Jumat, 17 Januari 2014

Subuh Merah Jambu




“Pinjem laporan lo dong, Put”

“Ini, kak.”

Jatuh cinta memang unik, beberapa harus rumit, beberapa memang bisa datang lewat kesederhanaan. Seperti sebuah transaksi pinjam-meminjam laporan praktikum di sebuah laboratorium kedokteran hewan IPB.

Lewat kesederhanaan itulah pertama kalinya Radit merasakan ada yang menggelitik diafragmanya saat menatap wajah bulat Putri dengan hiasan kacamata. Putri manis, itu pertama kali kesan yang didapat Radit. Ia coba menepis perasaan yang ia anggap hanya kekaguman semata. Perasaan yang sangat menganggu.

Sementara Putri, tak ada sedikitpun getar yang ia rasakan. Hatinya telah tertutup untuk orang lain. Ia telah memutuskan untuk menambatkan hatinya kepada seorang kakak angkatan. Walaupun cowok itu tak kunjung mengungkapkan perasaannya secara nyata, tapi Putri rela untuk menunggu, karena ia tidak sedang buru-buru.

Witing tresno jalaran soko kulino.

Peribahasa jawa yang mungkin sudah ada sejak pulau Jawa dihuni manusia, peribahasa yang kebenarannya tak perlu lagi diuji, hanya perlu diyakini.

Radit, mahasiswa kedokteran hewan angkatan 45, tahun lalu cuti karena ia sedang menyelesaikan proyek besar. Sekarang ia melunasi jatah semester tiga yang dibiarkan terbengkalai, artinya ia harus menjalani kuliah bersama adik angkatannya. Baginya ini adalah tempat yang tidak nyaman, tak ada satupun anak yang dikenal, beda umur baginya sama dengan beda jalan pikir, tentu perlu adaptasi lagi.

Hari demi hari, berjalan sangat lambat bagi Radit, bahkan ia merasa bisa jalan lebih cepat daripada putaran waktu. Ia bosan, jengah dengan keadaan yang sama sekali tidak memberinya kebahagiaan. Setiap hari dikelas selalu saja sama, hanya ada dirinya, dosen membosankan, dan rasa kesepian.

Di saat ia benar-benar ingin menyerah, ia kenal dengan seorang cewek ceplas-ceplos, tawa lepas, dan suka nyolot tapi cengeng. Satu-satunya yang menguatkan disaat ia seharusnya hancur, cewek yang juga membuatnya tertarik untuk masuk ke dunia barunya. Sesuatu yang tidak ia dapatkan dari orang sekitarnya, bahkan tidak dari kekasihnya.

Semakin ia mengenal Putri, frekuensi perasaan deg-degan lebih sering muncul. Ia sudah punya kekasih, tak mungkin bila harus menyakiti kekasih dan seenak hatinya memilih Putri sebagai pengganti. Perasaan itu ia coba buang jauh-jauh, namun entah kenapa perasaan itu jauh lebih kuat dari dirinya sendiri, perasaan itu terus saja kembali setiap kali ia bertemu dengan Putri, menatap matanya, mendengar suaranya, dan menikmati tawanya.

Pertemuan demi pertemuan telah membuat perasaan itu tumbuh semakin besar, seperti sebuah zat kimia yang bila diberi pereaksi berlebih akan membuat endapan mencolok. Ia akhirnya mengaku, ia rindu, tapi dia ragu dengan keadaan, apakah semesta akan bekerja sama dengannya untuk melarutkan rindu?

Ia hanya ingin bertemu. Ia rindu, tapi ia takut, ia tahu perasaan rindu yang sudah akut akan segera melahirkan sesuatu yang lebih besar lagi daripada sekedar kagum. Rindu itu akan melahirkan cinta.
Saat ini Radit hanya ingin bertemu.
...
Putri, mahasiswi yang mendamba kedokteran gigi tapi tersesat ke sebuah institut yang fokus ke masalah pertanian. Tapi setidaknya ia akan tetap lulus dengan gelar dokter, walaupun ada embel-embel kata hewan yang membuntuti gelar dokternya nanti. Ia sadar, cinta tak pernah salah, kapanpun waktunya, dimanapun tempatnya, dan dengan siapa ia jatuh cinta.

