Senin, 09 Desember 2013

Udah Gede




"Wah udah gede ya sekarang...perasaan baru aja kemarin minta dibonceng ke jalan raya buat lihat mobil."

Dulu saya seringkali merasa, apaan sih... setiap kali mendengar kalimat tersebut terucap untuk diri saya.Sekarang, sepertinya saya ingin mengucapkan hal serupa saat melihat anak-anak remaja yang dulunya waktu main bersama pasti jadi pupuk bawang.

Saya menyesal, 4 tahun ini saya membawa hidup saya kepada lorong-lorong berisi rasa pesimis, ketakutan, dan rasa bersalah kepada masa lalu. Saya tidak membawa satu atau dua warna untuk sedikit mencoret dinding lorong-lorong itu. Saya hanya terpaku di kamar, mengenang setiap kesalahan yang saya perbuat, dan menghitung kesempatan yang saya lewatkan, serta tidak berhenti mengkhawatirkan apa yang tidak saya miliki. Saya terjebak di sana, sekian lama. Ini sejujurnya.

Kepergian, tidak hanya datang satu dua kali kepada saya. Kepergian pertama yang membuat saya berkata udah gede ya kepada diri sendiri, adalah saat sepupu berpamitan tanpa meninggalkan kata. Ucapan selamat tinggalnya diwakilkan oleh Pak Polisi yang menangani kecelekaan sepupu saya. Setelah Isya, saya bergegas menemui adiknya yang baru saja pulang dari ibukota. Menenangkannya yang jelas terlihat bergetar kala jiwanya tak siap mendengar kata perpisahan kakaknya. Saya berkata pada diri sendiri bahwa saya udah gede, kemudian menenangkan rasa yang berkecamuk di jiwanya. Adik dari sepupu saya yang berpamitan ini begitu dekat sejak kecil.

Menerabas malam, seluruh keluarga besar datang ke rumah beraroma duka. Menghambur tangis meramaikan malam, bergantian memeluk adik sepupu saya. Wajahnya sedih, lemas masih tak percaya, namun airmata ia jaga agar tak jatuh. Dalam hati saya mengatakan, kamu udah gede, dek. Turut serta adik sepupu, saya menahan diri untuk tidak menjatuhkan airmata. Mengabarkan kepada semua keluarga bahwa semuanya baik-baik saja.

Lewat tengah malam, kotak kayu seukuran manusia masuk ke rumah. Bergegas mengenakan sarung dan mengambil wudhu, saya duduk di depan kotak. Hal yang kontras sekali dengan masa kecil saya, hanya dengan mendengar suara tikus lewat genteng saja saya sudah takut bukan main. Udah gede, cepat atau lambat saya akan berada di depan kotak tak bernyawa keluarga saya, siapapun itu, atau sebaliknya. Kalau bukan saya, siapa lagi, waktu itu tak satupun keluarga yang bisa baca Al-Qur'an sanggup menahan getar sedihnya. Dan saya masih berusaha mengabarkan bahwa semuanya baik-baik saja. Adik sepupu bergegas menyusul duduk di samping saya. Malam itu, kami sekeluarga menemani perjalanan pulang kakaknya, sambil berpesan, kami baik-baik saja.

Air mata keluarga berpulang, membasahi jalanan pulang. Tanah-tanah keras tak lagi mengganas dirasakan kaki. Air mata keluarga berpulang, mendinginkan cuaca perjalanan. Udara panas hanya bersisa angin lepas.
....

Bila ada kesempatan untuk bertemu dengan orang tua saya, cobalah bertanya bagaimana saya bila di rumah. Kamu akan mendapati jawaban yang berkebalikan dengan apa yang kamu tahu selama ini. Orangtua saya pasti akan menjawab, anaknya yang tak bisa diam semasa kecil telah berubah menjadi remaja introvert dan tak mau banyak bercerita. Kamu juga akan mendapati jawaban mengejutkan, bahwa saya bukanlah orang yang hangat, tak berpetualang dan tak suka menyapa. Ini sejujurnya.

Ada pertanyaan kenapa yang saya dengar dari bibirmu. Banyak hal yang dapat merubah anak manusia, dan selayaknya hal seperti itu tak patut untuk diperbincangkan bersama, di sini. Kecuali bila kamu menemuiku dan bercengkerama berdua, sepertinya kamu akan mendengar cerita istimewa. 

Beberapa kali saya menemui penghibur-penghibur yang sedang menyepi dari bagaimana ia dikenal sekitarnya selama ini. Ia menjadi manusia biasa, lemah dan dihinggapi lelah. Sebagaimana sang penghibur, penonton hanya ingin tahu cerita bahagia saja, yang membuat hati mereka berbunga-bunga. Setelah tirai panggung diturunkan, penonton pulang bersenda gurau dengan berbagai cerita tentang apa yang sama-sama ditonton oleh temannya. Sang penghibur duduk, menghela lelah dalam kelemahannya. Saat kembali kepanggung untuk mencari teman bersandar, yang ia dapati hanya bangku-bangku kosong.

