Kamis, 01 Agustus 2013

Sepotong Cinta



Salah satu rutinitas yang wajib saya lakukan saat pulang dari rantau adalah ngopi di warkop depan pasar kecamatan. Letaknya tak jauh dari rumah, hanya berjalak kurang lebih satu kilometer. Pasar ini turut andil dalam bertumbuhnya saya ketika duduk di bangku SD. Yang menjadi teman saya ngopi, hampir bisa dipastikan selalu sama, bila ada yang berbeda, berarti ada satu dua orang yang ikut. Ia adalah sahabat saya sejak SMP, yang selalu tidak pernah absen bertemu ketika saya pulang atau libur.


Malam sudah larut, tak terasa bagi kami, yang membuat kami percaya telah lama duduk di warkop ini adalah jumlah gorengan yang tinggal sedikit. Sedari tadi gorengan tak bisa mengelak menjadi korban mulut kami yang jahil.


Dingin malam mulai menawar paksa angin-angin yang membuat tubuh bergetar disengat suhu rendah. Dari arah barat, saya melihat sepasang manusia berjalan dengan jaket tebal yang tidak dikancingkan dengan baik. Lambat laun, mata saya mulai jelas melihat mereka berdua adalah sepasang kakek dan nenek. Saya tergelitik untuk mengamati dengan lebih cermat. Sang nenek melingarkan tangan kirinya di lengan kanan sang kakek. Sepanjang jalan, saya tak melihat mereka berdua mengobrol, namun bahasa tubuh yang bisa saya tangkap telah jelas menyiratkan rasa sayang mereka berdua telah saling menghangatkan, mengalahkan dingin malam.


Sang nenek mengajak kakek untuk berhenti di warkop tempat saya sedari tadi ngopi. Mereka berdua sama sekali tak terlihat seperti pensiunan pegawai negeri yang memiliki jaminan masa tua, juga tak terlihat seperti kakek-nenek yang mampu mewariskan berhektar-hektar tanah. Saat melihat wajah nenek dengan lebih teliti, ingatan masa kecil saya samar memperlihatkan seorang wanita tua yang menjajakan makanan dan bekerja serabutan.


Nenek itu memesan segelas teh panas dan mengambil dua potong pisang goreng, satu pisang goreng diberikan kepada kakek. Dengan tangan sedikit gemetar tangan kakek menerima pisang goreng itu. Mereka masih tak banyak bicara satu sama lain, membuat saya teringat pada sebuah kalimat mencintai dalam diam, mereka melakukannya dalam dingin malam.


Selesai memakan sepotong pisang goreng, nenek meraih gelas yang berisi teh di depannya. Ia meminumnya sampai habis separuh, lantas menyerahkan separuhnya kepada kakek yang masih belum habis pisang gorengnya. Kakek itu menggenggam gelas itu erat berusaha mendapatkan hangat. Aku sangsi tangannya yang sedikit gemetar tadi telah kembali normal karena hangat dari teh itu, aku bertaruh ia tak lagi merasa dingin karena hangat perlakuan sayang dari nenek.


Separuh teh telah habis, sang nenek berkata kepada kakek untuk segera beranjak pulang karena saat itu memang jam telah lewat dari tengah malam. Nenek itu mengeluarkan dua lembar uang seribuan kepada pemilik warkop. Ia lalu kembali melingkarkan tangannya di lengan kakek. Mereka berdua berdiri kemudian meninggalkan warkop.


Saya dan sahabat mengamati kemana mereka berdua pergi sampai tak terlihat lagi setelah kakek dan nenek itu berbelok di gang dekat warkop. Sejak masuk warkop, mereka berdua tak banyak bertukar kata, namun banyak rasa cinta yang berbahasa. Di dalam warkop, hangat dari sebentuk kasih sayang yang baru saja saya saksikan masih tersisa. Kopi saya yang telah dingin pun menjadi terasa sedap karena kehangatan itu.


