dan
hal-hal kecil lainnya, termasuk menulis hal sederhana seperti ini.
Semoga, saya dan kamu,
dijauhkan dari pengetahuan bahwa membenci adalah salah satu jalan
untuk bahagia.
Semoga, kebahagiaan saya
dan kamu tidak ditentukan dari apa yang orang lain bagi di social
media.
Saya, mungkin sudah
terlanjur menjadi generasi social media, berkata-kata tanpa berusaha
menyaring dan menimang-nimang terlebih dahulu kelayakan hal-hal yang
akan dibagi. Tetapi, saya tetap bisa memilih menjadi generasi social
media yang positif atau yang hanya sekedar menulis diary di ruang
publik.
...
Merasa tersaingi itu
perlu.
Yang percuma, merasa
tersaingi tanpa ada kontrol hati dan emosi. Sehabis merasa tersaingi
kemudian terlalu banyak peduli dengan karya orang lain, lantas
membenci dengan merendahkan dan mengecilkan karya tersebut.
Merasa lebih baik, itu
tidak baik. Karena baik tidaknya sebuah karya adalah relatif. Dan
manusia bukanlah juri yang adil dalam menilai.
Merasa lebih baik itu
baik, selama tidak ada keinginan merendahkan dan mengecilkan orang
lain.
0 komentar:
Posting Komentar