Kamis, 20 Agustus 2015

Paus dan Elang


memang baik terbang tinggi membesarkan nama diri,
namun juga baik menyelam lebih dalam membuat perubahan meski perlahan
-mbak dokter berkacamata-


Beberapa akhir tahun ini, bisa sekolah ke luar negeri seolah adalah sebuah mimpi suci bagi setiap mahasiswa. Mencapainya adalah sebuah kehormatan luar biasa bagi seorang akademisi. Terlebih setelah dialog legendaris, "Ainun, maukah kau ke Jerman bersamaku?". Dialog tersebut selain membuat semakin banyak yang tergiur belajar ke tanah bavaria, juga semakin banyak lelaki jomblo yang sulit mendapat jodoh karena standart penerimaan perempuan adalah dibawa ke Jerman.

Menjadi pengusaha dengan omset menggunung lantas menjadi motivator atau mencapai karir tinggi dengan gaji yang melangit di sebuah perusahaan ternama adalah mimpi suci berikutnya bagi anak muda. Serta tak ketinggalan, berduyun-duyun anak-anak muda membuat prasasti eksistensi diri di atas gunung atau hamparan pasir pantai, mengklaim diri sebagai seorang petualang.

Ada yang salah dengan semua itu?

Tentu saja tidak ada, selama itu adalah keinginan diri dengan visi yang jelas, bukan sekedar ikut-ikutan orang lain. Karena makna yang lahir dari kehendak diri sendiri akan lebih dalam daripada silau akan cerita bahagia orang lain.

Semua hal baik itu adalah tentang perihal terbang tinggi. Kalau semua memutuskan untuk terbang tinggi, apa yang lantas dapat dilihat dari ketinggian sana. Siapa pula yang akan bersedia menemani mereka yang tak mampu terbang.

Ada pula anak manusia yang repot-repot menyelam ke dalam. Mengunjungi satu desa ke desa lainnya, bukan untuk mengumpulkan foto kemudian menjadikannya prasasti eksistensi. Ia menjejak langkah malah untuk mengakui dan merasakan eksistensi dari mereka yang selama ini tak memiliki kesempatan untuk mendapat kemewahan terbang tinggi.

Mereka adalah manusia-manusia di daerah-daerah yang jarang atau bahkan tidak pernah disebut oleh buku pelajaran. Dalam tradisi dan adat yang mereka emban terbang tinggi memiliki konsep yang jauh berbeda dengan apa yang saya sebutkan di awal. Terbang tinggi bagi mereka adalah saat mampu berbuat baik kepada sesama, mematuhi warisan-warisan kehidupan leluhur, serta menjaga agar bumi tetap seperti sediakala.

Anak-anak manusia yang mau repot-repot menyelam itu lantas perlahan menyulam selarik demi selarik bulu agar orang-orang yang mereka kunjungi mampu hidup selayaknya kemewahan yang didapat manusia-manusia yang terbang tinggi itu. Tidak muluk-muluk untuk sekolah keluar negeri, menjadi pengusaha, memiliki karir cemerlang, ataukah mengoleksi foto di berbagai muka bumi. Anak-anak manusia itu hanya berharap orang-orang di daerah ini tercukupi kebutuhan dasarnya.

...

Menjadi elang, terbang tinggi nun jauh melewati awan. Laksana awan-awan pun menyimpan cemburu dan iri tak mampu melayang lebih tinggi dari sang elang. Dari atas sana, awan mampu memandang lebih luas, melihat lebih jauh. Di bawah, di atas tanah, semua makhluk yang tak mampu terbang maupun yang sanggup terbang terpana mengagumi kemampuan istimewa yang dimiliki elang, pencapaian yang tidak semua makhluk mampu lakukan. Elang lantas menjadi simbol kehebatan, keberanian, kemegahan, dan segala kemampuan yang di luar kata biasa. Makhluk lainnya, seperti halnya awan, iri, cemburu, memimpikan suatu saat dapat terbang sedemikian tinggi, sebuah pencapaian yang tampak begitu membahagiakan. Mereka bergegas menyulam sayap dengan segala hal yang dimiliki, berharap sayap yang dimiliki kelak dapat menandingi atau bahkan mengalahkan rekor terbang elang. Mendapati puja puji sedemikian banyak, elang pun menikmatinya, tak mau melewatkan satu detik pun momen ketika ia menjadi makhluk yang paling istimewa di mata makhluk lainnya...kala itu.