…….


Setelah melihat isi dompet mulai mengkhawatirkan, saya menyisipkan rencana untuk mengambil tambahan uang di ATM. Dulu memang belum ada ATM dekat kostan, padahal di dekat tempat kost saya merupakan area tempat makan yang ramenya sampai sering membuat macet jalan. Biasanya saya mengambil uang di ATM bank yang ada di sebelah masjid kampus.


Saat saya masuk pagar bank dan memarkirkan motor sekenanya karena sudah malam hari, tidak ada aktivitas yang akan terganggu dengan cara parkir saya. Sesaat usai memarkir motor sekenanya, mata saya berhenti pada pemandangan seorang laki-laki yang kaki kanannya di gips dan kedua tangannya memegang erat engrang. Ia keluar dari ATM perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian. Di depan bapak itu ada anaknya, seorang bocah laki-laki yang berjalan sambil terus memandangi ayahnya, terlihat ia sedang berjaga-jaga bila ayahnya memiliki masalah dengan kakinya, ia akan dengan sigap membantu kelancaran jalan ayahnya.


Istrinya yang sedari tadi duduk di motor bergegas mendekat ke suaminya, sama seperti anaknya, ia tak menuntun sang suami, ia hanya berjaga sesigap bocah laki-laki kesayangannya. Tampaknya istri dan anaknya tak ingin membuatnya merasa lemah dan perlu dikasihani, tetapi mereka berdua telah merelakan apa yang dimiliki untuk membuatnya merasa lebih baik.


Bapak itu agak kesusahan ketika mengangkat kakinya untuk bisa duduk di motor. Sementara istrinya ikhlas merepotkan diri menjaga motor agar tidak jatuh dan membantu suami bisa duduk dengan baik di jok belakang. Tangan kanan anaknya membantu memegangi engrang, tangan kirinya memegang erat tangan ayahnya.


Malam itu saya tidak hanya mendapatkan tambahan uang untuk bertahan hidup, namun juga ada nilai tambah dalam kehidupan saya. Bagaimana setiap bagian dari keluarga itu serupa dengan bagaimana setiap potong kecil perkakas dalam jam dinding bekerja. Saling menopang, saling menjaga, ….


Hati saya lalu berujar pelan, kelak saya ingin juga memiliki keluarga kecil sehangat ini.
……


Ada sepasang penjual gorengan di pasar dekat kampus yang menjadi langganan saya, sampai-sampai mereka hafal setiap saya beli gorengan hampir dipastikan hanya beli tiga ribu saja, tapi biasanya mereka akan menambahkan satu atau dua potong gorengan ke dalam plastik pesanan saya. Harga gorengannya sepotong lima ratus rupiah, wajar bila saya membeli tiga ribu, dapat enam potong dan itu cukup untuk mengganjal perut mahasiswa yang berdomisili dikostan dan penghematan bagi yang masih sering kedodoran dalam mengatur keuangan.


Bila mengacu pada ucapan-ucapan lama, “kalau mirip bakal jodoh” atau mengacu pada hukum paling tidak jodoh itu yang…ya kalau cakep dapatnya cakep juga, mungkin bila saya berpegang pada hal tersebut saya tidak akan pernah menyangka kalau mereka berdua ini jodoh.


Seringkali, diantara kita selalu mendamba yang cantik atau yang tampan, kemudian lupa bertanya tentang bagaimana sikapnya, juga lupa berkaca bagaimana paras kita sendiri. Apakah selalu pantas menilai paras adalah hal utama dalam hidup?


Mungkin, kita seringkali lupa, mereka yang sempurna tak selalu sanggup melengkapi kekurangan kita.

...
Ada banyak kisah cinta yang seringkali saya temui dalam bentuk potongan demi potongan, menjadi pelajaran hidup untuk mencintainya kelak dengan utuh. 

0 komentar:

Posting Komentar