Seorang asisten praktikum telah membiusnya dengan perasaan yang telah lama ia rindukan, rasa suka. Ia telah jatuh ke dalam perhatian kak Irfan, asisten praktikum biokimianya. Ia semakin menikmati hari-hari dimana ia bisa tersenyum-senyum sendiri hanya dengan imaji yang melukiskan kak Irfan, menikmati saat ia tersipu malu diantara curi-curi pandang wajah kak Irfan, menikmati saat ia diam membisu ketika kak Irfan mengajaknya bicara.

Putri tentu bisa menebak perasaan apa yang sedang ia rasakan saat ini, perasaan sama yang ia rasakan beberapa kali dengan orang yang berbeda dulu. Tak salah lagi, ini adalah perasaan jatuh cinta.

Putri jatuh cinta dengan kak Irfan.
. . .
Radit sudah lelah dengan kehidupannya yang begitu-begitu saja. Semakin hari hidupnya semakin berantakan, kuliahnya tak beraturan, dan parahnya antara ia dan Tuhan pun semakin berjauhan. Ia lelah, ia ingin berubah, ia memiliki niat tapi tak memiliki kekuatan, lebih tepatnya ia tak punya seseorang yang menguatkan.

Ina, kekasih Radit yang juga kuliah di kampus yang sama, memang sering mengingatkan beribadah, menasehati kebiasaan buruk Radit. Tapi Radit hanya menganggapnya angin lalu, karena Ina setali tiga uang dengannya. Ina hanya pandai bicara dan menasehati, tapi ia tak pernah memberi contoh yang kongkret untuk Radit.

Radit tidak hanya butuh nasehat atau sekedar alarm beribadah, ia butuh seseorang yang juga memberi contoh karena ia tak tahu arah. Radit butuh seseorang yang mau berjalan beriringan dengannya, menggandeng tangannya tanpa lelah. Ia butuh teman dalam perjalanan yang ingin ditempuh.

Ina tak lagi menjadi prioritas utamanya saat ini, ia bosan. Ina terlalu membuat Radit menunggu lama, menunggu kesiapan Ina menjadi teman perjalanannya. Radit memutuskan kembali membuka hatinya yang sudah sesak dengan kasih sayang Ina. Ia mulai mencari, dan kini ia menemukan pribadi yang sangat dia butuhkan, ia menemukan Putri. Tapi sayang semesta tak mau bekerja sama dengannya. Ia harus menelan kenyataan pahit bahwa Putri menyukai kak Irfan, kak Irfan juga sebaliknya. Di sisi lain, Ina semakin memberikan perhatian yang lebih kepadanya. Kenyataan yang sangat menyebalkan baginya.
. . .
Semakin hari hubungan Putri dengan kak Irfan tak lagi berjarak. Ia kini telah memutuskan untuk memberikan tempat istimewa yang telah lama ia kunci rapat-rapat, ia memberikan ruang hatinya untuk kak Irfan isi.

Hari-hari di Bogor sekarang tak hanya diisi panas matahari dan dingin hujan, sekarang ada sejuknya musim semi yang melengkapi hari-hari Putri. Kesejukan itu ia dapatkan dari kak Irfan.

Perhatian kak Irfan benar-benar membuat Putri luluh. Ia menyukai saat kak Irfan komat-kamit mengajari biokimia yang menyebalkan, menyukai saat kak Irfan meledeknya dan ia balas meledek, menyukai saat tertawa, menyukai saat jalan bareng, menyukai saat mereka berhadapan sambil mengunyah makanan di sebuah tempat makan yang berjejeran di sepanjang Bara.

Putri sangat menyukai kebersamaan ini, ia sangat ingin segera ada yang menemukan alat untuk membekukan waktu, sehingga ia tak perlu berlalu dari saat-saat seperti ini, ia hanya ingin kak Irfan, kebersamaan dengannya dan waktu yang membeku.

