Kamis, 01 Agustus 2013

Teman - 1


Lama tak menulis, membuat otot jemari saya kaku. Ada banyak sekali karbon oksida yang rusuh memenuhi sekat-sekat otak saya yang perlu saya keluarkan. Hati saya pun mulai tumpul untuk merasa, tertatih membaca isyarat dan pertanda yang bermakna. Tulisan dibawah ini belumlah sempurna sebagai sebuah pembicaraan antara saya dan anda, ada perenungan yang harus saya lewati lagi agar meyakinkan diri saya bahwa setiap kata yang saya tulis telah saya sendiri mengerti dengan baik dalam kesadaran penuh.

Tulisan ini jauh dari pembicaraan yang baik antara saya dengan anda, karena itu, nanti saya akan meluangkan waktu untuk kembali berbicara berdua. Selalu menyenangkan dapat memiliki pengalaman berbicara dengan anda, karena saya selalu mendapat hal-hal baru yang membuat saya dapat menjalani hidup dengan lebih baik.

Tanya di benak anda tentang dengan siapa saya berbicara lebih baik segera dihapusm karena saya sedang berbicara berdua dengan anda yang membaca tulisan ini, saat ini juga.

Karena tulisan ini singkat, alangkah baiknya bila anda juga memutar video dibawah ini, untuk menambah durasi pembicaran kita. Silahkan,




...
Sudah tak terhitng lagi jumlahnya saya membaca berbagai kalimat yang mendefinisikan teman ideal. “Teman yang baik itu … bla… bla… bla….” Atau “Teman sejati itu… bla… bla… bla….” Ada yang menulisnya dengan penuh syukur karena memiliki teman yang setia, ada yang menulis untuk menyindir karena sedang bermasalah dengan temannya, ada juga yang menulis seperti itu karena merasa sedang tidak memiliki teman sesuai definisinya.

Setiap kali membaca tulisan semacam itu, rasanya seperti disodorkan sebuah cermin tepat di wajah saya, bertanya ke diri sendiri apakah saya sudah sesuai dengan teman yang mereka deskripsikan? Apakah kehadiran saya sebagai seorang teman telah membuat setidaknya seseorang mengucap syukur sembari menulis definisi teman. Meskipun hanya seorang, itu telah menunjukkan hal yang jelas bahwa ada manfaat dari hidup yang telah saya jalani. Ataukah ternyata selama ini saya adalah seorang teman yang layak untuk disindir bahkan dimarahi karena berulangkali melanggar garis batas teman yang baik. Ataukah malah saya adalah teman yang jauh dari definisi teman yang baik. Saya selalu khawatir dengan kalimat-kalimat yang mendefinisikan seorang teman, resah bila setiap definisi itu bukanlah saya. Karena sebagai manusia biasa, saya tentu memiliki banyak cela.

“Perlakukan orang lain seperti kamu ingin diperlakukan.” Kalimat bijak sederhana ini telah diucapkan pada ribuan tutur kata dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana sederhananya nafas yang tiap detik di lakukan telah lupa disyukuri, kalimat sederhana itu juga lupa untuk dijadikan perilaku setiap hari. Mungkin saking sederhananya, kemudian dianggap kecil, lalu tak perlu lagi perhatian khusus kepada hal-hal sederhana semacam itu.

Menulis definisi teman itu seperti menginginkan teman sesuai dengan definisi. Sebelum menulis hal seperti itu ada baiknya merefleksi ke diri sendiri. Bila menginginkan teman setia, apakah diri sendiri telah setia? Bila menginginkan teman selalu ada, apakah diri sendiri telah menyisihkan ego dan meluangkan waktu untuk mereka? Alangkah baiknya bila membiasakan diri bertanya apakah diri ini telah sesuai dengan definisi teman yang diinginkan, atau setidaknya mendekati definisi tersebut. Sehingga, kelak diri ini akan mendapati sepantas-pantasnya teman baik karena telah berupaya dengan baik menjadi seorang teman yang baik.

