Jumat, 07 Agustus 2015

Happy Karena Berbagi





Selepas kuliah, setelah mendapat gelar tentunya, banyak sekali kemungkinan untuk dijajaki, dan semua kemungkinan itu berkesempatan untuk diwujudkan menjadi kenyataan. Tetapi, itu bila kita tidak terjebak dengan gelar yang dimiliki. Gelar akan membatasi langkah, menyempitkan ruang untuk mengeksplorasi diri. Masa depan tidak ditentukan dari ijazah yang kita terima. Tidak melulu kita harus ada di tempat yang sama untuk melanjutkan hidup.

Banyak kemungkinan yang bisa diwujudkan, namun bukan berarti mudah mewujudkannya. Hal pertama yang menggoda kita untuk menyerah adalah apa kata orang. Sebagai makhluk sosial, setiap kita tidak mungkin untuk menjalani hidup seorang diri, kita harus bergaul dengan makhluk sosial lainnya. Sayangnya, tidak semua makhluk sosial akan bersikap sosialis, menghargai hak-hak hidup masing-masing. Sebagai mahkluk sosial, cara bersosialisasi orang-orang terkadang tidak baik, yaitu dengan membicarakan kehidupan yang lain. Kalau ada orang yang salah atau dianggap salah akan menjadi konsumsi sosialisasi yang sangat digemari, dan hal ini juga berlaku bila ada orang yang menjalani hidup dengan benar. Begitulah faktanya, tapi tak perlu banyak nelangsa bila mendengarnya atau menjadi bahan pembicaraan oleh mereka, karena percayalah, mereka yang lebih gemar membicarakan kehidupan orang lain bukan hanya membuktikan bahwa mereka hanyalah orang-orang kecil saja, tapi juga menunjukkan kalau kehidupan mereka tidak semenarik kehidupan kita. Orang-orang yang sibuk mencari tahu kehidupan orang lain hanyalah orang-orang yang hidupnya sendiri membosankan.
...

Beberapa waktu lalu saya melewati hari-hari tanpa kepastian kapan ijazah keluar. Tanpa adanya kepastian kapan ijazah keluar tak ada pula kepastian pekerjaan yang datang. Saya pun miskin pendapatan, ha...ha...ha.... Di saat seperti itu bukannya semakin giat berusaha, malah cuma satu hal yang terpikir : bikin keributan apa ya enaknya....

Semasa kuliah, banyak ide-ide proyek sosial yang hanya berhenti sampai di obrolan dengan kawan. Hal ini membuat saya merasa berhutang kepada diri sendiri, juga berhutang kepada orang-orang yang menghakimi saya omdo semata. Jadilah saya dan seorang kawan berangkat membikin keributan itu.

Kelas Inspirasi, gerakan sosial yang mengundang tenaga profesional untuk datang ke Sekolah Dasar, bercerita dan menginspirasi siswa sekolah yang dikunjungi. Kelas Inspirasi sudah diselenggarakan di lebih dari tiga puluh kota di seluruh Indonesia, dari sinilah saya berpikir untuk menggagas hal yang sama di kota kelahiran. Dan ternyata itu bukan yang pertama diselenggarakan di Lamongan, sebelumnya ada anak Lamongan lainnya yang bergerak. Hal ini baru saya ketahui setelah saya dan teman-teman mulai menjalankan keributan.

Lamongan adalah kota kecil di sebelah utara Jawa, tidak banyak hal yang bisa diceritakan dari kota ini, karena memang sebagai orang Lamongan sendiri saya tidak pernah jalan-jalan berkeliling kota. Atas kesadaran penuh bahwa saya membuat keributan ini di kota kecil, saya pun realistis saja kalau yang akan bersedia turun tangan pun jumlahnya tak banyak. Di luar dugaan saya, dalam tempo sebulan, telah terkumpul lebih dari seratus relawan. Sebagian adalah teman saya SMA, sebagian adalah orang-orang baik yang baru saya kenal yang tidak hanya berasal dari Lamongan dan sekitarnya, ada pula yang jauh-jauh dari Banyuwangi, Jogja, Semarang, dll.

Tanpa sepeserpun dibayar, tak ada protes, kecewa, duka dan nelangsa yang meliputi wajah-wajah para relawan. Dengan mengerahkan apa yang mereka miliki; harta, uang dan tenaga, mereka berdakwah dengan begitu indahnya, tanpa perlu sok pintar mengucurkan ayat-ayat Al-Qur'an atau hadits. Mengunjungi pelosok-pelosok kota Lamongan yang saya haqqul yakin Bupati pun belum pernah mengunjunginya, dan anak-anak muda itu, dengan penuh semangat, meminjamkan harapan kepada bocah-bocah berseragam merah putih.

