Sudah berapa kali
kita kecewa karena sikap orang lain yang ternyata tak seperti yang kita
harapkan atau bayangkan? Setiap pertanyaan ini aku lontarkan kepadamu, jawaban
yang aku dapatkan adalah sering. Jemari tangan dan kaki sampai tak cukup lagi
untuk menghitung sisa kekecewaan. Banyaknya kecewa yang didapat seringkali
membuat kita lupa, seringkali kekecewaan itu karena ekspektasi kita yang
berlainan atau terlalu tinggi.
Memaklumi sikap orang lain kiranya sudah
menjadi hal yang relatif sulit saat ini, terlebih tak terbiasa menjalankannya. Baik
untuk memilih sisi pikiran kita yang lain, sisi yang positif untuk
berprasangka. Bila memang begitu sulit untuk dirimu, setidaknya sisi negatif
yang selama ini meraja, kamu kecilkan volumenya secara bertahap hingga kamu
terbiasa untuk berprasangka baik kepada orang lain. Dengan begitu kebebasan
dari perasaanmu yang seringkali merasa terancam akan hal buruk akan segera
mendapat kepastian.
Menilai orang lain tanpa
mengenali atau mengumpulkan informasi terlebih dahulu kiranya merupakan hal
yang mudah dan wajar. Kemudahannya berada satu tingkat diatas mudahnya membalik
telapak tangan. Tanpa merasa bersalah melakukannya bila penilaian tersebut
salah, selama tak merugikannya. Namun merasa sangat kecewa bila salah menilai,
dan salahnya penilaian itu membawa keurugian baginya. Terlihat keegoisan telah
menjadi kebutuhan yang berdesakan dengan kebutuhan lainnya untuk mendapatkan
gelar primer.
...
Kenali aku dengan baik. Apa yang
baik menurut penilaianmu belum tentu benar-benar ada di dalam diriku, dan apa
yang buruk menurut penilaianmu belum tentu benar-benar ada di dalam diriku
pula. Berhentilah mereka-reka kebaikan yang belum tentu sebaik apa yang ada
dalam pikiranmu.
Kebiasaanku menulis mulai
terputus-putus belakangan ini. Ada yang mengganjal beberapa lama, dan sangat
mengganggu jemariku menulis kata demi kata. Aku mulai khawatir tulisanku
melahirkan persepsi negatif padaku atau tulisanku melukai kamu yang membaca.
Aku takut apa yang aku tulis dan bagaimana kamu mengartikannya bisa
berbeda. Hingga tulisan demi tulisan
yang harusnya lahir akhirnya gugur begitu saja.
“Kita tak bisa memaksakan
persepsi orang lain kepada arti dari karya-karya kita.” – Noe Letto
Gangguaan yang aku rasakan
dimulai dari bagaimana kamu terlalu serius menanggapi bermacam tweet yang aku
tulis. Entah bagaimana mulanya kamu seolah tak mengenal aku, dan menganggap
semua yang aku tulis itu adalah nyata. Tidak semua tulisan ditulis dengan
perasaan yang sama dengan apa yang tergambar dalam rangkaian kata. Dan tokoh
yang ada disana kebanyakan hanyalah rekaan belaka. Bahkan ketika aku menyebut
“kamu” dalam tulisan, itu bukan berarti tertuju kepada seseorang, tapi lebih
kepada diri sendiri-karena menulis seringkali menjadi tempat saya mengoreksi
diri-atau kepada kamu semua yang membaca. Tweet yang seringkali muncul
kebanyakan hanyalah untuk menghibur, dan bila cocok juga untuk melucu. Cukup
kehidupan di dunia nyata saja seriusnya, dan biar di dunia maya bisa bersantai.
Ada lagi yang membuat aku cukup
tertekan, yaitu penilaian bahwa tulisan tentang “cinta” selalu dianggap cemen
atau galau semata. Ah, bila memang benar begitu adanya, sudah berapa banyak
pujangga lahir sejak pertama kali manusia menjejak tanah? Berapa banyak karya
mereka yang bertema cinta? Berapa banyak pula yang kemudian menjadi keindahan
sastra tak ternilai?
Semua penilaian rendah akan
tulisan bertema “cinta” itu karena mungkin sejak masih anak-anak sudah sering
mendapatkan kisah cinta yang memang cemen dari sinetron yang dilihat. Atau puisi-puisi
cinta monyet yang asal begitu saja dibuatnya namun sudah bisa membuat
tersenyum-senyum saat membacanya. Seringkali puisi cinta monyet yang mungkin
sering kita dapat kemudian membuat kita merasa bahwa tulisan tentang cinta
lainnya juga sama saja cemen.
Dan tulisan demi tulisan yang ada
memang lahir karena kegalauan dan kegelisahan. Bukankah setiap karya yang kita
hasilkan berasal dari kegalauan dan kegelisahan yang kita miliki? Kegalauan dan
kegelisahan itu mengganggu, namun juga mendorong kita untuk melakukan sesuatu.