Sayang, waktu terus saja berlalu tanpa mau tahu.
. . .
Hubungan Radit dan Ina kini telah memiliki celah, sadar ataupun tidak, celah itu terus saja membesar bermetamorfosis menjadi sebuah lubang. Radit merasa tak sanggup bila harus terus seperti ini, ia harus bicara jujur ke Ina, tapi untuk sekarang ia tak tahu bagaimana cara mengatakannya dan kapan waktu yang tepat untuk mengatakannya.

Melihat kedekatan Putri dengan kak Irfan membuatnya semakin sedih. Ia jenuh dengan Ina, dan ingin mendekati Putri, tapi ada seseorang yang menjadi penghalang. Sebenarnya kak Irfan tak pernah menghalangi Radit untuk mendekati Putri, tapi Radit merasa tak enak mengganggu kebahagiaan Putri yang begitu nyaman dengan kak Irfan.

Terkadang saat rindu membuat detak jantungnya berpacu, ia ingin mengatakan perasaannya tepat di depan Putri, tapi ia belum memiliki keberanian seperti itu. Ia hanya akan tersenyum malu-malu dengan berdialek bahasa orang gagu. Ia ingin menunjukkan perasaannya tapi ia takut, takut Putri ilfeel, takut Putri malah akan menjauhinya, takut Putri akan menolaknya mentah-mentah, takut menarik Putri sebagai orang ketiga dalam hubungannya yang hanya menunggu waktu untuk hancur.

Ia takut. Rasa takutnya melebihi rasa rindunya.
. . .
Waktu memang tak punya perasaan. Ia berlalu begitu saja dengan cepat, membuat Putri khawatir apakah kebersamaan dengan kak Irfan akan juga cepat berlalu seperti sang waktu?

Semester tiga sebentar lagi berakhir, hanya menunggu ujian dan semester empat akan datang menjemput, mengajak beradu lagi, terus berjibaku dengan praktikum, tugas, jurnal, laporan dan segunung aktifitas lainnya, membuat mahasiswa mana saja merindukan liburan panjang.

Putri belajar menerima keadaan. Ia rela bila memang harus menjalani semester berikutnya kembali hanya dengan sahabat-sahabatnya. Ia kini berusaha menyiapkan hati, apabila ternyata memang apa yang menjadi kekhawatirannya menjadi kenyataan.
. . .
Perasaan memang sangat sulit untuk ditutupi, butuh hati yang lebih luas dari lapangan sepakbola untuk menyembunyikannya dibalik tingkah laku yang jelas-jelas menggambarkan perasaan itu. Banyak teman yang akhirnya bisa membaca dengan jelas perasaan Radit kepada Putri. Pesan-pesan burung berkelebatan antar anak anagkatan 45 dan 46 yang akhirnya sampai juga ditelinga Putri.

Putri menyangkal semua perkataan anak-anak itu. Wajar bila Putri ragu karena Radit sangat pasif untuk menunjukkan perasaannya. Putri tak pernah sekalipun menangkap isyarat yang menggambarkan perasaan Radit kepadanya. Putri yakin kalau perasaan Radit kepadanya hanyalah omong kosong anak-anak belaka.
. . .
Kekhawatiran Putri kini jadi kenyataan. Kak Irfan mulai jauh darinya, walaupun masih sanggup untuk dijangkau, tapi jarak ini mulai melahirkan kekhawatiran baru, ia khawatir kak Irfan tak bisa lagi bersikap seperti dulu, begitu juga dengannya, ia juga khawatir perasaan yang merah merona ini akan menjadi semu abu-abu. Ia khawatir akan kehilangan kebahagiaan bersama kak Irfan.

Waktu tetap saja berlalu tanpa mau tahu. Kekhawatiran-kekhawatiran baru itu akhirnya menjadi kenyataan-kenyataan baru. Kak Irfan kini tak bisa lagi dijangkau seperti waktu dulu.

Ikhlas, hanya itu yang Putri tahu sanggup membuat hatinya lebih lega. Mengikhlaskan kak Irfan pergi, menerima kenyataan, dan masih berharap semoga Tuhan mengijinkan ia kembali menikmati kebahagiaan itu. Entah kapan, dia akan menunggu.