Saya tidak suka, lingkungan saya terlalu serius, kaku, seolah masalah hidup hanya dimiliki oleh dia. Saya tidak suka, lingkungan saya terlalu egois, seolah bisa hidup sendiri tanpa uluran tangan lainnya. Jemari kita bersela, pekerjaan kita tak mungkin sempurna. Ada batas yang ditunjukkan setiap ruas jemari, mengingatkan kita untuk tidak menggenggam tangan sendiri. Saya suka menghibur, dengan entah apa caranya, karena ketika saya menoleh kebelakang yang tersisa hanyalah bangku-bangku kosong. Hingga sekarang, saya meluangkan waktu untuk mendengar yang lainnya bercerita, menegakkan bahu untuk tempatnya bersandar, karena ketika saya butuh telinga untuk mendengar saya hanya menemui kesendirian, ketika saya sedang lelah butuh bersandar, di belakang saya hanya ada bangku-bangku kosong tanpa sandaran.

Terkadang saya lelah, dan tentu saja bosan. Tapi ketika rasa itu datang, saya ingat perkataan adik sepupu, because the best way to cheer yourself up, is cheering somebody else up.


....

Semalam, saya memulai melewati salah satu ketakutan besar mahasiswa, menulis proposal penelitian. Awalnya saya kira hanya dibutuhkan waktu sebentar untuk menyelesaikannya karena sudah ada contoh yang bisa diaptasi. Bukan bermaksud plagiat, tapi penelitian kami hanya beda di bahan. Saya menulis dan menulis hingga pagi, tanpa mengeluh. Saya diam sejenak, bertanya pada diri sendiri, saya kenapa? Bukan ada yang salah dengan diri saya, tapi ada saya melakukan hal benar dan anehnya untuk kali ini tidak bosan. Saya hanya tidur dua jam kurang kemudian, dan kembali menyelesaikan tugas lainnya. Saya heran kepada diri sendiri, tubuh saya bergerak tidak seperti semestinya yang bermalas-malasan. Tubuh saya bergerak, melaju menyelesaikan proposal yang belum penuh. Untuk ketiga kalinya saya terkejut dengan apa yang dilakukan oleh diri saya sendiri, setiap centi tubuh saya tidak berhenti sampai akhirnya saya merasa cukup. Dan proposal saya pun selesai dengan segala ketidaksempurnaannya.

Hiperbolis? Mungkin bila kamu sering bekerjasama dengan diri saya, kamu akan segera mengasingkan jauh-jauh kata tersebut. Dan kembali kamu harus percaya bahwa saya benar-benar tidak percaya bahwa saya mampu melakukan apa yang selama ini saya hindari : melaksanakan tugas dengan kesungguhan.

Udah gede, waktu sebentar lagi habis bagi jatah saya. Memenuhi hari dengan rasa bersalah lagi? Untuk apa? Mereka mungkin sudah lupa dan bahagia dengan caran hidupnya sekarang. Dan saya juga telah melunasi kesalahan dengan permintaan maaf serta pengasingan diri. Membayur dengan pesimis? Ada harapan tumbuh di setiap langkah penapak jalanan. Untuk apa lagi saya tak percaya kepada hal-hal luar biasa. Yang awalnya saya rasa tak mungkin dapat saya selesaikan, malah bisa saya selesaikan kurang dari 24 jam. Udah gede, dan saya harus mulai menapak dengan dada membusung, siap diterjang apapun warna nasib yang datang, hitam, putih, abu-abu, jingga atau biru langit. 

Saya tak perlu lagi mengis dengan lara dan keluh kesah, bahkan itu bila berarti diacuhkan olehmu setiap hari. Tak apa. Saya masih bisa bersyukur, setidaknya masih ada yang bisa membuat saya perhatian, saya masih bisa bersyukur, setidaknya masih ada yang menghibur meski hanya dapat mengagumi dari jauh.

Udah gede, tidak ada pencapaian yang menghadirkan gemerlap cerita dalam empat tahun ini. Saya tidak merasa ini waktunya, saya hanya merasa saya yang membutuhkannya. Hal-hal baru yang akanmenghadirkan gemerlap cerita.

Saya telah memutuskan untuk membuat catatan perjalan dalam jangka waktu tertentu. Jiwa saya butuh pindah. Menginginkan rasa-rasa yang belum pernah dijumpai, berbicara dengan orang-orang baru, mengunjungi sudut-sudut asing. Lalu merangkum dalam dokumen perjalanan yang akan menuturkan cerita. Kamu hanya perlu menunggunya, atau bila tertarik kamu bisa menjumpai saya dan bersama-sama mengumpulkan cerita menarik.

Catatan perjalanan ini sungguh. Akan segera tertulis di blog ini sebagai penutur yang menghibur, atau setidaknya penutur yang berbicara tentang kita.

Udah gede, saya hanya perlu mengumpulkan niat dan keberanian untuk memulai, selanjutnya perjalanan yang membawa. Seperti kata orang bijak nun jauh di negeri seberang, yang tersulit adalah langkah pertama.