Kapan terakhir kali kamu mendapati
sarapan sepiring nasi putih hangat baru saja matang, sebutir telur
ceplok dengan tetesan kecap diatasnya? Kemarin? Seminggu lalu? Atau
ketika masih sekolah dulu?
Menu yang membuatmu gembira sedari
pagi, siap menghadapi tantangan apapun yang menghadang harimu. Menu
yang mengingatkanmu akan rumah, sejauh dan selama apapun kamu pergi,
kerinduanmu akan berpulang kepada sepiring nasi putih berkecap
dengan sebutir telur ceplok .
Kapan terakhir kali kamu makan siang
dengan seporsi nasi putih hangat disiram sayur asem, tempe hangat
sebagai lauknya dan sambel terasi sebagi teman paling setia? Kemarin?
Sebulan lalu? Ataukah sebelum merantau dulu?
Menu yang membuat kantukmu segera
terusir, degradasi DNA menjadi tak lagi berarti, dan semangatmu
melompat-lompat bak anak kecil di hari pertama sekolahnya. Menu yang
mengingatkanmu akan kecil-besar petualanganmu tak lepas dari resiko
yang mengajarimu tentang berproses.
Betapa sederhananya kedua menu itu,
namun berisikan kekayaan nikmat dalam setiap kunyahan. Manisnya kecap
berduet dengan gurihnya telor ceplok, segarnya sayur asem dipadu
dengan sambal terasi yang semakin memacu rasa menari eksotis di
lidah.
Kekayaan hidup bak kedua menu tersebut,
seringkali tersimpan rapi dalam hal-hal sederhana, jauh dari
kemewahan. Tuhan Yang Maha Kaya, menyimpan sejumput kekayaanNya dalam
telor ceplok dan sambal terasi.
Tuhan juga menyimpan kekayaanNya dalam
kesederhanaan lainnya. Sebanyak apapun kamu mengeluarkan uang untuk
bermacam makanan yang selain dapat memuaskan nafsu lidah juga dapat
menjaga status sosialmu, makanan yang terbaik untuk tubuhmu adalah
sayur-mayur, buah-buahan, tanpa MSG dan berbagai bahan kimia sintetis
lainnya. Sesederhana itu.
Bermacam minuman berasa dan berwarna
yang kamu konsumsi, tetap saja sudah menjadi kodrat manusia untuk
kembali ke kesederhanaan air putih. Menghilangkan dahaga sekaligus
menyehatkan tubuhmu.
Kekayaan Tuhan selalu mengelilingimu,
udara yang kamu hirup telah menyederhanakanmu untuk hidup. Manusia
akan mati tanpa udara hanya dalam beberapa menit saja. Udara yang
begitu sederhana, bahkan ia malu untuk dilihat olehmu, bersembunyi di
ketiadaan warna, ia telah memberi kekayaan bagi kelangsungan hidup.
Menyelami lautan, tak memungkinkan
bagimu untuk membawa bermacam-macam pernik untuk mempercantik diri,
cukup tabung oksigen dan peralatan selam. Mendaki gunung pun begitu,
hanya membawa perlengkapan yang dibutuhkan agar tak memberatkan
perjalanan mencapai puncak. Bahkan di Semeru, setahu saya, adalah keharusan
meninggalkan sementara segala perlengkapan yang dibawa begitu sampai
di bibir puncak. Dalam kesederhanaan seperti itu kamu menikmati
kekayaan Tuhan yang tak ternilai harganya.
Tuhan begitu sederhana dalam
kekayaannya. Untuk menikmati kekayaanNya juga dibutuhkan
kesederhanaan.
Dan sederhana bagimu bila menginginkan
menjadi kaya, maka jalan terbaik dan tercepat adalah mensyukuri
segala yang telah kamu miliki.
Kekayaan sejati adalah seberapa indah
caramu menikmati kesederhanaan hidup.
...