Kak Irfan pergi tanpa pernah sekalipun menyatakan perasaannya secara nyata.
. . .
Hubungan Radit dan Ina tak bisa lagi diselamatkan. Radit tak sanggup lagi menunggu sampai Ina siap, karena waktu terus saja berlalu tak pernah peduli apakah manusia siap menerima esok hari atau tidak. Radit mulai sadar ia mulai kehabisan waktu, dan ia tak mau menjalani sisa waktunya hanya untuk menunggu.

Di antara deretan nama yang tertulis rapi di daftar contact Black Berry-nya, ia sejak beberapa menit yang lalu terus menatap sebuah nama dilayarnya. Putri. Nama yang selalu ia rindukan untuk bertemu, nama yang ia harapkan mau menemaninya menjadi mahasiswa yang lebih baik.

Deretan huruf telah tertulis, hanya tinggal memencet send agar kata-kata itu sampai di nomer yang dituju. Tapi degup jantung yang terus berpacu membuatnya gelisah, juga merasa benci, karena perasaan inilah setiap hal dari dirinya seolah harus terlihat sempurna bila ditujukan untuk Putri.

Deretan huruf itu ia hapus, lalu ia mengetik deretan huruf yang baru, menunggu sejenak, membacanya berkali-kali, merasa kurang sempurna, ia hapus lagi, dan ia ketik lagi, terus berulang seperti itu. Sejam berlalu, ia sadar kesempurnaan itu tak akan pernah terwujud, semua kata manis yang telah tertulis mesra buru-buru ia hapus, menggantinya dengan sebuah kalimat tanya sederhana untuk Putri.

“Malem Put. Eh, lo besok magang dimana?”

Lima menit kemudian, pesan yang ditunggu melompat-lompat dilayar Black Berry-nya.

“Malem juga kak, gue besok magang ke Bandung. Kenapa kak? Kakak sendiri mau magang dimana?”

Menulis balasan sesederhana inipun masih perlu waktu yang cukup lama bagi Radit.

“Gapapa, nanya doang, gua kayaknya juga mau magang di Bandung sama kayak lo.”

Sepertinya semesta mulai mendengarkan keinginan Radit yang diselipkan dalam doa pengantar tidurnya. Dia berdoa, ya, baru kali ini ia kembali dekat dengan Tuhan. Berdoa hanya untuk Putri.

Akhirnya ia memiliki harapan lagi. Pada Putri.
. . .
Besok Putri akan berangkat ke Bandung, pergi menimba ilmu baru dalam skenario kehidupan baru yang dikemas dalam kegiatan magang. Bagi yang pergi pasti akan meninggalkan. Ia akan meninggalkan kenangan bersama kak Irfan di Bogor. Ia akan pergi, melepaskan ketergantungan kepada kak Irfan, menetralkan kadar rindu yang terus saja mengganggu, meluruhkan semua perasaan cinta untuk kak Irfan, berdoa agar segera ia dapatkan kebahagiaan baru.

Saat keberangkatannya, ia menghela nafas panjang, memandang jauh ke dalam dunia memori, memutar kembali satu persatu layar yang sedang memfilmkan kebersamaan dengan kak Irfan. Canda, tawa, curhat, kesedihan, semuanya seolah kembali. Lalu, satu tarikan nafas berikutnya menyadarkannya bahwa kak Irfan boleh saja pergi, tapi memori ini akan terus ada selama ia tak membuangnya.

Satu tarikan nafas terakhir membuatnya merasa lebih kuat untuk berkata, “Sekarang saatnya pergi….”
. . .
Perpisahan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Walaupun benci, tapi Radit mengakui bahwa ia masih memiliki ketergantungan pada Ina. Cinta memang candu. Ketika Ina memintanya kembali, tanpa pikir panjang ia menyanggupi permintaan itu.

Tapi, Radit tak sanggup menutupi perasaannya kepada Putri, ia juga tak kuasa untuk berbohong kepada Ina tentang perasaannya kepada Putri. Akhirnya Ina pun bisa membaca kejujuran perasaan Radit, tapi tetap saja ia tak mau melepas Radit begitu saja. Ia tetap ingin bersama Radit walaupun itu berarti ia harus terus waspada dengan apapun tindakan Radit mengenai perasaannya kepada Putri.