Di tiap-tiap sekolah dasar yang dikunjungi, total sepuluh sekolah dasar, para relawan berbagi kebahagiaan kepada siswa dan tenaga pengajar. Bukan hanya anak-anak saja yang bahagia, relawan pun turut mengaku bahagia tak terkira, mereka mendeklarasikan bahwa kebahagiaan pun dapat berangkat dari hal-hal sesederhana meluangkan waktu satu hari saja.

Selepas Kelas Inspirasi masih saja ada siswa-siswa yang menghubungi relawan, sekedar menanyakan kabar atau basa-basi lainnya. Pun begitu bila berjumpa dengan guru-guru sekolah yang dikunjungi, sapa ramah dan orbrolan ringan meluncur tanpa ada pembatas. Persaudaraan pun terbangun terbangun antara orang-orang Lamongan, pun antara orang Lamongan dan relawan luar kota.

Persaudaraan yang tercipta mengajarkan satu hal yang serupa diajarkan senior-senior di kampus. Kala masa mahasiswa baru tiba, para senior akan mengajarkan hukum kebersamaan yang tercipta karena susah bersama, namun sejak terjun di Kelas Inspirasi, saya belajar bahwa kebersamaan pun dapat diciptakan dengan cara lain yang lebih baik, tanpa perlu membentak-bentak, mempermalukan dan lain sebagainya. Saya belajar, kebersamaan pun dapat dicipta dari berbagi bersama-sama, tak penting seberapa besar hal yang dibagi. Kebersamaan dapat dicipta bila kita bergandeng tangan, tulus ikhlas membantu rakyat-rakyat yang selama ini tak terbantu dengan adanya penguasa. Bila ingin menolak argumen saya, ingat-ingat kembali apa yang terjadi setelah KKN yang kamu alami. 

Di sanalah kemudian, saya menemukan kemana saya akan menuju kelak. Saya selama ini tidak kunjung bisa menjadi orang kota. Saya tidak bisa seminggu berkali-kali update di media sosial perihal ibadah sosialita makan di tempat-tempat ternama, saya tidak bisa menjadi yang mula-mula menonton tiap ada film baru disiarkan, saya tidak mampu mengglorifikasikan eksistensi dengan memajang foto saya berkegiatan dengan kawan-kawan di tempat-tempat ramai, saya pun tak juga bisa berdandan baik, menjadi pengikut trend terbaru dari fashion-fashion yang ada. Saya hanyalah orang desa yang bukan apa adanya, tapi begitu adanya.

Di antara anak-anak muda yang tak melulu mengejar materi untuk menemukan bahagia, di sanalah saya menemukan diri saya sendiri. Di antara wajah-wajah orang-orang desa yang kami buat tertawa, di sanalah saya menemukan kebahagiaan saya. Di pelosok-pelosok kota yang seperti antah berantah, di sanalah saya menemukan degup detak jantung bekerja. Di antara orang-orang kecil yang merayu untuk menahan lapar atau bayar sekolah anaknya, di sanalah saya menemukan Tuhan. Di pasar yang temaram langit mengunjunginya, di sanalah saya menemukan manusia-manusia yang senantiasa membawa matahari di dadanya. Bersama orang-orang biasa, di sanalah saya merasakan kebanggaan yang lebih daripada duduk bersama orang-orang berdasi di meja-meja yang penuh makanan mewah.

Dalam sebuah tayangan video yang saya lihat, Gus Dur mengutip seorang sastrawan yang hidup sebelum Nabi Muhammad:
"Aku tak takut dan tak akan bersembunyi di dapur rumah, dan bila rakyat meminta tolong, aku akan membantunya."
...

Tak perlu ada kisah heroik, karena pahlawan hanyalah simbolis semata. Yang terpenting adalah keberanian dan ketulusan kita mewujudkan setiap kemungkinan. Masa-masa yang membingungkan karena banyak kemungkinan ini akan terlewati. Mungkin ini cara Tuhan untuk mengajarkan kedewasaan, karena kedewasaan juga diukur dari pilihan yang ditetapkan.

Let's life to the fullest!


0 komentar:

Posting Komentar