Rabu, 13 Agustus 2014

Tidak Ada Lagi Seandainya



Persis seperti beberapa waktu sebelum meninggalkan Bogor. Saya banyak mengorbankan waktu tidur saya untuk merenung. Keadaan saat ini memang tak seburuk kala itu, tetapi keputusan yang saya ambil sekarang akan membuktikan kepada diri saya sendiri apakah saya masih kekanakan atau sudah lebih dewasa mengambil sikap.

Rencana detail memang baru saya tuliskan setelah dosen penguji memutuskan saya lulus dan berhak menyandang gelar sarjana, namun kemana saya pergi setelah ini sudah mantap dihati. Keputusan ini tidak mudah diambil, namun tidak pula berat ... entah kenapa, keputusan kali ini tidak membuat saya setakut ketika memutuskan meninggalkan Bogor, namun mulai muncul antusias yang serupa.

Tidak butuh waktu lama untuk menentukan pilihan kemana langkah selanjutnya dipijakkan. Semuanya seolah reflek dari pengalaman perjalanan selama ini. Saya hanya perlu menggunakan jemari tangan untuk menghitung prioritas mana yang perlu didahulukan. Setelah menghela nafas, sayapun rela mimpi saya ditunda untuk sementara waktu. Mimpi saya berjumpa dengan realitas, dari perjumpaan itu lahirlah kompromi yang bernama realitas.

...

Pindah ke Surabaya adalah salah satu kisah saya perihal memanjakan ego terlampau sangat....

Jejeran tas besar berderet di depan warung nasi pecel stasiun Babat, menunggu Bapak menjemput subuh kala itu. Wajahnya jelas menyirat kecewa, kerutannya bertanya, "mengapa anaknya menyerah secepat itu?".

Beberapa bulan di rumah tanpa kegiatan yang berarti membuat Ibu khawatir. Pada dasarnya Ibu memang suka khawatir terhadap berbagai hal yang sebenarnya baik-baik saja. Tak ingin kekhawatiran itu berlarut-larut, saya mengunjungi teman-teman di kota-kota besar. Bercengkerama dengan kehidupan kampus demi menjaga semangat tak padam, memelihara rasa ingin kembali ke dunia civitas akademika.

Ibu bertanya apakah saya yakin memilih farmasi ketika pengumuman menampilkan nama saya disana. Saya pun menjawab tanpa ragu, bercampur sedikit sesal, bangga serta haru. Perjalanan sunyi akhirnya usai.

Bila bertanya kepada teman-teman saya di fakultas ini, mungkin akan dapat jawaban yang hampir sama, ada rasa sesal saya pindah ke tempat ini. Jujur, saya tidak menyukai lingkungannya. Dan saya akui, memang saya gagal beradaptasi dengan baik. Bisa sampai di titik ini adalah satu perjuangan yang pahit-setidaknya dari sudut pandang saya-yang panjang. Ini adalah sisi kekanakan saya.

Meskipun pahit, tidak semua perjalanan kelam. Saya berterimakasih karena pindah ke Surabaya, membuat keadaan rumah jauh lebih baik. Entah apa jadinya bila saya menetap lama di Bogor.

...

Perjalanan selanjutnya adalah tentang belajar tidak ada seandainya. Berandai-andai adalah pekerjaan yang membuang waktu, karena setiap kata andai berada di luar kuasa manusia.

Kedewasaan tidak akan memberi ruang pada seandainya. Hanya akan ada pilihan dan resiko yang tidak dapat dipilih salah satu, karena mereka selalu datang berurutan.

Dengan tangan terbuka, saya akan menyambut resiko serupa saya antusias memilih perjalanan selanjutnya. Tidak akan ada lagi penyesalan yang menyesatkan.

Bye....


0 komentar:

Posting Komentar