Radit pergi ke Bandung dengan wanti-wanti dari Ina agar tidak macam-macam dengan Putri selama di sana, terlebih lagi mereka berdua magang di tempat yang sama, kebun binatang Taman Sari.

Bagi Radit, ini bisa berarti kebahagiaan karena akhirnya ia bisa dekat dengan Putri untuk mengenalnya lebih jauh. Mungkin ini saat yang tepat baginya mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaan yang telah lama ia pendam.
. . .
Putri magang shift pagi sementara Radit magang shift siang. Mereka memang tak pernah bertemu saat bekerja. Tapi selesai bertugas, Putri dan teman-temannya tak langsung pulang, terkadang mereka masih bermain-main di kebun binatang.

Di Bandung, Radit hanya kenal dengan Putri, jadi kemana-mana ia bersama Putri. Tapi tak hanya berdua, bareng juga dengan teman-teman Putri lainnya. Bagi Putri semuanya biasa saja, tapi bagi Radit, ini adalah sebuah kesempatan untuk menunjukkan semua rasa yang ia simpan khusus untuk Putri.

Pernah suatu hari, Putri, Radit dan anak-anak main sampai subuh tiba. Memang dasar niatnya ke Bandung bukan untuk magang tapi untuk refresh otak setelah rutinitas kuliah satu semester, jadi mereka sebenarnya hanya menggunakan magang sebagai alibi hura-hura. Ina tahu kejadian ini, ia dan Radit bertengkar lagi. Bertengkar hebat.
. . .
Semakin sering Radit menjalani hari dengan Putri, semakin ia mengenalnya. Membuatnya semakin yakin, kalau selama ini memang Putri, orang yang ia harapkan sanggup menemani perjalanannya. Putri telah menjadi tonggak harapan, menjadi cewek yang benar-benar istimewa baginya.

Radit lelah menunggu, menunggu Ina siap berjalan berdampingan dengannya, lelah menunggu saat yang tepat untuk mengatakan cinta kepada Putri.

Baginya sekarang adalah saat yang paling tepat, karena ia sadar kalau sekarang ia tidak mengatakan perasaannya, bisa saja Putri akan semakin jauh dari jangkauannya dan ditemukan cowok lain, entah siapa.

Ya, ia akan mengatakannya, ia hanya mengungkapkan perasaanya, tanpa meminta Putri menjadi kekasihnya, ia sadar diri siapa dirinya, ia hanya ingin bicara jujur. Sebelum rasa ini hambar, sebelum semuanya terlambat, ia akan mengatakannya, tak peduli Putri memiliki rasa yang sama atau tidak, tak peduli Putri akan menolaknya atau menerimanya, yang ia pedulikan adalah dinding pertahanan tempat ia menyimpan cinta untuk Putri tak bisa menahan lebih lama lagi.

Radit mengatakan perasaannya kepada Putri saat mereka duduk berdua sambil menikmati makanan dan menikmati suasana malam hari kota kembang.

“Lo sadar nggak kak apa yang lo ucapin itu?” Putri kaget mendengar pernyataan cinta secara tiba-tiba dari Radit.

“Iya, gue sadar apa yang gue ucapin.” Radit meyakinkan Putri.

“Lo kan udah punya pacar?”

“Iya, dia juga udah tau kalo gue suka sama lo.”

Putri terkejut mendengarnya, “Gila lo ya, kak. Kalo gue jadi cewek lo, pasti gue udah nangis. Lo jangan gitu dong, kak. Kasihan cewek lo.”

Mendengar apa yang Putri katakan, Radit sedikit menyesal telah mengungkapkan perasaannya malam ini.

“Ya udah, anggep aja gue nggak pernah ngomong kayak gitu. Anggep aja gue nggak ngomong apa-apa tadi.”

“Ya nggak bisa gitu dong, kak. Kan lo udah bilang.”