Kegelisahan dan kegalauan letaknya di hati, mungkin karena itu-aku juga kurang
tahu- karya yang kita hasilkan dari kegalauan dan kegelisahan itu seringkali
layak dan bahkan enak untuk dinikmati. Aku selalu bertanya-tanya, kenapa masih saja
ada yang menganggap bahwa galau itu sesuatu yang salah? Satu-satunya galau yang
negatif adalah yang tak mengerti bagaimana untuk menyelesaikan kegalauannya. Bagiku,
mereka yang menolak galau adalah mereka yang menolak untuk tumbuh bijak dan
kreatif. Karena orang bijak dan kreatif memiliki kesamaan, yaitu sama-sama
sering galau.
Karena segala kekhawatiran ini
membuat imajinasiku seringkali tertidur, aku memilih untuk membiarkan apapun
penilaian yang kamu berikan. Dengan begitu aku bisa menulis dengan bebas tanpa
ada ketakutan untuk meletakkan kata.
...
Era yang sedang kita jalani
adalah era kebebasan berbicara. Batasannya tak jelas. Kita pun berlomba-lomba
menjadi pembicara yang baik, yang menghibur, dan sebagainya. Menjadi pendengar
yang baik akhirnya luput dari priotitas hidup kita. Ketika semuanya berbicara,
lalu siapa yang akan mendengar? Ketika semuanya sudah menjadi pembicara yang
baik, kemana kita akan menemukan pendengar yang baik?
Tahu banyak hal itu baik. Namun
membicarakan semua yang diketahui itu tak baik. Aku menemui beberapa orang yang
menanyakan apa yang sebenarnya sudah dia ketahui, alasannya adalah agar orang
lain mengakui bahwa ia mengetahui hal tersebut. Jawaban yang didapat bila
berbeda sedikit saja dari apa yang ia ketahui, maka ia akan memberikan
penjelasan yang detail, seolah yang memberi jawaban adalah penanya sesungguhnya
yang tak tahu apa-apa, padahal dialah yang memulai pertanyaan.
Menyela orang lain memberitahu
apa yang sudah kita ketahui sebenarnya juga tidak baik untuk dilakukan. Kita
selalu ingin mendapatkan pengakuan eksistensi diri kita. Dan mereka yang
memberi tahu sama halnya dengan keinginan kita untuk mendapatkan pengakuan.
Mengatakan, “Iya, aku tahu.” akan menyebabkan setidaknya dua hal negatif. Satu,
akan terlihat betapa sombongnya kita dengan ilmu yang kita miliki. Yang kedua,
hal itu akan menyakiti yang memberitahu. Mendengarkan sampai selesai apa yang
ia katakan walaupun mungkin kita jauh lebih tahu tak membuat rugi. Apa kita
terlalu takut harga diri kita jatuh hanya karena dianggap tidak tahu?
Mendengarkannya sampai selesai memberitahu tentu akan membuatnya merasa
didengarkan. Tentu kita pernah merasakan betapa menyenangkannya bila kita
mengetahui ada yang mau mendengarkan kita.
Berbicara dengan baik dan menjadi
pendengar yang baik akan membuat kita belajar untuk tidak egois dan menang
sendiri.
...
Sudah banyak orang yang salah
menilai kehidupanku, baik mereka yang mengakuinya maupun yang tidak. Termasuk
kamu, iya, kamu yang sedang membaca tulisan ini.
Aku mengerti dengan baik kalau
aku ini rumit. Aku sulit ditebak. Bahkan seorang sahabat pun mengatakan
kehidupanku berantakan karena dari waktu ke waktu apa yang diinginkan tak
pernah sama.
Aku memang
pandai menyimpan, menutupi masalah yang dihadapi sehingga terkadang ada yang
merasa bahwa tak apa untuk membebankan satu-dua masalah lagi kepadaku. Setiap
dari kita memiliki pilihan sendiri-sendiri untuk diam atau berbicara. Dalam
diam kita selalu memiliki alasan kuat mengapa sebuah cerita disimpan
rapat-rapat. Salah satu alasannya adalah untuk menjaga perasaan orang-orang
yang ada dalam ceritaku. Walaupun tetap saja aku masih sering menjadi orang
yang seolah layak mendapat penilaian salah.
Sayangnya,
ketika aku ingin bercerita, kamu memalingkan perhatian, menutup telinga
rapat-rapat, sehingga aku terpaksa terdiam. Aku yang seolah-olah kuat dengan
berbagai masalah, membuatmu menjadi seolah tak perlu untuk memberiku perhatian,
untuk mendengarkan ceritaku. Katanya ingin mendengarkan ceritaku
sejujur-jujurnya? Katanya mau mengerti senyata-nyatanya?
Aku juga
kerap terlihat tak peduli dengan kehidupan orang lain, namun diam-diam aku
menjadi stalker yang ahli untuk mencari tahu tentang kehidupanmu, tanpa kamu
mengetahui sama sekali. Begitulah aku mencari kabar dari kawan-kawan lama yang
sudah lama tak berjumpa dan lama tak berbagi kabar.
...
Kehidupan yang kita jalani,
seringkali dilewati dengan salah persepsi, salah arti, salah menilai dan
kesalahan lainnya yang berdasar ekspektasi kita sendiri. Agar kesalahan seperti
itu terminimalisasi, ada baiknya kita menilai dengan baik lewat mendengarkan
dengan baik. Dengan begitu kita akan segera mendapat kepastian hidup yang baik.
Selamat hidup dengan baik.
0 komentar:
Posting Komentar