Minggu, 30 November 2014

Gaduh Bak Vuvuzela



Seorang gadis baru saja menjejakkan kakinya di dunia perkuliahan. Tak cantik, tak juga berbadan baik, tak ideal seperti khayalan perempuan dan lelaki. Datang di sebuah jurusan yang berisi sedikit makhluk berkelamin laki-laki, tak ayal membuatnya mudah memandang lebih lelaki yang berparas baik sebagai sosok istimewa, oase di padang pasir. Jurusan yang berpenduduk lelaki sebagai minoritas memang otomatis membuat lelaki berparas baik bak sesuatu yang mewah dan langka, menjadi pujaan bagi yang mendamba serta menjadi anugerah bagi yang punya. Entah bagaimana nasibnya lelaki itu bila tak berada disana.

Gadis yang merayakan sweet seventeen-nya tahun lalu ini tertarik kepada lelaki berparas baik. Tak hanya satu, ada beberapa lelaki yang berhasil mencuri perhatiannya, menjadi semangatnya berebut parkiran motor yang kian langka setiap pagi. Kepada seorang lelaki berparas baik ia memberanikan diri menunjukkan ketertarikannya dengan membawakan bekal makan siang yang ia racik sendiri dan ia hantarkan sendiri pula. Gadis yang kedewasaannya belum matang ini melakukan suatu kecerobohan dalam menunjukkan ketertarikannya pada lelaki-lelaki itu. Ia menulis nama-nama lelaki berparas baik yang mencuri perhatiannya di sebuah media sosial, tempat dimana orang tak perlu kulo nuwun menginjakkan kaki pada privasi orang lain. Setelah sebelumnya ia tidak diterima dengan baik kala tulus membawakan bekal, sikap cerobohnya kali ini seolah menjadi legalisasi makhluk-makhluk muda kampus untuk membicarakannya. Rasa suka yang ia berani nyatakan dan ketulusan yang ia tunjukkan menjadi bahan perbincangan disela padatnya jadwal kuliah, sesekali sekumpulan makhluk semester yang lebih tua menertawakan. Kisahnya cepat menjadi lawakan, laku bak mi instan rebus dikala hujan.

...

Seorang mahasiswa humble yang doyan menghabiskan waktu bermain game bersama rekan-rekannya kini mulai meluangkan waktu untuk seorang mahasiswi berparas dan berprestasi baik. Apalah lagi alasannya kalau bukan karena cinta. Seorang meluangkan waktunya, berarti ia telah memberikan salah satu hal terpenting dalam hidupnya, karena waktu tak dapat diambil lagi. Terlebih bagi seorang gamer yang tak punya banyak waktu untuk urusan selain bermain. Entah apa yang ada di benak mahasiswi berparas baik itu, karena mahasiswa itu tak termasuk lelaki berparas baik di kampus yang berisi sedikit lelaki. Entah apa pula yang menjadi motif mahasiswa itu mencintai mahasiswi tersebut, setelah banyak dari temannya yang protes tanda tak setuju. 

Makhluk-makhluk di kampus mereka adalah salah satu contoh ironi pendidikan saat ini. Dijejali jadwal yang padat, tugas menggunung dan ujian yang berat menyebabkan mereka jarang memiliki kehidupan lain di luar rutinitas kuliah. Karenanya, bila ada hal-hal yang menarik perhatian dan layak diperbincangkan-mayoritas hal-hal buruk-akan segera menyebar luas, mampir ke mulut dan telinga yang bahkan telah tertutup sucinya kerudung. Kisah dua sejoli itu, sikap protes orang-orang terdekat mereka berdua, dan bagaimana mereka berdua menunjukkan cintanya kepada dunia adalah bumbu terbaik untuk menjadi perbincangan, mengisi sela-sela waktu kosong dan bagian otak yang tersisa. Terlebih setelah keduanya mendapat takdir buruk, jatuh dari berkendara di subuh buta. Perbincangan makhluk-makhluk kampus bak suara di peternakan lebah, gaduh bak vuvuzela di Piala Dunia Afrika. 

Andaikata, mahasiswi itu adalah makhluk perempuan yang juga humble, ekstrovert, dan sifat-sifat baik ideal lainnya, tentu perbincangan itu tak akan menjadi sebesar ini, bahkan mungkin lebih banyak yang mendukung. Dan semuanya akan berjalan baik-baik saja.

Perbincangan demi perbincangan, nada-nada sumbang tak berhenti setelah celaka. Masih pula menjadi bahan tawa ketika mahasiswa itu berkeras kepala menemani kemana pun mahasiswi itu dirawat padahal dia sendiri sedang menanggung derita fisik yang lebih parah.

...

Terlepas dari kecerobohan gadis itu, lagi pula siapa diantara manusia yang tidak pernah melakukan kecerobohan, bahkan yang kedewasaannya matang sekalipun; terlepas dari cara menunjukkan cinta mahasiswa dan mahasiswi itu yang dinilai berlebihan bagi makhluk sekitarnya; terlepas dari apakah ketiga makhluk itu benar atau salah, mereka bertiga telah menunjukkan kebebasan yang menjadi barang langka di masa ini. Banyak orang terperangkap dengan citra yang sudah melekat padanya, terperangkap pada bagaimana orang menilainya, terperangkap pada aturan salah dan benar; banyak yang terperangkap, tak bebas dan akhirnya tak menjadi dirinya sendiri. Ketika musik dengan irama menghentak diperdengarkan, tak satupun dari mereka bergoyang, ketika musik mellow menyayat hati didendangkan, tak satupun menangis, mereka takut dibilang berlebihan, mereka khawatir dianggap gila, mereka tak berani menjadi berbeda, karena di lingkungan ketiga makhluk tersebut berbeda seolah hal yang hina. 

