Selasa, 30 April 2013

Tak Ingin Separuh

 




“Bagus nggak?” Nina menyodorkan sketsa yang dibuatnya sejak awal duduk di kafe.

Radit menoleh, mengamati sketsa yang disodorkan Nina sebentar, kemudian mengangguk pelan. Ia kembali ke game yang dimainkannya sejak awal duduk.

“Bagus nggak?”

“Iya...”

“Bagus nggak?” Nina memberi penekanan dalam perkataannya.

Radit kembali menoleh, ia menggariskan senyum di wajah, “Iya, bagus....” Lalu ia kembali ke game.

Nina yang tidak puas dengan jawaban Radit mengambil game dengan paksa. Radit mengambil sketsa Nina dan spidol hitam di meja.

Radit diam beberapa saat mengamati sketsa Nina dengan serius. “Emh, udah bagus. Lebih bagus lagi kalo warnanya diganti, komposisinya kurang ngena soalnya. Mungkin bisa diganti biru agak gelap atau biru yang lebih muda sepertinya bagus. Biru seperti spidol itu.” Radit menunjuk ke sekumpulan spidol di meja.

“Makasih....” kata Nina, sembari mengembalikan game yang ia sita.

Nina dan Radit adalah sahabat lama. Malam sabtu adalah agenda rutin mereka berdua untuk bertemu, bertukar cerita setelah disibukkan dengan kuliah dan kerja masing-masing. Agenda wajib itu dapat ditambah dengan malam minggu bila Radit tidak sedang menjalin hubungan dengan perempuan.

“Selesai!!
 
Mendengar itu, Radit langsung mematikan game dan meletakkan di meja. Ia meminum pesanannya dan membuat posisi duduk senyaman mungkin untuk bercerita.

“Jadi ada cerita apa nih?” tanya Nina.

“Kayaknya aku sama Gea mau putus aja deh.” Radit berkata to the point.

Nina mengerutkan dahi, membuat kedua alis matanya yang indah bertemu tepat di atas hidung mancungnya.

Tanpa perlu ada kalimat tanya dari Nina lagi, Radit meneruskan ceritanya. “Yah, gimana ya, akhir-akhir ini kerjaanku lagi banyak banget, Gea dikampus juga banyak kegiatan, kita jarang banget ketemu. Ngerasa jauh aja.”

“Tapi kan cuma buat sementara waktu?”

“Iya, tapi dia juga sering banget marah. Katanya aku cuek, cari-cari alasan dan banyak lagi. Capek kalo mesti nurutin dia terus.”

Kemudian cerita Radit tentang Gea berlangsung cukup lama, beberapa kali Nina memberi saran agar tetap melanjutkan hubungan, tapi sepertinya Radit sudah mantap dengan pilihannya untuk mengakhiri hubungan.

“Yah, mau gimana lagi, kayaknya kamu emang belum jodoh buat jalanin hubungan buat waktu yang lama.” ledek Nina yang disambut Radit dengan tawa. “Paling lama juga nggak sampe setahun. Sama siapa dulu itu yang duta pariwisata, yang sekampus sama aku?”

“Rani.”

“Iya, Rani. Aku masih sering loh ketemu dia dikampus, mau titip salam? Ha... ha....”

“Apaan ah. Kamu sendiri gimana? Udah ada yang deketin?” tanya Radit to the point.

“Ada sih, tapi yah ... kamu tahu kan aku gimana.”

“Kenapa sih kamu sekekeuh itu megang prinsip itu? Cowok-cowok yang deketin kamu kurang apalagi coba.”

“Mungkin kurang sabar nunggu. Haha....”

Radit mengambil kentang goreng, memasukkannya ke dalam mulut. “Mau ditunggu sampe kapan lagi?”

“Sampe aku siap.”

“Kenapa sih harus nunggu sampe kamu siap? Kita kan masih muda, lagian ada juga kok dari mereka yang beneran suka sama kamu bukan karena kamu ada apanya.”

