Di bawah taburan gemintang,
dua anak manusia bernostalgia tentang cerita lama.
“Kenapa kamu pergi tiba-tiba, tanpa
sepatah katapun terucap untuk pamit?” tanya Rani. Matanya menatap wajah Rama
lekat-lekat, menganalisa seorang lelaki yang ia kenal sejak lama.
“Hemh?” Rama menoleh ke Rani,
meminta pertanyaannya diulang.
“Kenapa kamu pergi?”
“Aku tidak kemana-mana, aku di sini
saja?” jawabnya singkat. Ia menengadahkan wajah kembali, memandangi gemintang
kesayangannya.
“Kamu tiba-tiba menghilang, nggak bisa
dihubungi, nggak bisa ditemui, bahkan kamu nggak pernah terlihat di kampus, dua
bulan lamanya.”
“Aku ikut student exchange ....”
“Dan nggak bilang ke aku apapun
tentang itu sebelumnya!” Rani memotong ketus.
Rama diam, tetap memandangi langit.
Kalimat yang ditunggu Rani tak
kunjung keluar. Kesabarannya mulai memudar, ia merasa perlu untuk menjelaskan
bagaimana perasaannya. “Kamu tahu bagaimana rasanya ketika kamu mulai
bergantung kepada seseorang, lalu tiba-tiba orang itu menghilang?”
Rama hanya membalas dengan sebuah anggukan, matanya masih tak lepas
memandangi langit.
“Kamu tahu bagaimana rasanya ketika
kamu membutuhkan orang yang bisa kamu andalkan selama beberapa waktu
sebelumnya, kemudian orang itu tak pernah ada saat dibutuhkan?”
Rama kembali mengangguk, matanya
melihat ke sudut langit yang lain.
“Kamu mengerti bagaimana
rasanya mencari orang yang membuatmu
kehilangan, namun tak pernah sanggup menemukannya, bahkan sekedar kabarnya?”
Rama mengangguk untuk ketiga
kalinya, matanya kini menatap purnama.
“Kamu mengerti bagaimana rasanya
sebuah harapan tumbuh karena kebaikan seseorang yang bisa kamu andalkan?”
“Aku mengerti.” Kata Rama sambil
mengangguk. “Bulannya cantik.” Tambah Rama, segaris senyum tertera diwajahnya.
Rani ikut memandang purnama. Setelah
beberapa saat, muncul perasaan yang selama beberapa waktu ini mengganggunya.
“Apa kamu memahami bagaimana rasanya sebuah harapan mati bahkan sebelum ia
sanggup tumbuh?”
Rama mengalihkan pandangannya dari
purnama ke wajah Rani. “Itu masalahnya, Ran.”
Rani bergegas memandang Rama dengan
wajah serius.
“Aku mengerti kamu berharap, tapi
aku tak pernah mengharapkan itu.”
“Maksud kamu?” kedua alis Rani
beradu tepat di atas hidung.
“Aku datang kepadamu ketika aku
membutuhkan seorang teman, dan kamu aku datangi ketika sedang berbenah sehabis
kisah lama, sedang menuju kisah baru, mencari kekasih.”
“Apa itu salah?”
Rama menggeleng. “Hanya tidak tepat,
Ran. Aku tidak sedang bersiap untuk memulai kisah kasih.”
“Apa itu yang lantas membuatmu
meninggalkan aku?” mata Rani mulai berkaca-kaca.
“Harapan milikmulah yang membuatku
merasa tidak nyaman.”
“Kenapa kamu menyalahkan harapan?
Bukankah kamu pernah bilang harapan itu nyawa kehidupan?” Rani membalas dengan
pertanyaan. Ia mengucapkan dengan cepat seolah sedang merapal mantra.
“Karena aku sudah bisa menebak
kemana akhir cerita seperti ini, sudah berulangkali aku menemuinya. Aku tahu
apa yang sebaiknya aku lakukan.”
“Pergi menghilang entah kemana tanpa
sepatah katapun untuk pamit atau memberi kabar?” Rani kembali merapal mantra
untuk kedua kalinya.
“Pamitpun tak akan pernah membuatmu
siap membiarkanku pergi.”