Nun jauh dari tahta sang raja langit, hiduplah seekor paus. Dari lautan ia tertarik oleh tempik sorak yang riuh di daratan. Ia tergoda untuk mencari tahu apa kiranya yang membuat suasana begitu riuhnya. Dilihatnya sebuah siluet hitam kecil di angkasa, terlihat hampir seperti sebuah titik saja dari tempat paus berdiam. Tak salah lagi duga paus itu adalah elang, tak ada yang lainnya yang mampu mengungguli awan. Paus menyemprotkan air tinggi-tinggi guna turut merayakan kebahagian lainnya. Adalah baik untuk ikut serta berbahagia bila yang lainnya berbahagia, dan juga baik untuk menemani mereka yang sedih hatinya. Teringat hal itu, paus tak berlama-lama larut dalam perayaan itu. Kemudian ia berlalu, menyelam, menuju ke pedalaman.

Elang, terbang tinggi tak perlu bersusah payah serupa paus. Di atmosfer, elang bebas menghirup udara, dan lincah memainkan gerak-gerik udara. Paus, dengan segala kekurangannya, suka rela menahan nafas berjam-jam untuk mencapai tujuan. Sampai di kedalaman pun tak banyak yang bisa dilihat, pun hanya sedikit cahaya yang tak kehilangan tenaga saat menuju ke sana. Sampai di kedalaman, paus menemukan mereka yang kesepian, ditinggalkan, tak lagi dihiraukan. Mereka berada di kehidupan minor karena untuk menyelam sedalam itu saja membutuhkan usaha yang perlu ketelatenan, ketahanan fisik dan mental, serta hati yang tulus. Tak ayal, yang mau bersusah payah menyelam ke sana pun tak banyak. Paling-paling yang lainnya menyelam hingga terumbu karang lalu kembali ke daratan.

Paus, dengan senyumnya yang ramah seperti biasanya, menyapa satu persatu penghuni kedalaman, bertanya perihal  berlangsungnya kehidupan di sana, menghibur yang duka, mengobati yang luka, membesarkan hati yang nelangsa. Selesai kunjungannya yang di rasa singkat oleh makhluk-makhluk pedalaman, paus bergegas ke permukaan, menghirup nafas serta menceritakan kehidupan di pedalaman sana. Tak banyak yang tertarik dengan cerita paus karena semuanya sedang sibuk merajut sayap masing-masing untuk mampu terbang, atau sibuk mencari bahan-bahan merajut agar keluarganya mampu terbang. Setiap kembali ke kedalaman, paus tak selalu mendapat teman baru untuk menemani perjalanannya, pun terkadang kawan lamanya tak lagi sanggup meneruskan perjalanan. Sayangnya paus tak mengenal menyerah dan tak pula didera sedih, ia tetap mantap menempuh perjalanan menuju kedalaman ... setiap hari.

Bilakah ada yang bertanya, apakah paus tak mampu terbang? Seluruh makhluk akan menjawabnya tanpa keraguan, bahwa paus sanggup melakukannya. Dulu, di suatu masa, paus mampu terbang hingga ke bulan demi menyanggupi pinta seekor makhluk kedalaman yang memohon untuk di ambil batu bulan sebagai hadiah ulang tahun ibunya yang renta.

...

Kita perlu mengenali diri sendiri, siapakah kita, apa kemampuan kita, untuk apa Gusti Allah menghadirkan kita ke dunia. Kita dapat memilih untuk menjadi elang ataukah paus, keduanya baik. Selama kita tak memilih menjadi bebek, dapat terbang namun hanya sejengkal di atas tanah, mampu berenang namun hanya di permukaan, pun di tanah, ia hanya berani berpetualang bila bergerombol, pula hanya mengikuti kemana arah bebek paling depan menuju. Sendirian atau berkawan elang akan tetap terbang tinggi, paus tetap akan menyelam menuju kedalaman.




0 komentar:

Posting Komentar