“Karena masa lalu udah cukup ngasih aku pelajaran, lagian kalo emang beneran suka harusnya mereka menghargai prinsipku dong, cinta kan memberi ruang bukan mengekang.”

“Kamu masih sakit hati sama Dio?”

Nina menggelengkan kepala sambil meminum pesanannya. “Sakit hati dan orang yang belajar itu beda.”

“Apa bedanya?”

“Sakit hati itu, masih suka ingat-ingat kesalahan, terus sedih, nyesel dulu pernah terjadi. Kalo aku nggak gitu, di kampus hampir tiap hari ketemu, kadang makan bareng di kantin. Udah nggak ada sakit hati.”

“Kalo yang belajar?”

“Yah, ambil sisi baik dari yang udah terjadi, simpan baik-baik, jadiin antisipasi buat masa depan. Kesalahan masa lalu udah dimaafin dengan baik, tapi bukan berarti aku bisa lupa gitu aja.”

“Trauma itu nggak baik, menilai semua orang sama dengan mantan kamu berarti. Kan nggak semua laki-laki sama.”

“Kadang aku ngerasa ingin sekali menjalin hubungan lagi seperti yang lain, tapi kemudian aku berpikir, kenapa sih harus susah-susah menjalin hubungan kalau akhirnya pisah juga?”
“Akhir segala sesuatu kan ngga ada yang tahu, Nin.”

“Tapi setiap cowok yang pdkt, kalo aku tanya tentang nikah, jawabannya selalu ah, itu kan masih jauh. Ah, kita kan masih muda. Ah, senang-senang dulu lah. Aku nggak bisa main-main kayak gitu.”

“Tapi mereka kan bener.”

“Ah, pikiran kamu sama juga ternyata....”

“Nggak juga sih, kalo aku juga mikir kayak gitu, menurut kamu aku cari kerjaan, cari pengalaman sejak dulu buat apa. Memperbaiki diri itu kan usaha untuk memperbaiki jodoh juga. Memperbaiki diri sejak dini itu usaha untuk mendapat jodoh yang terbaik. Bagiku, nikah itu ibadah. Sejauh apapun jarak kita sekarang dengan standard umur nikah, dan juga karena sudah dewasa, sedikit atau banyak harus ada tujuan hidup yang menuju kesana.” Jelas Radit panjang lebar. “Masih mau tetep sendiri?”

“Yah, mungkin saat ini aku belum ketemu aja sama cowok yang nggak mandang dari segi fisik atau apa yang aku punya. Nggak salah sebenernya kalau aku punya gambaran cowok yang bakal nemanin hidupku itu mesti lihat juga aku sebenarnya kayak gimana. Istilahnya mencintai dengan utuh.”

“Semoga cepat ketemu lah, kasian cantik-cantik tapi jomblo lama ... ha ... ha ... ha ....”

Rina menanggapi ledekan sahabatnya itu dengan tawa kecil.
...





Apa yang dikatakan Nina terakhir kali dalam pembicaraan tersebut telah menghantui saya beberapa waktu ini. Apa boleh kita mencintai sesorang dari segi fisiknya? Terkesan klise, tapi nggak munafik seringkali saya mengagumi seseorang lewat penampilannya terlebih dahulu. Pertanyaan itu berdiam cukup lama sampai saya menemukan tulisan manis seorang perempuan bermata belo yang mengutip sebuah film.


Daddy: Kenapa kamu terus mengikutinya? Kenapa kamu begitu menyukainya?

Daughter: Entahlah, ada sesuatu di matanya ... mereka bersinar begitu saja di mataku.

Daddy: Lalu bagaimana dengan dirinya?

Daughter: Maksudnya?

Daddy: Kamu tidak boleh menilai sesuatu setengah-setengah, sayang.

Daughter: Maksudnya, Yah?