Meletakkan cermin untuk merefleksikan penilaian-penilaian tentang teman kepada diri sendiri adalah langkah baik, sebelum memakan omongan sendiri. Dan juga agar apa yang diinginkan tidak jauh panggang dari api.

...

Pembicaraan ini memang terasa terlalu singkat, nanti, saya akan membicarakan hal ini lagi dengan anda.
Selamat hidup dengan baik.

Sepotong Cinta



Salah satu rutinitas yang wajib saya lakukan saat pulang dari rantau adalah ngopi di warkop depan pasar kecamatan. Letaknya tak jauh dari rumah, hanya berjalak kurang lebih satu kilometer. Pasar ini turut andil dalam bertumbuhnya saya ketika duduk di bangku SD. Yang menjadi teman saya ngopi, hampir bisa dipastikan selalu sama, bila ada yang berbeda, berarti ada satu dua orang yang ikut. Ia adalah sahabat saya sejak SMP, yang selalu tidak pernah absen bertemu ketika saya pulang atau libur.


Malam sudah larut, tak terasa bagi kami, yang membuat kami percaya telah lama duduk di warkop ini adalah jumlah gorengan yang tinggal sedikit. Sedari tadi gorengan tak bisa mengelak menjadi korban mulut kami yang jahil.


Dingin malam mulai menawar paksa angin-angin yang membuat tubuh bergetar disengat suhu rendah. Dari arah barat, saya melihat sepasang manusia berjalan dengan jaket tebal yang tidak dikancingkan dengan baik. Lambat laun, mata saya mulai jelas melihat mereka berdua adalah sepasang kakek dan nenek. Saya tergelitik untuk mengamati dengan lebih cermat. Sang nenek melingarkan tangan kirinya di lengan kanan sang kakek. Sepanjang jalan, saya tak melihat mereka berdua mengobrol, namun bahasa tubuh yang bisa saya tangkap telah jelas menyiratkan rasa sayang mereka berdua telah saling menghangatkan, mengalahkan dingin malam.


Sang nenek mengajak kakek untuk berhenti di warkop tempat saya sedari tadi ngopi. Mereka berdua sama sekali tak terlihat seperti pensiunan pegawai negeri yang memiliki jaminan masa tua, juga tak terlihat seperti kakek-nenek yang mampu mewariskan berhektar-hektar tanah. Saat melihat wajah nenek dengan lebih teliti, ingatan masa kecil saya samar memperlihatkan seorang wanita tua yang menjajakan makanan dan bekerja serabutan.


Nenek itu memesan segelas teh panas dan mengambil dua potong pisang goreng, satu pisang goreng diberikan kepada kakek. Dengan tangan sedikit gemetar tangan kakek menerima pisang goreng itu. Mereka masih tak banyak bicara satu sama lain, membuat saya teringat pada sebuah kalimat mencintai dalam diam, mereka melakukannya dalam dingin malam.


Selesai memakan sepotong pisang goreng, nenek meraih gelas yang berisi teh di depannya. Ia meminumnya sampai habis separuh, lantas menyerahkan separuhnya kepada kakek yang masih belum habis pisang gorengnya. Kakek itu menggenggam gelas itu erat berusaha mendapatkan hangat. Aku sangsi tangannya yang sedikit gemetar tadi telah kembali normal karena hangat dari teh itu, aku bertaruh ia tak lagi merasa dingin karena hangat perlakuan sayang dari nenek.


Separuh teh telah habis, sang nenek berkata kepada kakek untuk segera beranjak pulang karena saat itu memang jam telah lewat dari tengah malam. Nenek itu mengeluarkan dua lembar uang seribuan kepada pemilik warkop. Ia lalu kembali melingkarkan tangannya di lengan kakek. Mereka berdua berdiri kemudian meninggalkan warkop.