Malam itu, akhirnya Putri tahu kalau memang benar Radit menyukainya. Radit sebenarnya datang di saat yang pas, saat Putri ingin melepaskan ketergantungan kepada kak Irfan, tapi sayang, Radit telah memiliki ikatan cinta dengan orang lain.
. . .
Cinta itu harus diperjuangkan. Kalau memang cinta ya harus berjuang. Kalau mau mendapatkan cinta ya harus jadi pejuang. Memperjuangkan cinta adalah seni jatuh cinta.

Radit terus memperjuangkan cintanya, tak peduli Ina akan nekat datang ke Bandung sambil membawa pedang, menabuh genderang perang ataupun Putri berteriak di tengah keramaian Bandung untuk menolaknya, ia akan tetap memperjuangkan apa yang ia inginkan, apa yang sekarang ia butuhkan.

Ia butuh tidak hanya sekedar cewek yang jatuh cinta padanya, ia butuh tak hanya sekedar cinta yang membuatnya tertawa, ia butuh cewek yang jatuh cinta kepadanya mengingatkannya beribadah bukan hanya karena agar dianggap perhatian, tapi karena cewek itu mau Radit jadi orang yang lebih baik. Ia membutuhkan cinta yang menguatkannya saat ia tertatih dalam perjalanannya menjadi pribadi yang lebih baik. Ia butuh cewek yang mau menemani, ia butuh cinta yang menguatkannya.

Radit menginginkan Putri, ia membutuhkannya.
. . .
Putri mulai merasakan dampak perhatian Radit padanya yang ia rasa terlalu berlebihan untuk cewek yang hanya berstatus teman. Putri mulai sanggup berhenti menanyakan kabar kak Irfan dari dalam hatinya, ia mulai sanggup berhenti membayangkan wajah kak Irfan saat hendak tidur. Keinginannya untuk lepas dari kak Irfan semakin mudah dengan hadirnya perhatian Radit.

Menjalani hari dengan Radit, kemana-mana diantar Radit, apa-apa dibantu Radit, tiket keretapun Radit yang membelikan. Satu persatu kebaikan dan perhatian Radit membuat Putri luluh, hatinya mulai menerima kehadiran Radit.

Hati Putri berkata “selamat datang”.
. . .
Cinta terkadang lucu, minta dua padahal sudah punya satu. Apa tak cukup satu untuk sebuah hati? Tapi berbeda dengan cinta yang satu ini.

Radit tidak menginginkan dua, tapi dia hanya ingin satu, ia hanya ingin Putri. Hubungannya dengan Ina mulai masuk ke fase rusak untuk kedua kalinya. Kali ini Radit benar-benar malas menyelamatkannya.

Kata orang kalau pdkt lewat BBM itu cepat akrabnya, cepat terjalin tali-tali asmara. Putri dan Radit telah membuktikannya. Mereka kini jauh lebih akrab dari sebelumnya hanya karena dihubungkan sebuah benda mati pengganti pak pos dijaman dulu. Mereka berdua mulai menceritakan kehidupan masing-masing, mulai memahami satu sama lain, mulai mengerti ketidaksempurnaan masing-masing. Dan mereka kini mulai mengakui benar-benar jatuh cinta. Walau hanya bicara dalam hati, tapi itu cukup membuat hati mereka berdua bahagia.

Cinta memang lucu, bisa datang kapanpun ia mau, bisa membuat hati jadi jungkir balik rasanya.
. . .
Bodoh, memang sangat ceroboh. Saat Radit dan Ina sedang ngobrol berdua di suatu sarapan, semua obrolan antara Radit dan Putri dibaca Ina. Perasaan Ina jauh lebih dahsyat daripada petir Bogor, hati Ina remuk, ia lari meninggalkan Radit dan menangis sejadi-jadinya.

Ina meminta hubungannya berakhir cukup disini saja, Radit mengiyakannya. Setelahnya ia buru-buru telepon Putri, menceritakan semua kronologis kejadian.

“Ya Allah, kakak …. Gue ngrasa bersalah banget kalo gini jadinya.” suara Putri lirih, menyesali keadaan yang terjadi.

“Udah, Put, ini bukan salah lo. Ini salah gue yang nyeret lo ke hubungan gue.”

