Rabu, 03 April 2013

Melepasmu





Di bawah taburan gemintang, dua anak manusia bernostalgia tentang cerita lama.

“Kenapa kamu pergi tiba-tiba, tanpa sepatah katapun terucap untuk pamit?” tanya Rani. Matanya menatap wajah Rama lekat-lekat, menganalisa seorang lelaki yang ia kenal sejak lama.

“Hemh?” Rama menoleh ke Rani, meminta pertanyaannya diulang.

“Kenapa kamu pergi?”

“Aku tidak kemana-mana, aku di sini saja?” jawabnya singkat. Ia menengadahkan wajah kembali, memandangi gemintang kesayangannya.

“Kamu tiba-tiba menghilang, nggak bisa dihubungi, nggak bisa ditemui, bahkan kamu nggak pernah terlihat di kampus, dua bulan lamanya.”

“Aku ikut student exchange ....”

“Dan nggak bilang ke aku apapun tentang itu sebelumnya!” Rani memotong ketus.

Rama diam, tetap memandangi langit.

Kalimat yang ditunggu Rani tak kunjung keluar. Kesabarannya mulai memudar, ia merasa perlu untuk menjelaskan bagaimana perasaannya. “Kamu tahu bagaimana rasanya ketika kamu mulai bergantung kepada seseorang, lalu tiba-tiba orang itu menghilang?”

Rama hanya membalas dengan  sebuah anggukan, matanya masih tak lepas memandangi langit.

“Kamu tahu bagaimana rasanya ketika kamu membutuhkan orang yang bisa kamu andalkan selama beberapa waktu sebelumnya, kemudian orang itu tak pernah ada saat dibutuhkan?”

Rama kembali mengangguk, matanya melihat ke sudut langit yang lain.

“Kamu mengerti bagaimana rasanya  mencari orang yang membuatmu kehilangan, namun tak pernah sanggup menemukannya, bahkan sekedar kabarnya?”

Rama mengangguk untuk ketiga kalinya, matanya kini menatap purnama.

“Kamu mengerti bagaimana rasanya sebuah harapan tumbuh karena kebaikan seseorang yang bisa kamu andalkan?”

“Aku mengerti.” Kata Rama sambil mengangguk. “Bulannya cantik.” Tambah Rama, segaris senyum tertera diwajahnya.

Rani ikut memandang purnama. Setelah beberapa saat, muncul perasaan yang selama beberapa waktu ini mengganggunya. “Apa kamu memahami bagaimana rasanya sebuah harapan mati bahkan sebelum ia sanggup tumbuh?”

Rama mengalihkan pandangannya dari purnama ke wajah Rani. “Itu masalahnya, Ran.”

Rani bergegas memandang Rama dengan wajah serius.

“Aku mengerti kamu berharap, tapi aku tak pernah mengharapkan itu.”

“Maksud kamu?” kedua alis Rani beradu tepat di atas hidung.

“Aku datang kepadamu ketika aku membutuhkan seorang teman, dan kamu aku datangi ketika sedang berbenah sehabis kisah lama, sedang menuju kisah baru, mencari kekasih.”

“Apa itu salah?”

Rama menggeleng. “Hanya tidak tepat, Ran. Aku tidak sedang bersiap untuk memulai kisah kasih.”

“Apa itu yang lantas membuatmu meninggalkan aku?” mata Rani mulai berkaca-kaca.

“Harapan milikmulah yang membuatku merasa tidak nyaman.”

“Kenapa kamu menyalahkan harapan? Bukankah kamu pernah bilang harapan itu nyawa kehidupan?” Rani membalas dengan pertanyaan. Ia mengucapkan dengan cepat seolah sedang merapal mantra.

“Karena aku sudah bisa menebak kemana akhir cerita seperti ini, sudah berulangkali aku menemuinya. Aku tahu apa yang sebaiknya aku lakukan.”

“Pergi menghilang entah kemana tanpa sepatah katapun untuk pamit atau memberi kabar?” Rani kembali merapal mantra untuk kedua kalinya.