Saya dan sahabat mengamati kemana mereka berdua pergi sampai tak terlihat lagi setelah kakek dan nenek itu berbelok di gang dekat warkop. Sejak masuk warkop, mereka berdua tak banyak bertukar kata, namun banyak rasa cinta yang berbahasa. Di dalam warkop, hangat dari sebentuk kasih sayang yang baru saja saya saksikan masih tersisa. Kopi saya yang telah dingin pun menjadi terasa sedap karena kehangatan itu.


…….


Setelah melihat isi dompet mulai mengkhawatirkan, saya menyisipkan rencana untuk mengambil tambahan uang di ATM. Dulu memang belum ada ATM dekat kostan, padahal di dekat tempat kost saya merupakan area tempat makan yang ramenya sampai sering membuat macet jalan. Biasanya saya mengambil uang di ATM bank yang ada di sebelah masjid kampus.


Saat saya masuk pagar bank dan memarkirkan motor sekenanya karena sudah malam hari, tidak ada aktivitas yang akan terganggu dengan cara parkir saya. Sesaat usai memarkir motor sekenanya, mata saya berhenti pada pemandangan seorang laki-laki yang kaki kanannya di gips dan kedua tangannya memegang erat engrang. Ia keluar dari ATM perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian. Di depan bapak itu ada anaknya, seorang bocah laki-laki yang berjalan sambil terus memandangi ayahnya, terlihat ia sedang berjaga-jaga bila ayahnya memiliki masalah dengan kakinya, ia akan dengan sigap membantu kelancaran jalan ayahnya.


Istrinya yang sedari tadi duduk di motor bergegas mendekat ke suaminya, sama seperti anaknya, ia tak menuntun sang suami, ia hanya berjaga sesigap bocah laki-laki kesayangannya. Tampaknya istri dan anaknya tak ingin membuatnya merasa lemah dan perlu dikasihani, tetapi mereka berdua telah merelakan apa yang dimiliki untuk membuatnya merasa lebih baik.


Bapak itu agak kesusahan ketika mengangkat kakinya untuk bisa duduk di motor. Sementara istrinya ikhlas merepotkan diri menjaga motor agar tidak jatuh dan membantu suami bisa duduk dengan baik di jok belakang. Tangan kanan anaknya membantu memegangi engrang, tangan kirinya memegang erat tangan ayahnya.


Malam itu saya tidak hanya mendapatkan tambahan uang untuk bertahan hidup, namun juga ada nilai tambah dalam kehidupan saya. Bagaimana setiap bagian dari keluarga itu serupa dengan bagaimana setiap potong kecil perkakas dalam jam dinding bekerja. Saling menopang, saling menjaga, ….


Hati saya lalu berujar pelan, kelak saya ingin juga memiliki keluarga kecil sehangat ini.
……


Ada sepasang penjual gorengan di pasar dekat kampus yang menjadi langganan saya, sampai-sampai mereka hafal setiap saya beli gorengan hampir dipastikan hanya beli tiga ribu saja, tapi biasanya mereka akan menambahkan satu atau dua potong gorengan ke dalam plastik pesanan saya. Harga gorengannya sepotong lima ratus rupiah, wajar bila saya membeli tiga ribu, dapat enam potong dan itu cukup untuk mengganjal perut mahasiswa yang berdomisili dikostan dan penghematan bagi yang masih sering kedodoran dalam mengatur keuangan.


Bila mengacu pada ucapan-ucapan lama, “kalau mirip bakal jodoh” atau mengacu pada hukum paling tidak jodoh itu yang…ya kalau cakep dapatnya cakep juga, mungkin bila saya berpegang pada hal tersebut saya tidak akan pernah menyangka kalau mereka berdua ini jodoh.


Seringkali, diantara kita selalu mendamba yang cantik atau yang tampan, kemudian lupa bertanya tentang bagaimana sikapnya, juga lupa berkaca bagaimana paras kita sendiri. Apakah selalu pantas menilai paras adalah hal utama dalam hidup?


