Salah satu rutinitas yang wajib saya
lakukan saat pulang dari rantau adalah ngopi di warkop depan pasar
kecamatan. Letaknya tak jauh dari rumah, hanya berjalak kurang lebih
satu kilometer. Pasar ini turut andil dalam bertumbuhnya saya ketika
duduk di bangku SD. Yang menjadi teman saya ngopi, hampir bisa
dipastikan selalu sama, bila ada yang berbeda, berarti ada satu dua
orang yang ikut. Ia adalah sahabat saya sejak SMP, yang selalu tidak
pernah absen bertemu ketika saya pulang atau libur.
Malam sudah larut, tak terasa bagi
kami, yang membuat kami percaya telah lama duduk di warkop ini adalah
jumlah gorengan yang tinggal sedikit. Sedari tadi gorengan tak bisa
mengelak menjadi korban mulut kami yang jahil.
Dingin malam mulai menawar paksa
angin-angin yang membuat tubuh bergetar disengat suhu rendah. Dari
arah barat, saya melihat sepasang manusia berjalan dengan jaket tebal
yang tidak dikancingkan dengan baik. Lambat laun, mata saya mulai
jelas melihat mereka berdua adalah sepasang kakek dan nenek. Saya
tergelitik untuk mengamati dengan lebih cermat. Sang nenek
melingarkan tangan kirinya di lengan kanan sang kakek. Sepanjang
jalan, saya tak melihat mereka berdua mengobrol, namun bahasa tubuh
yang bisa saya tangkap telah jelas menyiratkan rasa sayang mereka
berdua telah saling menghangatkan, mengalahkan dingin malam.
Sang nenek mengajak kakek untuk
berhenti di warkop tempat saya sedari tadi ngopi. Mereka berdua sama
sekali tak terlihat seperti pensiunan pegawai negeri yang memiliki
jaminan masa tua, juga tak terlihat seperti kakek-nenek yang mampu
mewariskan berhektar-hektar tanah. Saat melihat wajah nenek dengan
lebih teliti, ingatan masa kecil saya samar memperlihatkan seorang wanita tua
yang menjajakan makanan dan bekerja serabutan.
Nenek itu memesan segelas teh panas
dan mengambil dua potong pisang goreng, satu pisang goreng diberikan
kepada kakek. Dengan tangan sedikit gemetar tangan kakek menerima
pisang goreng itu. Mereka masih tak banyak bicara satu sama lain, membuat saya teringat pada sebuah kalimat mencintai dalam diam, mereka melakukannya dalam dingin
malam.
Selesai memakan sepotong pisang
goreng, nenek meraih gelas yang berisi teh di depannya. Ia meminumnya
sampai habis separuh, lantas menyerahkan separuhnya kepada kakek yang
masih belum habis pisang gorengnya. Kakek itu menggenggam gelas itu
erat berusaha mendapatkan hangat. Aku sangsi tangannya yang sedikit
gemetar tadi telah kembali normal karena hangat dari teh itu, aku
bertaruh ia tak lagi merasa dingin karena hangat perlakuan sayang
dari nenek.
Separuh teh telah habis, sang nenek
berkata kepada kakek untuk segera beranjak pulang karena saat itu
memang jam telah lewat dari tengah malam. Nenek itu mengeluarkan dua
lembar uang seribuan kepada pemilik warkop. Ia lalu kembali
melingkarkan tangannya di lengan kakek. Mereka berdua berdiri
kemudian meninggalkan warkop.
Saya dan sahabat mengamati kemana
mereka berdua pergi sampai tak terlihat lagi setelah kakek dan nenek
itu berbelok di gang dekat warkop. Sejak masuk warkop, mereka berdua tak banyak bertukar
kata, namun banyak rasa cinta yang berbahasa. Di dalam warkop, hangat dari sebentuk kasih sayang yang baru
saja saya saksikan masih tersisa. Kopi saya yang telah dingin
pun menjadi terasa sedap karena kehangatan itu.