“Pamitpun tak akan pernah membuatmu siap membiarkanku pergi.”

Kini giliran Rani diam, ia tak kuasa menahan airmata. Karena malu airmatanya dapat dilihat Rama, Rani mengarahkan wajahnya ke purnama, membelakangi Rama.

“Bila dilanjutkan, kisah ini akan membuat harapanmu tumbuh besar, lalu memekarkan bunga. Aku yang sedari awal tak menyiapkan diri untuk cinta, takkan menanggapi, seharum apapun wanginya, seindah apapun bentuk dan warnanya.”

Rani mengusapkan punggung tangannya ke airmata yang telah sampai di pipi.

“Bunga yang mekar itu, takkan pernah dirawat dengan baik, karena aku, yang kamu inginkan untuk merawat, tak juga menginginkannya. Dengan pasti, perlahan-lahan bunga itu akan membusuk sia-sia.”

Rembulan tak lagi sanggup menghibur kesedihan Rani. Ia menundukkan wajah, isak tangisnya beradu dengan angin malam.

“Aku mengerti bagaimana rasa sakitnya ketika harapan telah tumbuh besar namun ternyata kenyataan tak pernah sejalan, rasa sakitnya tentu sangat besar dan dalam. Kamu tahu bagaimana nanti pendapatmu serta orang yang mengetahuinya tentang aku, yang menjadi alasan harapan itu tumbuh? Orang jahat yang memberi harapan kosong, tak pernah berniat untuk mewujudkannya, hanya bermain dengan rasa.”

Kata-demi kata yang Rama ucapkan  membuat airmata Rani mengalir semakin deras.

“Padahal aku tak sekalipun ingin bermain rasa, aku tak sedang mencari cinta. Sejak awal aku hanya ingin memilihmu sebagai seorang teman dekat, namun hatimu bersiap untuk jatuh cinta. Kedua hal itu berbeda jauh, dan sayang sekali kamu bersiap tidak untuk orang yang tepat.”

“Kenapa ... kenapa kamu memilih pergi?” tanya Rani dalam tangis. Suaranya bergetar dipaksakan.

“Aku harus memilih, sayang pilihan yang ada tetap tak bisa membuatmu terhindar dari luka. Tapi luka yang kamu rasa sekarang tak begitu besar, dapat diobati dalam waktu cepat. Aku juga tak bisa menghindari dari penilaian buruk yang keluar dari dirimu. Namun tak apa aku mendapat penilaian seperti itu, asal kamu terjaga. Tapi maaf aku tak bisa menjagamu dengan baik.”

Rani menegakkan badan, mengusap kedua pipinya dan kelopak matanya, menguatkan diri untuk menatap wajah Rama. “Apa sekarang kita bisa berteman?”

Rama memandang wajah Rani lekat-lekat. “Hatimu masih belum siap menerimaku sebagai teman, aku tak ingin harapan itu kembali tumbuh dalam waktu dekat. Beri waktu untuk hatimu meniadakanku dalam rasamu. Agar nanti bila kita bertemu kembali, kita tak akan melibatkan perasaan. Ketika bertemu kembali nanti, kita berdua akan bertukar cerita tentang perjalanan masing-masing dengan nyaman.”

Rani mengangguk pelan.

“Maafkan aku Ran, karena aku, kamu jadi terluka.”

“Nggak papa, ini akan mengajariku kedewasaan, dan mengajariku mawas diri, berhati-hati menitipkan rasa. Karena sekarang aku mengerti, tidak semua orang mau, sanggup  dan tepat untuk dititipi rasa.”

“Aku tak pernah menyangka, berteman bisa menjadi serumit ini. Aku merindukan masa kanak-kanak ketika semuanya sederhana.” kata Rama.

Mereka berdua memandang purnama dalam waktu yang lama, menjelajahi pikiran dan perasaan masing-masing. Hingga dingin angin malam memaksa mereka masuk ke dalam.

you and me

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bisa ijinkan air mata utk mengalir sejenak kan? Ah, iya seandainya dpt selepas itu bicara dgn nya :") ya Ran....

Posting Komentar