Mungkin, kita seringkali lupa, mereka yang sempurna tak selalu sanggup melengkapi kekurangan kita.

...
Ada banyak kisah cinta yang seringkali saya temui dalam bentuk potongan demi potongan, menjadi pelajaran hidup untuk mencintainya kelak dengan utuh. 

Wanitaku



Bagaimanapun juga hati yang menginginkanmu ini adalah hati manusia biasa. Yang lidahnya tergulung, tak bisa berkata sepatah kata pun ketika bertukar senyum denganmu. Yang pikirannya membeku di udara, tak tahu harus bertingkah bagaimana kala di dekatmu. Yang imajinya seringkali tertuju pada manis parasmu.


Ada bagian dari hati ini yang mungkin tak dimiliki semua manusia ketika jatuh cinta, sebentuk keyakinan bahwa kelak kamu mampu membawanya ke tempat-tempat indah, dan menjadikannya memiliki kehidupan paling baik dari yang bisa diusahakan. Ia meyakini hanya denganmu, tulang rusuk yang berjumlah tak genap terasa lengkap. Alasan itulah yang membawa hati memilihmu.

“Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” - Rasulullah saw
(HR. Bukhari dan Muslim)
Wanitaku,
Adalah baik bagiku bila sebisa mungkin aku menundukkan pandangan dari parasmu, karena dengan begitulah aku bisa menjagamu tetap menjadi sebagaimana mestinya kamu dipandang istimewa oleh Pencipta.
Adalah baik bagiku bila sebisa mungkin aku menjaga jarak tak terlalu dekat denganmu, karena dengan begitulah aku bisa menjagamu tetap menjadi sebagaimana mestinya kamu diperlakukan istimewa oleh Pencipta.
Adalah baik bagiku bila sebisa mungkin aku menata tutur kata ketika berbicara denganmu, karena dengan begitulah aku bisa menjagamu tetap menjadi sebagaimana takdir menjadikanmu istimewa dalam FirmanNya.


Wanitaku,
Keraguanmu yang mempertanyakan kesungguhanku tak usah kamu simpan sebagai pengingat keberadaanku. Yakinilah kehadiranku dengan mengerti bagaimana aku menjagamu tetap berada di jarak yang aman dari diriku. Aku begitu menginginkanmu, serupa rembulan yang berputar sekian lama di sekitar bumi hanya untuk merayu siang agar mau menemuinya. Aku begitu menginginkanmu, dan begitulah memang seharusnya bagaimana aku menginginkanmu sebagai teman hidup. Ada jarak yang harus kita jaga, karena masih ada batas bagi kita yang saling mencinta. Dan ada jarak yang harus aku kikis dari batasan-batasan yang telah menjadi ketetapan Tuhan. 

Wanitaku,
Tuhan membatasi kita bila memang belum siap untuk saling menjaga kehormatan karena cinta bukanlah perihal murahan, meskipun setiap dari kita bisa saling memilikinya dengan mahar yang tak mahal. Tuhan mengistimewakan cinta dengan memberi batasan karena disana ada derajat yang hanya diwariskan kepada makhluk paling sempurna. Bila ada batasan jarak, memang seharusnya begitu, karena Tuhan lebih mengetahui segala hal baik yang tak selalu dimengerti ciptaanNya.


"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)."
An Nur ayat 26

Wanitaku,
Aku begitu menginginkanmu, karena itu ada keharusan yang juga mesti kupenuhi, yaitu mendekat kepada Tuhan yang memilikimu, mengupayakan memenuhi setiap keping apa yang Ia syaratkan untuk memilikimu, merayuNya untuk memercayakan telapak tanganmu padaku.