“Sekarang, lo kejar dia, lo datengin kosannya, minta maaf ke dia. Terus lo bilang kalo lo nyesel, lo nggak bakal hubungin gue lagi dan lo harus janji ke dia kalo lo bakal ngejauhin gue. Buruan, kak! Gue nggak apa-apa kok.” Putri susah payah berusaha memberi solusi dan berharap Radit mau mendengarkan.

Tapi, apa yang diharapkan Putri ternyata berbeda seratus delapan puluh derajat.

“Udah nggak apa-apa Put, biarin gini aja.”

Deg! Putri tidak salah dengar, memang Radit sudah jenuh dengan semuanya, dan ia sekarang hanya ingin Putri yang menggandeng tangannya dan menguatkannya dalam perjalanan yang sedang ia tuju.
. . .
“Put, gue suka sama lo. Lo mau kan jadi pendamping gue?” Radit menawarkan tempat khusus dihatinya yang telah kosong.

“Emh … kalo lo mau jadi lebih baik lagi, mau kuliah lo bener, mau ibadah, mau ngerubah kebiasaan-kebiasaan buruk lo, gue mau jadi pendamping lo, kak.”

“Tapi kalo lo minta gue berubah langsung dalam selangkah, gue nggak bakal bisa Put, gue sanggup kalo selangkah demi selangkah, bertahap Put.” tawar Radit.

“Iya, kak, gue juga tau nggak bisa buat berubah langsung.”

“Dan gue juga nggak bakal sanggup kalo pas gue niat berubah tapi nggak ada temennya, gue butuh temen Put.” mata Radit menatap mata Putri, mencoba mengatakannya lebih jujur lewat tatapan mata.

“Iya, kak, gue mau nemenin sampai lo sanggup jadi orang yang lebih baik.” Putri tersenyum sambil mengenggam erat tangan Radit.

“Makasih ya, Put, gue sayang sama lo.”

“Gue juga sayang sama lo.”

Malam itu dunia seolah berhenti, alam sedang berbisik menyebarkan kabar dua sejoli yang baru saja saling mengikat tali cinta.
. . .
Walaupun Radit sangat jauh dari kriteria yang diinginkan Putri, tapi ia menerima Radit karena ia melihat kebaikan Radit yang tulus, melihat potensi besar Radit untuk bisa jadi pribadi yang lebih baik.

Sekarang memang masih Putri yang mengingatkan hal-hal baik, Putri juga seolah alarm ibadah bagi Radit. Diantara sela-sela ragu yang kadang mengganggu, seolah ia cemburu ada anak manusia yang menjalin cinta, Putri mencoba yakin suatu saat nanti gantian Radit yang akan mengingatkan Putri, yang juga akan jadi alarm ibadahnya.

Hubungan mereka masih baru, pun berasal dari hubungan sebelumnya yang porak poranda. Sebuah hubungan cinta memang terlalu sesak bila diisi tiga orang, peraturannya mengharuskan ada yang pergi. Konsekuensinya, siapa yang tinggal dia harus siap menjadi konsumsi gosip tak mengenakkan.

Putri yang menggantikan posisi Ina disaat Radit dan Ina tak lagi menjalin cinta. Radit sudah jenuh dengan Ina, mungkin baginya bukan Ina yang tak pantas untuknya, tapi ia yang tak pernah pantas untuk Ina, karena perjalanan yang ia inginkan, Ina selalu berusaha untuk siap walau tak mampu. Radit juga tak bisa terus berbohong mencintai Ina, padahal hatinya untuk Putri. Jika dia melanjutkan hubungan dengan Ina, ia akan menyakiti Ina lebih dalam dan lebih banyak lagi.

Gosip-gosip murahan bak kacang rebus kala hujan beredar tanpa ada satupun yang bertanggung jawab atas kebenarannya. Putri merasa semua orang mencerca dirinya atas hubungan yang baru saja ia jalin, pegangannya hanya Tuhan, keluarga, sahabat, dan Radit, mereka semua membuatnya kuat disaat yang lain berusaha menghancurkannya.

