Sabtu, 27 Oktober 2012

Semoga Tak Satupun Malaikat Tahu



Namaku Nade.
Sedikit terdengar seperti orang Bali karena namaku serupa dengan kata MADE, tapi aku murni keturunan Jawa. Ini adalah sebuah catatan yang aku tak ingin dibaca satupun malaikat. Aku khawatir setelah malaikat mengintip catatan ini, ia akan berhenti mendoakan hal-hal baik untukku, ia lebih sibuk untuk bersandar di pundakku sambil menangis. Aku enggan untuk menenangkannya, karena aku tak pernah tahu cara untuk membuat tangisan malaikat berhenti.

Aku terlahir dengan kebutuhan khusus. Butuh untuk disayangi dan mendapatkan perhatian lebih. Setahun yang lalu, Mbakku harus lebih dulu meninggalkan sisa-sisa manusia di Bumi. Satu-satunya saudara kandung yang tawa lepasnya mengingatkanku kepada kebebasan, lengkingan pertengkaran kami yang mengajarkanku tentang mempertahankan diri - dari omelan-omelan, dan perhatiannya yang tak akan pernah tergantikan, karena ia saudara kandungku satu-satunya.

Ketika itu, aku sampai di kota kelahiran tepat saat adzan maghrib memanggil makhluk bumi untuk pulang. Sebuah berita kurang mengenakkan menyambutku dengan tangan terbuka. Mungkin karena fisikku yang lelah membuat telingaku tak menangkap berita itu dengan kesedihan mendalam. Aku hanya ingin segera bergegas merebahkan diri di atas kasur kesayangan setelah lebih dari 12 jam badan dirajam kursi bus malam.

Tengah malam mulai mengintai detik demi detik ketika jarum jam berdiri hampir sejajar di angka 12. Sebuah berita duka membangunkanku dari kantuk jauh lebih efektif daripada segalon kopi terbaik di muka bumi. Aku tak tahu harus ... bagaimana. Sejuta rasa minor - sedih, duka, dan sejuta namanya yang lain - silih berganti menampakkan wajah aslinya. Sejuta kenangan diputar secara terbalik membentuk lansekap yang sangat layak untuk ditangisi. Sepupuku, memintaku untuk duduk dan sebuah gelas berisi air putih dingin ia berikan.

Dan kini aku tahu harus bagaimana. Jemari menghapus airmata serampangan. Mengenang kembali sosok Mbak yang aku sayangi, yang sangat aku kenal, mengantarkanku kepada sebuah pelajaran baru. Sedih bukanlah untuk dinikmati, meskipun kesedihan selalu layak untuk ditangisi. 

Air mata enggan turun, kemudian. Mungkin, bahkan airmata pun tak sanggup mengekspresikan betapa kehilangannya aku tengah malam itu. Aku pun hanya duduk melamun menunggu Mbakku pulang ke rumah untuk terakhir kalinya. 

Waktu yang bergerak melambat tak sanggup membuatku lebih terkejut lagi selepas berita duka yang paling mengejutkan yang pernah aku dengar hingga detik ini. Satu persatu keluarga jauh datang. Dari halaman isak tangis meramaikan malam yang biasanya sunyi di komplek. Air mata bergerak dari pipi-pipi keluarga, berjatuhan menimpa tubuhku serabutan. Aku ... sangat ingin meneteskan airmata, tapi ... aku sudah mengatakannya kepada diri, sedih bukanlah untuk dinikmati, meskipun ia selalu layak untuk ditangisi. Menangis adalah cara terbaik untuk menikmati kesedihan - aku tak mau menikmatinya.

Raungan sirine menggedor-gedor tiap pintu rumah sepanjang jalan yang dilewati. Sebuah kotak dari kayu berukuran 2 x 0,5 meter diturunkan perlahan dari mobil - yang sangat aku takutkan untuk bertemu dikemudian hari. Mbakku pulang.

Ibu dan Bapak menyusul masuk rumah. Aku tak tahu kehilangan dan kesedihan sebesar apa yang dirasakan Ibu, yang aku tahu rasanya pasti bermilyar pangkat bermilyar kali lebih besar dari yang aku rasakan. Ibu kehilangan anak yang ia rawat penuh kasih sayang. Kasih sayang yang tak akan sanggup dibatasi bahkan oleh ujung-ujung semesta. 

Sebentuk Yassin menyambut kepulangan Mbakku tanpa satupun kemeriahan kecuali dua suara fals dariku dan sepupuku. Berbaris kalimat kuhaturkan kepada Yang Maha Memiliki, memohon agar Mbakku dijaga baik-baik dalam pelukanNya.
...

Matahari bersinar redup di pagi hari. Pertanda ia pun berduka, sama dengan kami yang sedang berdiri bersiap mengantar Mbakku ke tempat semua manusia beristirahat panjang. Adzan berkumandang syahdu dari mulutku. Terlalu syahdu bahkan untuk diriku sendiri. Ucapan selamat tinggal terbaik yang bisa kukatakan.

Mbakku pun pergi dari rumah untuk yang terakhir kalinya.
...

Kesedihan bukanlah untuk dinikmati, meskipun ia selalu layak untuk ditangisi. Aku memilih membiarkan diriku bersedih di dalam hati. Menyembunyikannya untuk diriku sendiri. Menyampulinya dengan canda dan tawa bersama sahabat yang datang dengan niatan berduka. Orang-orang yang lalu lalang melewatiku untuk menyalami Ibu dan Bapak melihatku dengan pandangan yang agak aneh. Mereka hanya saja tak mengerti bagaimana luar biasa sulitnya aku menahan sejuta kesedihan dan kehilangan yang setiap detik selalu layak ditangisi. 

Aku hanya ingin menghormati kepergian Mbakku yang terakhir kalinya dengan caraku sendiri. Karena sosok yang aku sayang - yang aku kenal, adalah Mbak yang periang, yang ramah, yang sanggup membawa keramaian dalam hidup. Yang tak akan pernah terganti.

Aku hanya ingin menyampaikan pesan bahwa aku akan tetap hidup dengan bahagia, dengan caraku sendiri meskipun tak ada lagi sosok kakak yang selama ini aku miliki. Aku hanya ingin mengabulkan inginnya agar aku sanggup hidup mandiri. Dan sejak ia meninggalkan rumah untuk terakhir kalinya, aku mencoba untuk mengabulkan inginnya atas nama kasih sayang seorang adik yang manja.
...

Sudah setahun berlalu, kini aku telah menjadi remaja yang mandiri. Dan sebentar lagi aku akan menjadi seorang dewasa yang dapat digenggam setiap janjinya. Aku akan hidup dengan baik.
Semoga tak ada satupun malaikat yang tahu.

- Untuk adek yang sedang menganyam kenyataan mimpi di ibu kota, semoga apapun yang sedang kau anyam adalah kebanggaan bagi kami yang selalu berdiri di sepanjang bangku penonton untuk menyemangatimu, dan lebih penting lagi apa yang sedang kau anyam adalah bahagia hidupmu. Hiduplah dengan baik. -

1 komentar:

Anonim mengatakan...

good job :)

Posting Komentar