Seorang perempuan,
umurnya belum genap dua puluh tahun, gemar meratapi hidup. Ia tahu itu adalah
perilaku yang tidak baik, tapi biarlah, setidaknya hal tersebut bisa membuanya
tenang, terlebih setelah beberapa kali cinta terbang dari pelukan.
“Cinta? Haha…
entahlah, aku enggan membicarakannya. Entah sudah berapa kali ia
menertawakanku, seolah aku lelucon paling menggemaskan di jagad raya.” Begitulah jawabnya setiap ditanya tentang
cinta.
Terkadang
pada penanya ia menambahkan, “Cinta? Entahlah, aku sebenarnya malas
membicarakannya. Sudah berkali-kali aku melukainya dimasa lalu, beberapa luka
membekas dengan sangat jelas sehingga sulit untuk melupakan aku sebagai
pelakunya. Mungkin itu yang membuatku berkali-kali mendapatkan jawaban tidak dari takdir, meskipun begitu
inginnya aku akan cinta. Terlebih aku tak kunjung berubah menjadi pribadi yang
lebih baik, seperti yang seharusnya.”
Ia pernah
membaca kata cinta dari kamus yang
telah usang, … bukan, tapi dari kamus yang kekinian, … ah, entahlah yang pasti
ia membaca cinta dari kamus yang
tidak seharusnya. Pada kamus yang tidak seharusnya tersebut arti cinta berbeda,
dapat disimpulkan arti yang ia baca itu bukanlah cinta. Pembuat kamus itu
pastilah tidak memiliki kemuliaan di hati, bagaimana bisa hal seagung cinta ia
samarkan artinya. Ia juga membubuhkan nafsu dalam artian cinta, padahal sudah jelas tampak bedanya
...
“Sudah
seharusnya ketika usia beranjak, pengertian akan rasa pun ikut dewasa.
Membedakan kagum semata, suka, dan jatuh cinta seharusnya sudah jelas dimana
letak bedanya. Seribu kali diberi berbagai perasaan tersebut tak akan membuat
mati rasa kemudian menganggap semuanya sama … bila memang hati juga ikut
bertambah dewasa bersama usia.” Kata seorang laki-laki yang usianya telah genap
dua puluh tahun. Ia telah berteman dengan sang perempuan sejak mereka berdua
masih bersekolah. Laki-laki itu bernama Bhibi, dan perempuan tersebut bernama
Fafa.
Wajah Fafa
murung. “Hatiku sedang tidak tumbuh. Ia telah lama asik bermain dengan dirinya
sendiri dipojokan ruang rasa. Tak peduli dengan berbagai rasa yang lalu-lalang,
meskipun beberapa rasa menyapa dan menawarkan permen warna-warni yang sejatinya
sangat menggoda selera. Satu-satunya rasa yang masih sering mampir dan bermain
bersama hati adalah rasa sedih, dan suasana yang seringkali ia nikmati adalah
suasana sepi.”
“Sudah
berapa kali kamu dikecewakan cinta?”
Fafa terdiam
sesaat, matanya menerawang, menghitung-hitung berapa tepatnya ia pernah kecewa
karena cinta. “Banyak …,”
“Berapa kali
kamu mengecewakan cinta?”
“Tidak
sebanyak dikecewakan cinta …,” jawab Fafa cepat “Tapi kecewa yang kuberikan
jauh lebih besar daripada yang kuterima.
Dua kali, ah tidak-tidak … sepu … emh … seribu kali atau semilyar kali lebih
sakit daripada semua yang kuterima.”
“Lalu kamu
sekarang takut dekat-dekat dengan cinta?”
“Entahlah ….”
Fafa memandangi wajah Bhibi, berharap Bhibi bisa segera menemukan jawaban
sebelum hari-harinya kembali kelam dengan sempurna.
“Kamu tahu
ada takdir baik dan takdir buruk?” Fafa mengangguk dengan cepat. “Terkadang
takdir-takdir itu bukan kemauannya sendiri membawa kita kepada sebuah cerita,
atau yang biasa orang bilang dengan kebetulan” Bhibi menyeruput kopi yang
dibuatkan Fafa. “Semua kebetulan itu adalah rencana Tuhan yang jauh dari kuasa
makhlukNya untuk mengerti bagaimana mekanisme kebetulan itu terjadi. Lalu dengan seenak hati, karena tidak mampu mengerti,
makhlukNya member nama kebetulan.”
“Tapi takdir
kan juga rencana Tuhan?”
“Oh … iya,
tentu itu. Itu yang mau aku katakana padamu.”
“Ah, kamu
suka gitu, melebar kemana-mana.”
“Hehe ….
Takdir tak pernah semaunya sendiri membawa kita kepada sebuah cerita. Apa yang
kita lakukan dimasa lalu menjadi penyebab mengapa ia membawa kita. Hal baik
akan membawa kepada cerita yang baik, hal buruk akan membawa kepada cerita yang buruk.”
“Tidak semua
seperti itu, banyak orang baik yang menjalani kisah menyedihkan dan juga
sebaliknya.”
“Tuhan
sedang menguji, Fa … ujian tak selalu datang dengan wajah buruk rupa. Seringkali
juga ia datang dalam bentuk yang cantik dan indah. Karena itulah seringkali
banyak makhluk terperdaya.”
“Hemh …
kalau selalu diberi ujian dengan wajah buruk rupa kita pasti mudah menebak ya?
Lagipula nanti kita jadi cuma belajar satu hal saja. Tuhan Maha Mengetahui,
Bhi!”
