Selasa, 30 April 2013

Kesederhanaan Tuhan dalam Telur Ceplok

Nyam - nyam


Kapan terakhir kali kamu mendapati sarapan sepiring nasi putih hangat baru saja matang, sebutir telur ceplok dengan tetesan kecap diatasnya? Kemarin? Seminggu lalu? Atau ketika masih sekolah dulu?

Menu yang membuatmu gembira sedari pagi, siap menghadapi tantangan apapun yang menghadang harimu. Menu yang mengingatkanmu akan rumah, sejauh dan selama apapun kamu pergi, kerinduanmu akan berpulang kepada sepiring nasi putih berkecap dengan sebutir telur ceplok .

Kapan terakhir kali kamu makan siang dengan seporsi nasi putih hangat disiram sayur asem, tempe hangat sebagai lauknya dan sambel terasi sebagi teman paling setia? Kemarin? Sebulan lalu? Ataukah sebelum merantau dulu? 

Menu yang membuat kantukmu segera terusir, degradasi DNA menjadi tak lagi berarti, dan semangatmu melompat-lompat bak anak kecil di hari pertama sekolahnya. Menu yang mengingatkanmu akan kecil-besar petualanganmu tak lepas dari resiko yang mengajarimu tentang berproses.

Betapa sederhananya kedua menu itu, namun berisikan kekayaan nikmat dalam setiap kunyahan. Manisnya kecap berduet dengan gurihnya telor ceplok, segarnya sayur asem dipadu dengan sambal terasi yang semakin memacu rasa menari eksotis di lidah.

Kekayaan hidup bak kedua menu tersebut, seringkali tersimpan rapi dalam hal-hal sederhana, jauh dari kemewahan. Tuhan Yang Maha Kaya, menyimpan sejumput kekayaanNya dalam telor ceplok dan sambal terasi.

Tuhan juga menyimpan kekayaanNya dalam kesederhanaan lainnya. Sebanyak apapun kamu mengeluarkan uang untuk bermacam makanan yang selain dapat memuaskan nafsu lidah juga dapat menjaga status sosialmu, makanan yang terbaik untuk tubuhmu adalah sayur-mayur, buah-buahan, tanpa MSG dan berbagai bahan kimia sintetis lainnya. Sesederhana itu.

Bermacam minuman berasa dan berwarna yang kamu konsumsi, tetap saja sudah menjadi kodrat manusia untuk kembali ke kesederhanaan air putih. Menghilangkan dahaga sekaligus menyehatkan tubuhmu.
Kekayaan Tuhan selalu mengelilingimu, udara yang kamu hirup telah menyederhanakanmu untuk hidup. Manusia akan mati tanpa udara hanya dalam beberapa menit saja. Udara yang begitu sederhana, bahkan ia malu untuk dilihat olehmu, bersembunyi di ketiadaan warna, ia telah memberi kekayaan bagi kelangsungan hidup.

Menyelami lautan, tak memungkinkan bagimu untuk membawa bermacam-macam pernik untuk mempercantik diri, cukup tabung oksigen dan peralatan selam. Mendaki gunung pun begitu, hanya membawa perlengkapan yang dibutuhkan agar tak memberatkan perjalanan mencapai puncak. Bahkan di Semeru, setahu saya, adalah keharusan meninggalkan sementara segala perlengkapan yang dibawa begitu sampai di bibir puncak. Dalam kesederhanaan seperti itu kamu menikmati kekayaan Tuhan yang tak ternilai harganya.

Tuhan begitu sederhana dalam kekayaannya. Untuk menikmati kekayaanNya juga dibutuhkan kesederhanaan.

Dan sederhana bagimu bila menginginkan menjadi kaya, maka jalan terbaik dan tercepat adalah mensyukuri segala yang telah kamu miliki.

Kekayaan sejati adalah seberapa indah caramu menikmati kesederhanaan hidup.
...