Gadis itu berani menunjukkan cintanya kepada yang mencuri perhatiannya ketika yang lain berpura-pura biasa saja dan hanya berani menjadi stalker kala jatuh cinta. Ia repot-repot membentuk perhatiannya menjadi aksi nyata ketika yang lain hanya sebatas kata-kata di media maya. Entah gadis itu tak mengerti resiko baginya yang biasa saja, asing dan entah memiliki kelebihan apa, untuk menyukai makhluk-makhluk istimewa atau memang ia telah siap dengan segala resikonya. Bila alasan kedua yang menjadikannya berani, maka tepuk tangan patut diberikan padanya. Jatuh cinta yang diungkapkan dengan baik dan tulus memang tak selalu berujung diterima dengan sama baiknya.

Kedua sejoli itu, mahasiswa dan mahasiswi, merayakan betapa indahnya kala jatuh cinta. Mereka berdua memeriahkan dengan berbagai tindakan yang kemudian dianggap tak wajar, termasuk ketika si mahasiswa merengek untuk turut serta kemanapun mahasiswi dibawa, padahal itu merupakan penebusan rasa bersalah terhadap tanggung jawab yang lalai ia jalankan. Entah para pembincang itu iri karena masih sendiri atau memang telah mendarah daging untuk bahagia membenci dan benci kepada yang berbahagia.

Terlepas dari benar atau salah ketiganya, meninggalkan kebiasaan mencampuri kehidupan manusia lainnya yang tidak bersinggungan langsung dengan kehidupan diri sendiri adalah hal yang baik dilakukan. Mencari celah jadwal padat dengan membuat kehidupan lain di luar rutinitas merupakan satu bentuk cara meninggalkan kebiasaan lama.

Bila memang jiwa penonton telah menjadi identitas bagi makhluk-makhluk yang suka berbincang kabar tidak baik itu, setidaknya mereka menjadi penonton yang baik bak supporter Liverpool, meski telah lebih dari dua dekade tak juara mereka tetap setia, mengapresiasi pada kemenangan dan mengoreksi bila tertimpa kekalahan. Semua itu demi kebaikan bersama, pemain bola akan bahagia, supporter pun turut serta. Karena urip iki mung mampir ngombe, maka puaskanlah dahagamu dengan air yang menyegarkan jangan melulu meminum kopi pahit atau bahkan alkohol yang merusak badan dan jiwa.

Senin, 17 November 2014

Percakapan Di Ruang Keluarga



Dewa-dewi waktu, malam, pagi, siang dan sore, sedang menikmati masa rehat di ruang keluarga. Ruangan itu dipenuhi aroma teh poci dan melati. Mereka tak begitu suka menikmati masa rehat dengan ditemani kopi, lantaran kopi memiliki kafein yang lebih sedikit daripada teh.

Berbagai macam cerita pada masing-masing masa diperbincangkan, mulai dari kesepakatan memberi jatah hujan turun pada tiap masa, hingga perbincangan remeh mendekati tak berarti selayaknya obrolan manusia, seperti berdebat tentang jumlah pengagum sore-pemilik senja-yang kian banyak jumlahnya.

Siang yang memiliki pengagum paling sedikit, membeberkan fakta tentang pengagum sore. "Kalian tahu, mereka berburu senja hanya untuk menaikkan kasta!" ia memulai argumen dengan suara keras seperti biasa. "Kebahagian jiwa mereka bukanlah karena rasa yang tercipta kala raga menatap senja, kebahagiaan jiwa mereka hadir ketika manusia lainnya mengagumi rekaman senja mereka!"

"Sebenarnya mereka bahagia karena menikmati karya, bukan karena senja, begitu menurutmu?" tanya dewi malam yang kala itu menggulung rambut panjangnya ke atas, menyisakan pemandangan leher jenjang dan beberapa helai rambut yang terjuntai.

"Tidak semua tentunya, … kan?" sahut pagi.

Siang berdiri ke arah meja, tempat teh poci mendinginkan diri, sambil melanjutkan argumennya. "Tentu saja tidak, tapi banyak dari mereka yang berkarya tentang senja hanya untuk mendapat pujian dari manusia lainnya. Puisi misalnya, mereka merangkai kata tanpa menyertakan jiwa senja di dalamnya, yang disertakan mereka hanyalah jiwa manusia yang merasa indah serta layak dikagumi. Aku ragu pada pribadinya yang menyebut diri sendiri tukang sajak."

Dewi sore yang menjadi rujukan pembicaraan akhirnya angkat suara. "Ya, aku tahu itu. Aku mengetahui itu sudah sejak lama, dan telah lama pula aku gelisah karenanya." Ia berhenti sejenak, mengambil cangkir teh poci yang ditawarkan siang. "Peradaban manusia saat ini menjauhkan mereka dari spiritualitas. Mereka telah mulai berlari dari pemahaman kepada jiwa, kepada alam, dan kepada pencipta. Hidup mereka sekarang hanya tersisa-semoga aku salah-tentang baik dan buruk serta benar dan salah. Tuhan dari diri mereka kini adalah pengakuan manusia. Ini bak bila mendapat pengakuan baik atau benar semakin banyak, semakin alim pula manusia itu."

"Terpujilah manusia-manusia yang dengan sederhana menikmati hidup, dan tak sekalipun ia berkacak pinggang mengatakan ia menikmati hidup."

Doa dewi malam diamini ketiga saudaranya.