“Yap, kamu
emang cerdas, Fa!”
“Dan pujian
kamu barusan itu juga sebuah ujian sepertinya.”
“Haha, bisa
aja. Kamu takut dengan masa lalu yang pernah kamu buat?”
Fafa
mengangguk. “Sering banget aku merasa kurang pantas mendapatkan pasangan tiap
kali dekat dengan seseorang. Tapi saat dia pergi, aku merasa menyesal telah
melepasnya. Aku selama ini selalu percaya, pria baik ada untuk wanita baik. Sementara
aku …?”
“Kamu juga
baik, Fa …” Fafa membalasnya dengan senyuman. Ia tahu sahabatnya ini tak pernah
mengatakan hal basa-basi hanya untuk menyenangkan hatinya. Ia selalu berbicara
yang sesungguhnya.
“Fa, bila
memang yang kamu takutkan adalah kamu akan menjalani cerita yang buruk, ada cara
untuk menolak takdir itu. Pertama perilaku kita harus benar-benar menjadi
sebaik-baiknya perilaku, agar Tuhan percaya bahwa kita memang telah pantas
diamanahi pasangan hidup.”
“Lalu yang
kedua?” Fafa tak sabar ingin mengetahui semua rahasia tersebut.
“Yaitu
dengan doa-doa kita. Dengan doa, kisah cerita buruk yang kita takutkan bisa
diputar balik menjadi kisah membahagiakan. Di dalam doa ada kasih sayang Tuhan
yang luar biasa. Bahkan Tuhan sendiri yang meminta makhlukNya untuk berdoa.”
“Aku selama
ini sudah berdoa ….”
“Kekuatan
doa yang utama bukanlah pada kata, tapi kepada keyakinanmu akan doa-doamu.
Percayalah Tuhan mengabulkan doa-doamu. Dan percayalah bahwa kamu adalah wanita
yang baik, yang layak untuk kisah hidup yang baik pula. Bebaskan hatimu, Fa,
bebaskan! Jangan biarkan penjara masa lalu membatasinya melihat birunya langit
yang sejak kecil sangat kamu sukai.”
Air mata
Fafa mengalir, membelai pipinya. “Bhi, ada lagi yang ingin kubicarakan. Kita memang telah tumbuh dan beberapa
dari sifat kita telah berubah. Dulu, aku tak peduli bagaimana yang lainnya
berkomentar tentang fisik orang yang aku sayangi. Tapi, sekarang aku terkadang
terlalu melihat fisik. Bolehkah aku menyukai seseorang karena berawal dari aku
terpesona dengan fisiknya?”
“Kamu tidak
salah, Fa. Kita semua berhak mendapatkan yang terbaik, baik dari segi fisik dan
juga jiwanya. Tetapi, kamu harus meyakinkan hati lagi, karena terkadang
menyukai karena fisik itu tak bertahan terlalu lama, apalagi bila ada yang
memiliki fisik yang lebih baik.” Bhibi kembali menyeruput kopinya yang mulai
dingin. “Mungkin kamu harus lebih sering menutup mata dan membuka hati. Agar nanti
jiwamu akan menjadi lebih peka untuk melihat apa yang kamu butuhkan, bukan
sekedar apa yang kamu inginkan sehingga nanti tidak salah pilih.”
Fafa dan
Bhibi saling pandang. Bertukar pandangan hangat seorang sahabat.
Romantis.... |
“Begini, Fa,
suatu hari aku pernah bertemu dengan seorang kakek yang mengayuh sepeda tua,
dibelakang sepada itu ada nenek yang memeluk pinggang kakek dengan erat. Sesekali
kakek itu menoleh ke belakang dan mengatakan sesuatu, lalu mereka berdua
tertawa bersama-sama. Cinta seperti inilah yang seharusnya patut kita contoh. Bukan
semata fisik.” Kopi yang suhunya telah turun sedari tadi kembali diseruput
Bhibi. “Pernah juga aku melihat sepasang orang difabel sedang bercengkerama di sebuah
kafe. Sang lelaki tak memiliki tangan yang sempurna sementara sang perempuan
tak memiliki kaki yang sempurna. Ketika mereka berdua mau pulang, sang
perempuan membantu lelaki mengenakan jaketnya, dan sang lelaki mendorong kursi
roda sang perempuan dengan tangannya yang tak sempurna. Mereka berdua tersenyum-senyum bersama, tak terlihat segorespun rasa sesal memiliki takdir seperti itu. Ketidak-lengkapan mereka tidak menjadi masalah karena ada kekasih yang telah membuat hidup masing-masingnya lengkap. Sungguh, Fa, saat itu,
detik itu juga aku sangat iri dengan mereka berdua, aku cemburu. Ingin sekali
aku memiliki cinta sebesar yang mereka miliki.”
Indahnya... |
Fafa
tersenyum mendengar cerita Bhibi.
“Mereka yang
secara fisik kurang, bisa dengan sangat indah memaknai cinta. Kita yang lengkap
sudah seharusnya bisa memaknai cinta dengan indah juga. Tidak termakan tipu
daya fisik semata, Fa.”
Fafa dan
Bhibi kembali saling berpandangan.
“Kamu
kenapa, Fa, senyum-senyum sedari tadi?”
“Aku mencari
tempat berhenti….”
“Hemh?”
“Tempat
berhentinya hatiku … aku sudah menemukannya. Semoga ….”
“Iya, amiin ….”
Mereka
berdua kemudian bertukar senyum beraroma kopi.