“Sayang, udah ya nggak usah dipikirin apa kata anak-anak. Gosip itu bakal tetep ada selama kita mempermasalahkannya. Udah apa kata mereka nggak usah dipermasalahin, nanti juga ilang sendiri, cukup kita aja yang tahu berita yang benar. Mungkin mereka cuma iri sama kebahagiaan kita. Sabar ya, sayang.” Radit mecoba menguatkan Putri lewat telpon.

“Iya, sayang. Makasih banyak ya, aku sayang kamu.” Radit tak tahu, di ujung telepon Putri mengusap air matanya yang terlanjur menetes.

Radit memang pribadi yang baik, ia ada saat Putri butuh dijaga, ia ada saat Putri butuh dikuatkan, ia ada saat Putri butuh cinta. Radit memang pribadi yang baik, hanya saja kebiasaannya yang buruk, Putri yakin itu semua akan berubah dengan sendirinya. Karena disela doa yang ia panjatkan kepada Tuhan, ia memohon agar Radit dikuatkan, sehingga kelak benar-benar menjadi pribadi yang lebih baik, pribadi yang akan menjadi pemimbimbingnya, pribadi yang juga dicintai orang sekitarnya.

Kini Putri tak ragu lagi, ia menerima Radit apa adanya, karena ia luluh dengan perjuangan Radit selama ini, yang orang lain tak pernah tahu, dan mungkin tak perlu tahu. Alasan sederhananya, karena mereka jatuh cinta.
. . .
3 bulan kemudian.

“Ha~ lo~ ….” suara Putri sangat lirih dan sedikit kesal. “Siapa sih yang nelpon subuh gini, ganggu orang tidur aja!” katanya dalam hati.

“Halo, sayang. Aku dari tadi nggak bisa tidur nih, eh … sekarang udah mau subuh aja. Subuh jamaah yuk? Di musholla deket kos kamu, nanti aku jemput, ya?”

Putri mencubit pipinya sendiri, ini bukan mimpi, ia sudah bangun dari tidurnya, ini benar-benar nyata, ini nyata! Air matanya menetes tanpa diperintah, ia sangat bersyukur akhirnya Radit telah berubah, sekarang benar-benar jadi orang yang lebih baik.

Kesabarannya selama ini ternyata membuahkan hasil. Kerjasama tim yang sempurna antara Putri, Radit dan Tuhan. Semuanya kini nyata, dan ini karena cinta.

“Halo, sayang, tidur ya? Halo ….”

“Eng … enggak kok. Iya … iya …, entar jemput di depan kosan ya, aku siap-siap dulu. Aku sayang kamu, pake banget!

Me too, makasih juga ya kamu nggak pernah nyerah buat aku.”

Cinta itu menyadarkan, mau merubah apa yang ia mau. Cinta itu membahagiakan harapan bagi siapapun yang ragu. Karena cinta inta itu meyakinkan. Tak terlihat namun dapat dirasa. Membuat banyak orang percaya apa yang tak bisa dilihat bukan berarti tak ada, hanya perlu dirasa agar tahu bahwa cinta memang nyata.



Subuh kali ini tak sunyi, penuh gempita. Tak juga hitam pekat seperti biasa, melainkan merona merah jambu. Seperti Radit dan Putri yang sedang jatuh cinta.




....


Cerita ini saya buat kira-kira akhir tahun 2011. Di tengah keasyikan mendengar radio berdendang, seorang sahabat menghubungi saya. Ia bercerita panjang tentang kisah cintanya di kampus yang baru saja dimulai. Sebagai hadiah, keesokan harinya, semua ceritanya lewat telepon semalam saya jadikan cerita pendek yang saya hadiahkan khusus untuk kebahagiaannya. Mereka berdua sampai sekarang masih menjalin hubungan asmara.

Pertama kali saya upload di notes fb, dan mendapat respon yang bagus dari mereka yang saya paksa membaca. Kemudian saya edit lagi dan masuk ke salah satu cerita dalam buku indie saya yang pertama. Semoga dapat menghibur - dengan pengertian masing-masing - ... :D

0 komentar:

Posting Komentar