Wanitaku,
Mungkin memang satu-satunya jalan untuk kita saling mendampingi hidup adalah dengan menunggu. Tapi semua persoalan menunggu ini hanyalah sementara, sebuah langkah tak kemana, menjejak kaki erat ke tanah dan membiarkan setiap rasa dan pikiran kita tumbuh. Setiap esok, akan menjadi cerita baru bagi kita, melewati waktu demi waktu penantian dengan saling memantaskan diri untuk satu sama lain, agar ketika saling menyandarkan pundak, tempat kita bersandar adalah sebaik-baiknya tempat di muka bumi. Kelak di akhir panantian, dalam sebuah perjumpaan, kamu akan menemui sebaik-baiknya diriku, dan kamu akan menghadiahkan kepadaku sebaik-baiknya dirimu.


Wanitaku,
Rangkaian kata “Aku mencintaimu” sangatlah mudah diucapkan, bahkan dengan bahasa isyarat sekalipun. Namun, setiap cecap bibir yang mengatakan kalimat tersebut memiliki makna yang tak sederhana.


Wanitaku,
Ketika aku mengatakan “aku mencintaimu”, artinya aku rela menyerahkan apa yang kumiliki padamu tanpa tetapi.
Ketika aku mengatakan “aku mencintaimu”, artinya aku telah menyiapkan kenyamanan alas-alas istirahat untukmu melepas lelah.
Ketika aku mengatakan "aku mencintaimu", artinya aku akan ikhlas meluangkan waktu demi menjadikanmu wanita yang dipenuhi bahagia.
Ketika aku mengatakan "aku mencintaimu", artinya ada kehidupan lebih baik yang sedang kurencanakan, dan di dalamnya dirimulah adalah salah satu pilar dari akhir tujuan.
Ketika aku mengatakan “aku mencintaimu”, artinya dengan penuh kesanggupan aku akan meletakkan pikulan tanggungjawab ayahmu atas putrinya di kedua pundakku.
Ketika aku mengatakan “aku mencintaimu”, artinya aku telah siap menjamin arah jalanmu adalah menuju surga, dan aku menyakini kamu telah siap menjamin jalanku tak pernah lepas dari jalan agama.
Ketika aku mengatakan “aku mencintaimu”, artinya aku menginginkanmu yang menyempurnakan sebagian urusan agamaku, dan aku ingin menyempurnakan sebagian urusan agamamu.
Wanitaku,
Tak perlu kita terburu-buru dengan hubungan yang banyak didamba anak manusia. Karena di muka bumi hanya ada satu hubungan yang diijinkan bagi lelaki dan wanita. Bila memaksa menjalani hubungan yang tak diijinkan, bagaimana aku akan mempertanggungjawabkan kepada kedua orangtuamu tentang kisah kasih yang tak mendapat restu dari Pemilik Hidup. Bagaimana aku berjanji akan membahagiakanmu sampai ajal menjemput bila hubungan yang kita nikmati tak terdapat tanda halal di salah satupun firmanNya. Bagaimana aku akan membuatmu bangga, dan bagaimana pula aku akan bangga memilikimu, bila setiap apa yang kita jalani atas nama cinta ternyata hanyalah sekumpulan dosa.


Wanitaku,
Akan datang saatnya nanti ketika kedua orangtuamu mengangguk mantap dengan hiasan senyum di bibirnya karena bahagia dan percaya meletakkan tanggungjawab atas putrinya dipundakku. 
Akan datang saatnya nanti ketika ribuan malaikat langit menyempatkan turun ke bumi, hanya untuk mencium jemari kita yang terlingkar cincin, dengan rona merah di wajah bahagianya, mereka mengucapkan kata-kata indah kepada kita. 
Akan datang saatnya nanti ketika telah selesai kalimat “aku mencintaimu” terucap dari masing-masing bibir kita, teruntai doa-doa dari seluruh alam yang bersaksi terikatnya dua anak manusia. 
Akan datang saatnya nanti ketika Tuhan menutup kita berdua dengan jubah ridhoNya, dan tak ada yang lebih melegakanku dan dirimu selain ridhoNya untuk saling memiliki.