Sederhana selalu menjadi tolok ukur
yang eksklusif, rumah sederhana misalnya, selalu mengesankan rumah
yang asri, nyaman untuk ditinggali. Atau puisi “Aku Mencintaimu
dengan Sederhana”, menggambarkan betapa mahal dan mewahnya harga
sebuah kesederhanaan itu.
Tuhan pun juga meminta disembah dengan
cara-cara yang sederhana. Di depan Ka’bah, setiap pelaku ibadah
hanya mengenakan pakaian Ihram yang berupa lembaran kain putih. Tuhan
tidak meminta macam-macam, tidak meminta untuk berlomba-lomba
menyembahNya dengan pakaian terbaik beserta aksesoris kelas
selebritis Hollywood. Karena sulit bagi sebagian manusia untuk
meninggalkan duniawi yang selama ini susah payah ia kumpulkan dan
melahirkan status sosial baginya, Tuhan menguji melalui kesederhanaan
tersebut.
Tuhan memandang tiap manusia sama, yang
membedakan adalah keimanannya, dan yang mampu melihat keimanan
seseorang hanyalah Tuhan semata. Dengan lembaran kain putih itu,
Tuhan mengajarkan tiada bedanya antar manusia darimanapun ia berasal,
apapun warna kulit dan rambutnya. Seolah Tuhan berkata, “Beginilah
Aku melihatmu, manusia.”
Kemewahan dan keglamouran hidup
seringkali menguliti kesederhanaan kita. Menghilangkan rasa cukup,
berganti dengan rasa tak puas demi status sosial. Berujung kepada
kita yang melihat orang lain tak lagi sebagai individu, melainkan
sebagai sebuah objek, melihat dari apa yang ia pakai. Segala macam
yang melekat di tubuhnya menjadi penilaian “siapa dia”, merk yang
dipakai, dimana belinya, warna kuku, berapa karat perhiasannya,
perawatan kulit dan rambut dimana, semuanya menguapkan rasa manusiawi
kita akan kesederhanaan hidup.
“Ya Allah, letakkan dunia ditanganku
jangan letakkan dihatiku.” – Abu Bakar as sidiq
Bagi saya, ada pengertian lain dari
sederhana yaitu cukup dan seimbang. Cukup dengan yang dimiliki, dan
seimbang dalam hidup. Membagi waktu untuk keluarga, sahabat, kerjaan
dan yang terkasih adalah sebuah keseimbangan hidup, membuat hidup
kita menjadi sederhana. Dan keseimbangan hidup lainnya dalam berbagai
aspek, kesehatan, ekonomi, pendidikan, dsb.
Hidup sederhana bukan berarti tidak
boleh kaya. Saya pernah mendengar seseorang berkata, “Kaya itu
wajib, karena miskin itu dekat dengan dosa.”, namun ini tergantung
dari masing-masing individu dan bagaimana cara memandang hidup,
karena ada orang-orang yang tidak kaya namun tetap bersahaja.
“Ya Allah, hidupkan aku sebagai
orang miskin, dan matikan aku juga sebagai orang miskin, serta
kumpulkan aku pada hari kiamat bersama-sama orang-orang miskin.”
- HR. al-Tirmidzi
Bukan berarti kita harus mati dalam
keadaan tak memiliki apa-apa untuk diwariskan kepada keluarga, tetapi
miskin dalam artian kemiskinan diri akan nafsu duniawi. Karena setiap
dari kita lahir dalam keadaan suci, seringkali duniawi hanya
mengotori perjalanan hidup, memberatkan perhitungan amalan buruk di
hari akhir.
Kita lahir ke dunia dengan sederhana,
telanjang dan berbalur darah, dan kita akan meninggalkan dunia dengan
sederhana pula, telanjang dan berbalut kafan.
...
Kehidupan itu sederhana, seperti yang
terucap dalam pepatah Jawa, “Wong urip iku mung mampir ngombe”.
Sesederhana itu, dan Tuhan menyimpan
kekayaanNya dengan rapi dalam kesederhanaan telur ceplok buatan ibu
yang selalu membuat kerinduan saya berpulang ke rumah.
Selamat hidup dengan baik.
0 komentar:
Posting Komentar