…….
Setelah melihat isi dompet mulai
mengkhawatirkan, saya menyisipkan rencana untuk mengambil tambahan
uang di ATM. Dulu memang belum ada ATM dekat kostan, padahal di dekat
tempat kost saya merupakan area tempat makan yang ramenya sampai
sering membuat macet jalan. Biasanya saya mengambil uang di ATM bank
yang ada di sebelah masjid kampus.
Saat saya masuk pagar bank dan
memarkirkan motor sekenanya karena sudah malam hari, tidak ada
aktivitas yang akan terganggu dengan cara parkir saya. Sesaat usai
memarkir motor sekenanya, mata saya berhenti pada pemandangan seorang
laki-laki yang kaki kanannya di gips dan kedua tangannya memegang
erat engrang. Ia keluar dari ATM perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian. Di depan bapak itu
ada anaknya, seorang bocah laki-laki yang berjalan sambil terus memandangi
ayahnya, terlihat ia sedang berjaga-jaga bila ayahnya memiliki masalah dengan kakinya, ia akan dengan sigap membantu kelancaran jalan ayahnya.
Istrinya yang sedari tadi duduk di
motor bergegas mendekat ke suaminya, sama seperti anaknya, ia tak
menuntun sang suami, ia hanya berjaga sesigap bocah laki-laki
kesayangannya. Tampaknya istri dan anaknya tak ingin membuatnya merasa lemah dan perlu dikasihani, tetapi mereka berdua telah merelakan apa yang dimiliki untuk membuatnya merasa lebih baik.
Bapak itu agak kesusahan ketika
mengangkat kakinya untuk bisa duduk di motor. Sementara istrinya
ikhlas merepotkan diri menjaga motor agar tidak jatuh dan membantu
suami bisa duduk dengan baik di jok belakang. Tangan kanan anaknya
membantu memegangi engrang, tangan kirinya memegang erat tangan
ayahnya.
Malam itu saya tidak hanya
mendapatkan tambahan uang untuk bertahan hidup, namun juga ada nilai
tambah dalam kehidupan saya. Bagaimana setiap bagian dari keluarga
itu serupa dengan bagaimana setiap potong kecil perkakas dalam jam
dinding bekerja. Saling menopang, saling menjaga, ….
Hati saya lalu berujar pelan, kelak
saya ingin juga memiliki keluarga kecil sehangat ini.
……
Ada sepasang penjual gorengan di
pasar dekat kampus yang menjadi langganan saya, sampai-sampai mereka
hafal setiap saya beli gorengan hampir dipastikan hanya beli tiga
ribu saja, tapi biasanya mereka akan menambahkan satu atau dua potong
gorengan ke dalam plastik pesanan saya. Harga gorengannya sepotong
lima ratus rupiah, wajar bila saya membeli tiga ribu, dapat enam
potong dan itu cukup untuk mengganjal perut mahasiswa yang
berdomisili dikostan dan penghematan bagi yang masih sering kedodoran
dalam mengatur keuangan.
Bila mengacu pada ucapan-ucapan
lama, “kalau mirip bakal jodoh” atau mengacu pada hukum paling tidak
jodoh itu yang…ya kalau cakep dapatnya cakep juga, mungkin bila
saya berpegang pada hal tersebut saya tidak akan pernah menyangka
kalau mereka berdua ini jodoh.
Seringkali, diantara kita selalu
mendamba yang cantik atau yang tampan, kemudian lupa bertanya tentang
bagaimana sikapnya, juga lupa berkaca bagaimana paras kita sendiri. Apakah selalu
pantas menilai paras adalah hal utama dalam hidup?
Mungkin, kita seringkali lupa,
mereka yang sempurna tak selalu sanggup melengkapi kekurangan kita.
...
Ada banyak kisah cinta yang seringkali saya temui dalam bentuk potongan demi potongan, menjadi pelajaran hidup untuk mencintainya kelak dengan utuh.
0 komentar:
Posting Komentar