Daddy: Kamu tahu sayang ... sapi hanyalah sapi. Padang rumput hanyalah rumput. Bunga hanyalah bunga. Sinar matahari yang jatuh di sela-sela pohon, hanyalah pantulan cahaya. Tapi saat kamu melihatnya bersamaan, they can be a magic. Saat kamu memutuskan untuk menyukai sesuatu atau seseorang, kmau harus melihatnya secara utuh, bukan separuh-paruh. Mata , hanyalah mata sayang. Belum tentu setelah kamu melihat semua bagian dari dirinya, dia akan tetap sama bersinarnya di matamu.

Daughter: Aku akan mengingatnya baik-baik.

*percakapan ditulis seorang perempuan bermata belo yang terinspirasi oleh fil Flipped*


Seringkali saya terjebak dalam pandangan duniawi, melihat seseorang dari fisiknya, melupakan bagaimana hatinya. Saya lupa, di luar sana banyak kosmetik dengan harga mulai dari murah hingga hanya dapat dibeli oleh kalangan tertentu, yang dapat membuat seseorang menjadi lebih cantik atau tampan.


Ada hati yang terlewatkan dari penglihatan. Pribadi seseorang belum tentu dapat dipastikan dari bagaimana kecantikan seseorang bermula. Telah banyak contohnya mereka yang fisiknya mendapatkan nilai sembilan, tetapi perilakunya jauh dibawah angka rata-rata, pun sebaliknya.


Seringkali saya mengatakan, “Tampan kalau nggak bisa bikin nyaman ya percuma ....” Tapi saya  lupa kata-kata saya sendiri.


Kenyamanan itu seringkali saya lupakan, mereka yang dari segi fisik menarik tak selamanya akan berbanding lurus dalam hal membuat saya nyaman. Kekaguman akan fisik yang ia miliki bisa saja membutakan hati untuk merasai kepribadian dan hal lain yang ia punya.


Ia yang sempurna dimatamu, belum tentu sempurna melengkapi kelemahanmu” – gadis bermata belo.


Sebagaimana saya yang tidak ingin ditinggalkan karena kelemahan, dan juga tidak ingin disayangi karena sejumput kelebihan, sudah sebaiknya saya berhenti menilai seseorang dari fisiknya semata. Karena di kemudian hari, yang sering saya dapati, kesempurnaan fisik yang saya kagumi di awal hanya menjadi kehampaan yang menyesakkan di akhir. Seperti kata percakapan diatas, Belum tentu setelah kamu melihat semua bagian dari dirinya, dia akan tetap sama bersinarnya di matamu.


Jatuh cinta karena saya telah memastikan bahwa saya menyayanginya dengan utuh bukan separuh-separuh adalah hal yang perlu saya putuskan sebelum mengungkapkan rasa. Sebagaimana saya sadar jatuh cinta tak selalu baik bila mudah terjadi, karena seringkali ia akan menghilang dengan cepat setelah kekurangan muncul ke permukaan.


Sebagaimana saya yang menginginkan untuk diinginkan secara utuh bukan separuh-separuh, karena bagaimanapun juga saya adalah sebuah paket dimana di dalamnya berisikan kelebihan-kekurangan, kekuatan-kelemahan, serta kebaikan dan keburukan. Mulai detik ini saya akan belajar untuk menginginkanmu dengan utuh. Baik kekasih, sahabat atau siapa saja yang saya pilih untuk menjadi kotak cerita.


Mungkin selama ini saya lupa segala sesuatu, termasuk fisik hanyalah titipan, dan Tuhan yang memiliki segalanya saja melihat manusia tidak berdasarkan fisik semata. Mungkin sebuah ujian pendewasaan bagi saya, bahwa ada yang jauh lebih penting dari kecantikan atau ketampanan, ia tak akan terlihat oleh mata, karena apa yang terlihat oleh mata kebanyakan hanyalah duniawi semata, dan itu juga bentuk ujian dalam hidup.




Hidup tak sekedar masalah fisik, karena lebih dari itu masih banyak hal yang jauh lebih asyik.


Selamat melihat seseorang dengan lebih baik.
Dan, selamat hidup dengan baik.


0 komentar:

Posting Komentar