Kini giliran Rani diam, ia tak kuasa
menahan airmata. Karena malu airmatanya dapat dilihat Rama, Rani mengarahkan wajahnya
ke purnama, membelakangi Rama.
“Bila dilanjutkan, kisah ini akan
membuat harapanmu tumbuh besar, lalu memekarkan bunga. Aku yang sedari awal tak
menyiapkan diri untuk cinta, takkan menanggapi, seharum apapun wanginya,
seindah apapun bentuk dan warnanya.”
Rani mengusapkan punggung tangannya
ke airmata yang telah sampai di pipi.
“Bunga yang mekar itu, takkan pernah
dirawat dengan baik, karena aku, yang kamu inginkan untuk merawat, tak juga
menginginkannya. Dengan pasti, perlahan-lahan bunga itu akan membusuk sia-sia.”
Rembulan tak lagi sanggup menghibur
kesedihan Rani. Ia menundukkan wajah, isak tangisnya beradu dengan angin malam.
“Aku mengerti bagaimana rasa
sakitnya ketika harapan telah tumbuh besar namun ternyata kenyataan tak pernah
sejalan, rasa sakitnya tentu sangat besar dan dalam. Kamu tahu bagaimana nanti
pendapatmu serta orang yang mengetahuinya tentang aku, yang menjadi alasan
harapan itu tumbuh? Orang jahat yang memberi harapan kosong, tak pernah
berniat untuk mewujudkannya, hanya bermain dengan rasa.”
Kata-demi kata yang Rama
ucapkan membuat airmata Rani mengalir
semakin deras.
“Padahal aku tak sekalipun ingin
bermain rasa, aku tak sedang mencari cinta. Sejak awal aku hanya ingin
memilihmu sebagai seorang teman dekat, namun hatimu bersiap untuk jatuh cinta.
Kedua hal itu berbeda jauh, dan sayang sekali kamu bersiap tidak untuk orang
yang tepat.”
“Kenapa ... kenapa kamu memilih
pergi?” tanya Rani dalam tangis. Suaranya bergetar dipaksakan.
“Aku harus memilih, sayang pilihan
yang ada tetap tak bisa membuatmu terhindar dari luka. Tapi luka yang kamu rasa
sekarang tak begitu besar, dapat diobati dalam waktu cepat. Aku juga tak bisa
menghindari dari penilaian buruk yang keluar dari dirimu. Namun tak apa aku
mendapat penilaian seperti itu, asal kamu terjaga. Tapi maaf aku tak bisa
menjagamu dengan baik.”
Rani menegakkan badan, mengusap
kedua pipinya dan kelopak matanya, menguatkan diri untuk menatap wajah Rama. “Apa
sekarang kita bisa berteman?”
Rama memandang wajah Rani
lekat-lekat. “Hatimu masih belum siap menerimaku sebagai teman, aku tak ingin
harapan itu kembali tumbuh dalam waktu dekat. Beri waktu untuk hatimu
meniadakanku dalam rasamu. Agar nanti bila kita bertemu kembali, kita tak akan
melibatkan perasaan. Ketika bertemu kembali nanti, kita berdua akan bertukar
cerita tentang perjalanan masing-masing dengan nyaman.”
Rani mengangguk pelan.
“Maafkan aku Ran, karena aku, kamu
jadi terluka.”
“Nggak papa, ini akan mengajariku
kedewasaan, dan mengajariku mawas diri, berhati-hati menitipkan rasa. Karena
sekarang aku mengerti, tidak semua orang mau, sanggup dan tepat untuk dititipi rasa.”
“Aku tak pernah menyangka, berteman
bisa menjadi serumit ini. Aku merindukan masa kanak-kanak ketika semuanya
sederhana.” kata Rama.
Mereka berdua memandang purnama
dalam waktu yang lama, menjelajahi pikiran dan perasaan masing-masing. Hingga
dingin angin malam memaksa mereka masuk ke dalam.
you and me |
1 komentar:
Bisa ijinkan air mata utk mengalir sejenak kan? Ah, iya seandainya dpt selepas itu bicara dgn nya :") ya Ran....
Posting Komentar