Sederhana selalu menjadi tolok ukur yang eksklusif, rumah sederhana misalnya, selalu mengesankan rumah yang asri, nyaman untuk ditinggali. Atau puisi “Aku Mencintaimu dengan Sederhana”, menggambarkan betapa mahal dan mewahnya harga sebuah kesederhanaan itu.

Tuhan pun juga meminta disembah dengan cara-cara yang sederhana. Di depan Ka’bah, setiap pelaku ibadah hanya mengenakan pakaian Ihram yang berupa lembaran kain putih. Tuhan tidak meminta macam-macam, tidak meminta untuk berlomba-lomba menyembahNya dengan pakaian terbaik beserta aksesoris kelas selebritis Hollywood. Karena sulit bagi sebagian manusia untuk meninggalkan duniawi yang selama ini susah payah ia kumpulkan dan melahirkan status sosial baginya, Tuhan menguji melalui kesederhanaan tersebut. 

Tuhan memandang tiap manusia sama, yang membedakan adalah keimanannya, dan yang mampu melihat keimanan seseorang hanyalah Tuhan semata. Dengan lembaran kain putih itu, Tuhan mengajarkan tiada bedanya antar manusia darimanapun ia berasal, apapun warna kulit dan rambutnya. Seolah Tuhan berkata, “Beginilah Aku melihatmu, manusia.”

Kemewahan dan keglamouran hidup seringkali menguliti kesederhanaan kita. Menghilangkan rasa cukup, berganti dengan rasa tak puas demi status sosial. Berujung kepada kita yang melihat orang lain tak lagi sebagai individu, melainkan sebagai sebuah objek, melihat dari apa yang ia pakai. Segala macam yang melekat di tubuhnya menjadi penilaian “siapa dia”, merk yang dipakai, dimana belinya, warna kuku, berapa karat perhiasannya, perawatan kulit dan rambut dimana, semuanya menguapkan rasa manusiawi kita akan kesederhanaan hidup.

“Ya Allah, letakkan dunia ditanganku jangan letakkan dihatiku.” – Abu Bakar as sidiq

Bagi saya, ada pengertian lain dari sederhana yaitu cukup dan seimbang. Cukup dengan yang dimiliki, dan seimbang dalam hidup. Membagi waktu untuk keluarga, sahabat, kerjaan dan yang terkasih adalah sebuah keseimbangan hidup, membuat hidup kita menjadi sederhana. Dan keseimbangan hidup lainnya dalam berbagai aspek, kesehatan, ekonomi, pendidikan, dsb.

Hidup sederhana bukan berarti tidak boleh kaya. Saya pernah mendengar seseorang berkata, “Kaya itu wajib, karena miskin itu dekat dengan dosa.”, namun ini tergantung dari masing-masing individu dan bagaimana cara memandang hidup, karena ada orang-orang yang tidak kaya namun tetap bersahaja.

Ya Allah, hidupkan aku sebagai orang miskin, dan matikan aku juga sebagai orang miskin, serta kumpulkan aku pada hari kiamat bersama-sama orang-orang miskin.” - HR. al-Tirmidzi

Bukan berarti kita harus mati dalam keadaan tak memiliki apa-apa untuk diwariskan kepada keluarga, tetapi miskin dalam artian kemiskinan diri akan nafsu duniawi. Karena setiap dari kita lahir dalam keadaan suci, seringkali duniawi hanya mengotori perjalanan hidup, memberatkan perhitungan amalan buruk di hari akhir.

Kita lahir ke dunia dengan sederhana, telanjang dan berbalur darah, dan kita akan meninggalkan dunia dengan sederhana pula, telanjang dan berbalut kafan.
...

Kehidupan itu sederhana, seperti yang terucap dalam pepatah Jawa, “Wong urip iku mung mampir ngombe”.
Sesederhana itu, dan Tuhan menyimpan kekayaanNya dengan rapi dalam kesederhanaan telur ceplok buatan ibu yang selalu membuat kerinduan saya berpulang ke rumah.

Selamat hidup dengan baik.

0 komentar:

Posting Komentar