Rabu, 26 Agustus 2015

Sesal Yang Bebas






Yang saya sesalkan begitu dalam, selama bertahun-tahun bukanlah tidak bisa lagi hidup dengannya, tetapi saat bersamanya saya lebih banyak menciptakan luka, kecewa bahkan dosa. Kehidupannya yang sejak semula lurus-lurus saja menjadi mulai belok-belok saat bersama saya. Banyak hal negatif dimana sayalah penyebabnya. Yang seharusnya akibatnya saya tanggung sendiri, malah dia harus turut serta sengsara.

Seperti angan-angan manusia lainnya, saya pun berangan-angan kalau saja waktu itu saya tahu begini jadinya, lebih baik perasaan itu tidak perlu saya turuti sehingga hidupnya akan baik-baik saja.

Kini, seandainya saya memang benar-benar dilupakan, saya akan terima dengan tangan terbuka. Bila, ternyata tidak dilupakan, saya bersedia menjadi sukarelawan. Dilupakan hanyalah sebuah hukuman yang sangat ringan dibanding luka yang saya cipta.

Terluka karena seseorang akan menimbulkan rasa sakit yang besar, namun, perlu untuk diketahui, bahwa melukai pun juga mencipta rasa sakit yang tak kalah hebatnya, meskipun tidak dalam dimensi yang sama. Melukai, bila dan hanya jika menyesal, akan mencipta dua rasa sakit, satu sakit karena melihatnya terluka oleh perbuatan diri sendiri, yang kedua adalah sakit karena menyesal pernah melakukannya, dan hingga entah kapan akan tetap menanggung gelar pendosa.

Setelah tragedi yang pahit, saya masih ingat ia pernah berujar semoga ia adalah perempuan terakhir yang merasakan luka yang saya cipta. 

Bukan hal yang istimewa sebenarnya, karena dengan kebesaran hati yang perempuan miliki, banyak perempuan yang terluka berucap hal yang sama kepada mantan kekasihnya. Tetapi, kalimat itu dan kombinasi rasa sesal yang dalam, membuatnya terpatri kuat dalam benak saya. Sehingga di kemudian hari pun setiap dekat dengan perempuan, dan saya merasa tidak bisa membuatnya bahagia atau sebaliknya, lebih baik untuk tidak dilanjutkan lebih jauh. Jahat memang, tapi dalam hidup, banyak hal-hal yang menyebalkan namun baik untuk menjaga manusia agar tidak terpuruk. Saya pun menjaga perempuan-perempuan dari diri saya sendiri, meskipun itu semua hanya kemungkinan.

Satu hal lagi yang saya ingat betul darinya bahwa setelah tragedi yang pahit itu, ia masih mempercayai saya bahwa kelak saya akan menjadi lebih baik, dan akan melakukan hal-hal yang baik.

Ini juga bukan hal yang luar biasa, bahkan bisa jadi ini hanya ucapan yang dibesar-besarkan olehnya saja sebagai penutup komunikasi agar saya tak menghubunginya lagi. Tetapi, saat itu jiwa saya benar-benar sedang berada di titik terendah, di titik paling menyesal, di titik paling kaget bahwa saya bisa berlaku jahat. Banyak dari ucapannya yang menjadi causa saya bisa seperti sekarang ini.

Selama kuliah saya memutuskan untuk berada dalam tempurung kura-kura, jangan sampai terlalu menarik perhatian, karena kehadiran saya saja sudah membuatnya luka, terlebih bila saya terlalu banyak berkarya. Ha...ha...ha..., iya, iya, padahal ya memang tidak sanggup berkarya saja. Mungkin terdengar aneh, dan dibuat-buat, namun apa sih jadinya dunia ini tanpa keanehan dan hiperbola?

Mengenang kembali ucapannya, saya pun mantap untuk mengolah diri menjadi pribadi yang lebih baik, dan sebelum sampai pada keadaan itu, maka saya pun harus bersabar untuk meminang anak perempuan orang. Tapi, kalau begini ceritanya saya ya jadi single fighter terus dong...ha...ha...ha... 




Ia kini sudah bahagia dengan kehidupan barunya: di awal tahun lalu ia menikah. Iya...iya...saya tidak diundang, terjawab kan pertanyaannya. Saya sih, berbaik sangka saja kalau ia menjaga perasaan saya, bisa dibayangkan kalau diundang dan saya datang, berapa banyak undangan yang notabene adalah kawan-kawan lama yang akan menjadikan saya bulan-bulan untuk di bully. Tentu saja lebih baik saya tidak diundang toh, apa ya tega jomblo kronik dijadikan olok-olokan saat hari bahagia pernikahan? Toh juga bisa hemat cost beli undangan.

Kebahagiaannya di hari pernikahan adalah kebahagiaan saya jua. Karena di hari itu juga saya pun lega, ia akhirnya bisa memliki kehidupan bahagia yang baik-baik saja, meski di masa silam saya pernah mencipta luka. Artinya luka yang saya cipta sudah tidak mempengaruhi hidupnya. Ya, hal ini juga didukung oleh karakternya yang kuat, sehingga ia bisa dengan mudah bangkit dari masa itu, kalau kata seseorang yang entah siapa, ia bukanlah perempuan yang membutuhkan laki-laki, tapi perempuan yang dibutuhkan laki-laki.

Rantai sesal yang membelenggu saya akhirnya lepas, ia bahagia, dan saya pun bisa bebas. Apa yang saya lakukan di masa lalu bak sudah termaafkan dan tidak lagi berdampak buruk di kemudian hari. Perlahan, saya mengembangkan sayap, perlahan saya menguatkan nafas, bersiap untuk terbang tinggi dan untuk menyelam lebih dalam. Saya menyiapkan diri untuk berkarya, setelah selama ini tinggal dalam tempurung kura-kura.

Selamat berbahagia...,

NB : 
  1. Saya pernah menuliskannya dalam bait-bait yang tertera di sini
  2. Mungkin bagi yang membaca ada kesan apa sih, alay, lemah, dsb, percayalah, menulis hal serupa membutuhkan keberanian ekstra, karena sungguh, mengingatnya saja sudah harus menelusuri lintasan waktu hanya untuk mengorek kembali luka lama. Perih.
  3. Jangan serius-serius, iya kalau memang cerita sungguhan? Kalau bohong? Siapa yang jamin?





0 komentar:

Posting Komentar